Tigabelas

1776 Kata
Kamu... Telah mengganti mimpi burukku dengan mimpi indah Kekhawatiranku dengan kebahagiaan Dan ketakutanku dengan cinta. [] ♥♥♥♥♥ Sepulang sekolah, penghuni posko digegerkan oleh seruan Lusi yang memekakkan telinga. “Apa-apaan kayak gitu. Di posko berduaan, di kamar pula. Mentang-mentang nggak ada orang yang ngeliat, jadi suka-sukanya aja, gitu? Munafik kali jadi orang. Lagunya alim, nyatanya anak liar malam.” “Lusi, ngomongin siapa sih?” tanya Iren. “Nggak usah sok nutup mata lah kalian semua! Sama-sama tahunya kita. Fikri, kau panggil semuanya sekarang, aku mau kita rapat! Kok menjadi-jadi pula.” Ujarnya semakin berapi-api. Seluruh penghuni posko dikumpulkan siang itu, bahkan mereka tak sempat lagi untuk makan siang. Tak terkecuali Achi yang sedang tertidur karena menahan sakit, terpaksa dibangunkan Rika dan digandeng ke lantai bawah. Di bawah, Arham menyambutnya dan mendudukkannya perlahan disebelahnya. Perlakuan Arham itu tidak hanya mengundang siulan usil dari Juan, tetapi juga membuat kemarahan Lusi semakin menjadi-jadi. Dan ternyata tidak hanya Lusi yang marah melihat hal itu, Andre, Astrid dan Cindy ikut menyindir perbuatan mereka. Setelah semuanya duduk diam mengambil posisi masing-masing, Fikri mulai membuka suara. “Apa yang jadi masalahmu, Lus? Kenapa sampe minta rapat kau?” “Langsung aja lah ya. Belakangan ini ku rasa lingkungan posko kita ini udah mulai nggak kondusif. Oke, aku nggak bisa nyalahkan yang namanya cinta lokasi, tapi tolonglah, aktor sama aktrisnya jaga sikap, jangan mentang-mentang nggak ada yang ngelarang, nggak ada yang negor, selama ini didiamkan, trus makin menjadi-jadi,” ujarnya berapi-api. Astrid mencoba bersuara, “Iya, tadi di sekolah juga beberapa siswa sempat ngomong sama kami, aku, Putri, Cindy juga Beby. Anak-anak itu kan masih polos, masih lugu, apa yang dilihat dan didengar sama mereka masih belum bisa disaring mereka. Ya kami kaget lah dengar apa yang dibilang mereka.” “Apa rupanya yang dibilang anak-anak itu?” tanya Fikri. “Mau tahu kau Fik. Orang itu bilang, bu Cindy, tadi Pak J sama Ibu I pegang-pegangan tangan di kantin. Kau bayangkan lah Fik, apa nggak ada lagi tempat yang lebih pantas selain dikantin itu?” sindir Cindy tajam. Juan ingin berbicara, namun tangan Iren menahannya. “Okelah ya Cin. Itu kan yang langsung nampak, jadi bisa ditegur. Nah ini yang kita nggak nampak Cin. Kalo tadi mereka ngelakuinnya diluar, nggak masalah lah, ini ngelakuinnya di dalam posko. Ibu sebelah sampe nanya sama aku siapa aja yang ada di dalam posko tadi, sepi tapi ada motor di luar.” ujar Lusi. “Udah lah Lusi, nggak usah pake nyindir-nyindir. Langsung aja kau sebut nama orangnya. Toh udah sama-sama dewasanya kita disini. Kalo memang salah, nggak mungkin orangnya ngelak.” Rika geram mendengar perkataan Lusi yang terlalu berbelit-belit. “Siapa yang kau maksud?” Lusi memandang kearah Achi dan Arham. “Itulah, pasangan baru kita. Selama ini gayanya alim kali, yang cewek kemana-mana pake jilbab, yang cowok rajin kali shalatnya. Kalo aku nggak nyalahkan yang cowok ya, ceweknya yang patut disalahkan, kalo dia nggak ngasih kesempatan, nggak mungkin cowoknya bisa kayak gitu.” “Oh, yang jadi gosip hangat di sekolah toh.” Sindir Andre. “Apa masalah mereka, Lus?” tanya Andre lagi “Kau tahu Ndre. Aku tadi duluan sampe ke posko. Kaget juga aku ngeliat ada motor di depan posko, soalnya kan tadi pagi semua motor dibawa ke sekolah. Tahunya aku ada yang nggak ke sekolah hari ini, alasannya sakit. Tapi gitu aku lewat depan kamarnya yang pintunya gak tetutup itu, orang itu lagi berduaan di dalam. Udah lah ya, nggak usah pala ku bilang apa yang