Bagaimana kau mengeja ‘cinta’? tanya Piglet.
"Kau tak usah mengejanya….rasakan saja." jawab Pooh.
__A.A Milne
♥♥♥♥♥
“Assalamu’alaikum... Nek, Aam bawa Achi nih...” teriak Arham ketika sampai dirumah sang nenek.
Sang nenek tergopoh-gopoh keluar dari dapur. Kakek yang sedang duduk menonton televisi pun ikut keluar menyambut cucunya itu.
Setelah bersalaman Arham duduk bersama kakeknya sambil menonton televisi kembali, sang nenek telah kembali ke dapur, menyiapkan teh mungkin, dan Achi setelah meletakkan tas yang dibawanya dari posko ke dalam kamar ia pun mengikuti sang nenek ke dapur. Mereka berbincang-bicang sambil sesekali tertawa.
Sebenarnya Achi adalah tipe gadis pendiam, ia jarang sekali berbicara jika tidak orang yang memulai terlebih dahulu. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus dapat berkomunikasi dengan baik kepada keluarga suaminya. Ia harus dapat dengan cepat beradaptasi, begitulah pesan Sang Papa.
Ketika matahari beranjak turun, Achi membantu sang nenek memasak di dapur. Bukan main letihnya ia. Ia jelas punya alergi terhadap asap dan debu, tapi mau tak mau ia harus berhadapan dengan kompor yang terbuat dari bakaran kayu untuk memasak. Belum lagi saat apinya mengecil, ia harus berusaha meniupnya agar kembali marak. Tepat tengah malam barulah ia merasakan sesak di dadanya.
♥♥♥♥♥
“Ahh....” desahnya.
Arham masih tertidur pulas disampingnya. Ia tak tega membangunkannya, karena besok sehabis sarapan mereka akan kembali ke Medan dengan mengendarai sepeda motor, pastilah Arham butuh tenaga lebih, karena ia yang membonceng. Motor Achi sudah lebih dahulu mereka paketkan melalui kereta api, jadi tinggal motor Arham saja yang dibawa.
Achi meletakkan bantal dibelakang punggungnya, agar ia bisa duduk bersandar dengan nyaman. Ia meraih ponselnya yang terletak di meja tak jauh dari sisinya tidur, menekan tombol panggilan cepat. Tak ada sahutan, ia mencoba sampai kali ketiga.
“Assalamu’alaikum.. Mas, udah tidur?”
“Wa’alaikum salam, belum Chi, baru dari ruang pasien. Kenapa Chi? Kok suara kamu lain?”
Achi menarik nafas dalam-dalam, kemudian tercekat. Ia tak bisa bernafas lega.
“Alergi kamu kumat Chi? Nggak bawa obat kamu?”
“Nggak bawa Mas.... ditinggal.... dari kemarin....”
Dimas panik, “Coba kamu tenang dulu ya Dek. Coba duduk.”
Nafas Achi terdengar tersendat. Sudah enam bulan lebih alergi saluran pernafasan Achi tidak kambuh. Gadis ini memang ceroboh, karena dokter mengatakan bahwa ini bukan asma, jadi dia sesukanya tidak membawa obat hisapnya, alhasil begini jadinya kalau sudah kumat. Dimas yang memang sedang mengambil pendidikan spesialis paru dan pernafasan pun tidak bisa berbuat banyak karena sang adik jauh darinya dan dirinya pun sedang tugas jaga di rumah sakit.
“Arham mana?”
Arham yang mendengar suara berisik disebelahnya pun terjaga. Arwahnya belum terkumpul benar. Samar-samar dilihatnya Achi terduduk sambil memegang ponselnya, tangan satunya lagi sedang mengurut d**a.
“Achi, kamu kenapa?” tanyanya heran. “Siapa yang nelepon?”
Achi kembali menarik nafasnya. “Masss... Dimas...”
Arham mengambil alih ponsel yang ada ditangan Achi.
“Assalamu’alaikum Mas. Achi kenapa Mas?” tanyanya mulai cemas.
“Ah! Arham, wa’alaikum salam. Itu, kayaknya alergi pernafasannya Achi kambuh. Coba kamu dudukkan dia dulu.”
“Achi memang udah duduk Mas. Jadi saya harus apa?”
“Coba kamu longgarkan bagian belakangnya Am.”
“Bagian belakang? Caranya Mas?” Arham bingung.
Dilihatnya Achi mengangguk. “Udah Mas, lalu?”
“Coba tanya, udah gimana?”
“Udah gimana Chi?”
“Lumayan...”
“Lumayan Mas. Apa lagi?”
“Dia bawa obat makannya nggak?”
“Kamu bawa obat makannya nggak Chi?”
Achi mengangguk. “Di dompet...”
“Bawa Mas.”
“Suruh dia makan itu dulu ya Am. Separuh aja, kalau belum ada perkembangan dua jam kemudian kamu tambahkan separuh lagi. Tapi biasanya setengah jam udah ada perkembangan kok.
Besok kalian pulang jangan naik motor ya. Kereta api pagi kan ada, bahaya buat Achi kalau naik motor. Motor kamu sekalian aja di paketin. Jadi sampai di Medan baru kalian naik motor, langsung aja ke tempat praktek dokter. Achi tahu itu.”
“Iya Mas.” Arham sudah bingung mau berkata apa, jadilah ia hanya mengikuti perintah abang iparnya itu.
“Ya udah, kamu kasih makan itu dulu. Ini Mas lagi tugas jaga di rumah sakit. Nanti kalau belum ada perkembangan kabari Mas lagi ya. Oh iya jangan lupa, bantu urut bagian punggungnya biar lebih lempang.”
“Iya Mas..”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Arham mencampakkan ponsel Achi begitu saja di atas tempat tidur dan langsung melompat membongkar tas untuk mencari dompet Achi.
“Obatnya dimana Chi?” tanyanya yang kebingungan.
Achi mencoba bangkit dari duduknya tapi,
“Kamu di situ aja, Abi sate kamu kalo banyak gerak!” bentak Arham refleks, Achi terdiam.
“Huft, ini dia,” ia langsung berlari ke dapur untuk mengambil air putih.
Diparuhnya obat itu menjadi dua bagian, dan diberikannya kepada Achi. Achi memberikan gelas yang telah kosong padanya. Ia melihat gadis itu berkali-kali menarik nafas, tangannya sibuk mengurut dadanya.
Lima belas menit, tak ada kata yang keluar dari mulut Arham, ia hanya memperhatikan gadisnya dengan seksama sampai akhirnya gadisnya buka suara.
“Udah lumayan kok Bi. Udah agak plong,” ujarnya dengan nafas sedikit berat.
Arham duduk di samping gadisnya, tangannya mengurut punggungnya.
“Kok nggak banguni Abi sih Chi? Mananya yang sakit?”
“Abi kan capek, Achi nggak tega banguninya,” Achi tersenyum.
“Jadi tadi kalau Abi nggak kebangun, kamu nggak mau bangunin juga?”
“Nggak mungkin Abi nggak kebangun, Abikan nggak peka, bukannya pekak.”
“Kamu masih sempat bercanda. Abi mau marah nih ke kamu,”
Achi cemberut, “Istrinya sakit bukannya dimanjain malah direpetin. Nggak romantis.”
Arham mengelus kepalanya yang terbungkus jilbab merah muda,
“Sayang, kamu sakit apa sih? Kenapa nggak pernah ngasih tahu Abi? Abi bingung banget ngadepin kamu yang kaya gitu tadi.”
Achi memandang lekat suaminya, di matanya tersirat rasa bersalah yang cukup dalam,
“Bukan Achi mau nutup-nutupin dari Abi, cuma aja udah enam bulan nggak kambuh, jadi Achi sampe lupa punya penyakit ini.”
“Iya sayang, nggak apa-apa kok. Jadi tadi kok bisa kambuh?”
Achi menunduk malu, “Tadi sore maen masak-masakan sama nenek.”
“Maksudnya?”
“Itu, niup-niupin api.”
Arham menepuk jidatnya,
“Astagfirullah Achi!! Kalau tahu kamu nggak bisa, kenapa maksain diri sih?”
“Ya maaf. Kan Achi enggak enak ngebiarin nenek sendirian masak di dapur.”
“Jadi yang tadi sore batuk-batuk itu kamu?” Achi mengangguk.
“Abi kira nenek.” Arham menggeleng-gelengkan kepalanya, luar biasa gadisnya ini.
“Gimana ceritanya kamu bisa kena penyakit ini? Dari lahir ya?”
Achi menggeleng, “Bukan. Waktu kelas tiga SMP kenaknya. Achi demam, nggak tinggi-tinggi banget sih, trus kata dokter gejala stress, soalnya kan mau ngadepin ujian akhir nasional. Ya setelah selesai ujian memang nggak ada masalah lagi, tapi selang seminggu malah nafasnya jadi sesak. Pertama periksa ke dokter itu waktu kelas satu SMA, kata dokter kena bronkhitis, tapi waktu scan paru, dokter di labnya bilang bronkus Achi bagus kok, coraknya masih normal. Ini karena alergi asap sama debu aja, tapi yang anehnya setiap Achi banyak fikiran atau tertekan, sesaknya kambuh terus. Sama dokter yang di lab disaranin konsul langsung ke dokter spesialis paru, ya udah deh kontrol terus sama dia. Sempat dikasih obat hisap, tapi dokternya bilang pakenya waktu sesaknya kambuh aja, makanya nggak pernah Chi bawa, nggak tahu bakalan kambuh sekarang. Untung aja bawa obat cadangan.”
“Kamu ini, memang luar biasa ngeyelnya.” Arham mencubit gemas pipi sang istri. Ia melirik jam dinding, setengah dua malam. “Ini udah gimana?”
Achi menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sampai tiga kali. Ia tersenyum, “Udah aman.”
“Ya udah, sekarang kamu tidur lagi ya. Abi mau ngabarin Mas Dimas dulu, takut dia khawatir.”
“Iya Bi, makasih ya.”
“Makasih buat apa jolek? Ini udah kewajiban suami. Lain kali kamu kalau sakit ngabarin Abi dulu, nanti dikira Mas mu Abi nggak bertanggungjawab pula, istrinya sakit malah asik molor.”
“Nah itu sadar,” ledek Achi. Arham membelalakkan matanya, Achi langsung balik badan menghindari tatapan itu.
♥♥♥♥♥
Arham memandang lekat sang istri yang tengah tertidur pulas. Ia baru menyelesaikan sujud ke enamnya malam itu. Masih pukul setengah empat.
Sudah satu setengah bulan kita menikah dan aku merasa kau masih saja tertutup padaku. Allahu Rabbi, sesungguhnya hamba memohon kepada-Mu kebaikan untuk kekasih hamba ini dan kebaikan yang menjadi tabiat dasarnya. Dan hamba memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan kekasih hamba yang menjadi tabiat dasarnya. Aamiin...
Dikecupnya kening sang istri lama, hingga sang mata itu mengerjap pelan.
“Abi...”
“Abi cinta kamu, insya Allah karena Allah....”
“Makasih Bi....”
♥♥♥♥♥