dibuatnya disana, udah bisanya ditebak masing-masing, pastinya yang nggak pantas!” Achi memandang Lusi kaget. Selama ini ia merasa tak pernah punya masalah dengan anak yang satu ini, lalu mengapa ia dipojokkan gini. “Lusi, mulutmu tolong dijaga!” Bentak Liya, ia tak rela Achi dipojokkan seperti itu. “Sama lah kalo gitu rusakmu, Liya. Masa kau mau diam aja ada yang buat m***m di posko ini,” ujar Lusi kasar. “m***m!!?? Jangan asal nuduh gitu lah Lus!!” Rika ikutan membentaknya. Rapat itu diisi dengan sindiran-sindiran tajam serta bentakan-bentakan. Sesekali kata makian keluar dari mulut mereka yang tidak terima dengan perkataan yang menyindir. Beberapa hanya diam menonton. Kapan lagi ada tontonan gratis seperti ini. “Kok kelen pula yang marah. Yang diomongin aja diam aja, berarti nggak salah kan yang kami tuduhkan!” bentak Astrid. Selama ini dia dikenal pendiam dan pemalu, tapi semenjak bergabung dengan Cindy and the gank, ia berubah menjadi seperti mereka tajamnya, setajam silet, hah!!?? Arham beberapa kali mencoba menahan Achi untuk tidak bersuara dengan menyentuh lututnya, emosi gadis ini pasti tidak akan terkontrol belum lagi dia masih sakit. Tapi bukan Arsy Yulia Putri namanya kalau ia bisa diam sementara ia dituduh melakukan apa yang tidak dilakukannya. “Bukan Astrid, bukan Achi mau diam, cuma dari tadi kalian ribut kali, jadi Achi takut kalau Achi ngomong, kalian nggak dengar. Kalian ngomongnya udah kayak pake toa mesjid tahu. Lusi, hari ini memang Achi nggak enak badan, jadi bukan sengaja buat alasan supaya nggak masuk ngajar. Terus ya Lusi, tolong banget diralat omongan Lusi tentang Achi tadi. Kenapa sih enak banget ngomong kayak gitu tentang Achi? Selama ini Achi rasa kita nggak pernah punya masalah lah.” Achi memandang Lusi dengan tatapan penuh tanya. Yang dipandang hanya membuang muka dengan sinisnya. “Kalian tahu, yang tadi kalian omongin itu seharusnya nggak perlu kalian omongkan disini. Kalau memang kalian semua ya, bukan hanya Lusi, nganggap kita ini keluarga atau setidaknya temanlah satu sama lain, pasti kalian nggak akan langsung ngomong di forum besar gini. Kalian bisa ngomongnya secara personal. Atau memang sengaja untuk menjatuhkan satu sama lain ya? Seharusnya nggak banyak yang tahu, sekarang jadi semuanya tahu kan.” “Hah, betul itu. Kelen dengar itu.” ujar Viza membenarkan. “Kau juga Lus, kalau memang kau nggak punya bukti, jangan nuduh Achi sembarangan. Si Arham di kamar kami bukan berarti dia ngelakuin yang aneh-aneh sama Si Achi kan? Memangnya pernah kau liat Arham masuk ke kamar kami kalau kami nggak ada di dalam? Pasti waktu kami ada di kamar baru dia berani masuk kan? Itupun kalau kami izinkan, kalau enggak kan nggak masuk dia.” tambah Viza yang ikut tersulut emosinya. “Yang iyanya, kau cemburu kan Lus, ngeliat si Arham sama si Achi, apalagi belakangan ini orang ini keliatan mesra-mesraan..” ujar Juan sambil tertawa. “Wajar lah si Arham nggak milih kau, mulutmu aja nggak bisa kau jaga. Lagi pula untuk apa kau marah-marah nggak jelas. Kalo masalah aku sama Iren udah lah, ngaku kami kalo kami salah, tapi soal Arham sama Achi, terserah orang ini lah mau buat apa, toh udah tahunya kita semua kalo orang ini udah nikah, jadi kau harusnya nggak usah ngintip!” sambungnya. DAMN!!! Hening, yang terlihat hanyalah wajah-wajah menganga dari Cindy, Astrid, Lusi dan Andre. “Ni... nikah kau bilang, Juan? Kapan orang ini nikah?” ujar Lusi tak percaya. “Ah!” seru Beby. “Orang ini kan nggak ada waktu akad nikah kelen, Chi. Udah itu pun gitu sampe posko kita nggak ada ngomongin itu juga.” “Loh, kelen tahu?” tanya Cindy pada temannya itu. “Aku sama Putri kan datang, nginap pun kami disana. Sorry lah nggak ngabarin kelen.” Ujar Beby santai. Lusi dan Cindy terdiam, sudah kalah malu. “Tapi, walaupun udah nikah orang ini, nggak suka-suka orang itu juga lah mau buat apa! Ini di posko! Tetangga kan nggak ada yang tahu kalau orang ini udah nikah.” bantah Andre terlihat tak mau kalah. Arham mendesah, “Oke teman-teman. Ya udah. Kami berdua, aku lah khususnya, minta maaf lah kalau ternyata kami udah buat kalian merasa nggak nyaman dengan kelakuan kami. Nggak ada maksud kami untuk buat yang tidak-tidak. Tapi gitupun Lusi, aku minta tolonglah ralat ucapanmu tentang Achi tadi. Aku sakit hati waktu kau bilang Achi sok alim dan sebagainya itu tadi. Diralat lah ya, tolong. Ya untuk lain kali, kami akan jaga sikap di depan kalian. Jadi aku minta tolong, untuk masalah ini jangan lagi dibesar-besarkan. Udah sama-sama dewasa kita, kalau memang ngeliat temannya salah, dikasih tahu secara personal aja, kalau memang udah dikasih tahu juga belum bisa berubah, barulah dibuka di forum rapat. Atau memang kayak yang dibilang Achi tadi, memang sengaja mau menjatuhkan satu sama lain, iyanya?” Terlihat beberapa diantara mereka mengangguk-angguk setuju. Achi tersenyum mendengar Arham bicara. Dari awal memang ia merasa Arham lebih tepat menjadi ketua, tapi semua telah memilih Fikri. Itu juga hal baik, jadi Arham tidak perlu merasa sesetres Fikri dalam menghadapi lima belas kepala lainnya. “Jadi ku rasa, udah selesai lah untuk masalah ini ya. Jangan lagi minta-minta rapat untuk hal yang sebenarnya nggak perlu dibesar-besarkan. Tutup aja lah rapatnya Fik,” tambahnya. “Udah, udah puas semua? Udah selesai kan? Sakit kepalaku, udah macam di pasar loak kelen bisingnya, jualan kaleng kosong semua!” ujar Fikri sambil memijit kepalanya. “Mulutnya Fik,” tegur Raisa. “Halaah, percuma aja ngomong baik-baik Cha.” Ujarnya malas. “Kau Juan, abis ini pijitkan bentar kepalaku ya Juan. Mau pecah ku rasa. Kelen dua, Am, Chi, cepatlah urus undangan kelen, nanti untuk kami buat satu orang satu, jadi nggak ada yang nggak dapat informasi.” Arham tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kearah Fikri, “Gampang lah itu, Fik.” ♥♥♥♥♥ Malam itu, Arham dan Achi keluar untuk mencari makan berdua. Hanya mereka berdua, tanpa ekor-ekor yang selalu ingin tahu. Rika dan Viza paham dan sengaja membiarkan mereka berdua pergi dan melarang Juan dan Fikri yang biasanya usil ingin menguntit, toh selama ini mereka tahu seperti apa hubungan pasangan suami istri itu. Arham menggenggam tangan sang istri ketika mereka masuk kedalam warung makan lesehan itu. Achi tidak terlalu suka makanan yang high class, iya lebih memilih makan di kedai nasi ketimbang makan di restaurant seafood. Dia suka seafood, namun hanya sekedarnya saja. Begitu juga dengan Arham, ia malah memiliki alergi terhadap beberapa seafood seperti kerang, sotong, dan udang yang sudah beberapa hari ditangkap. “Udah baikan kan?” tanya Arham ketika mereka sudah memilih tempat dan duduk disana, tangannya masih menggenggam tangan kekasihnya itu. Achi menganggukkan kepalanya. “Gimana nggak baikan, rasa sakitnya tersalurkan waktu rapat tadi. Puas rasanya udah melampiaskan semuanya.” “Kirain waktu di kamar tadi,” goda Arham. “Abi, udah deh. Jangan coba goda-goda ih. Malu tahu!” Arham tertawa melihat Achi yang salah tingkah. “Achi, maafin Abi yah. Selama ini Abi belum bisa jadi suami yang baik untuk kamu.” Achi tersenyum. “Abi tahu, ini pertama kalinya Achi pacaran loh.” “Oh ya? Kalau gitu, selesai makan kita harus jalan-jalan nih. Kamu udah nggak sakit lagi kan?” “Iya, udah nggak sakit lagi kok.” ♥♥♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN