Enam

1914 Kata
Aku merasa seperti terbang ke angkasa Saat mata jernih mu memandang ku Kuharap angin akan memberitahu mu Tentang cinta yang teramat dalam rasa ku ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ “Loh, kok belum tidur?” tanya Arham ketika memasuki kamar dan mendapati sang istri masih duduk sambil membaca. Achi tersenyum. “Oh, udah selesai ngangkat-ngangkatnya?” Arham balik tersenyum. “Kali ini siapa yang ngomel?” tanya Achi lagi. “Rame. Mama, Papa, oma, opa, mas-mas juga,” ujarnya sambil tertawa garing. “Baca apa sih?” kikuk. “Buku nikah. Ini ada juga buku tuntunan praktis rumah tangga bahagia, dari KUA,” “Am ganti dulu ya, Achi juga siap-siap ya,” “Hah?? Siap-siap buat apa?” tanya Achi bingung, apakah malam ini?? Ia tersenyum,“Shalat sunnah loh adik,” “Oh iya, lupa,” jawabnya sambil tertawa. Ia langsung bergegas menuju lemari baju yang kini sudah berubah menjadi lemari baju mereka berdua. Diambilnya baju tidur yang sama dengan yang ia kenakan, memang kemarin ia beli sepasang. Tugas pertamanya sebagai istri. “Makasih,” ujar Arham sambil menerima baju yang diberikannya. “Memangnya tadi mikirnya siap-siap buat apa?” selidiknya sedikit menggoda. Achi merasakan wajahnya sedikit panas. “Ah mau tahu aja. Udah, sana buruan ganti bajunya,” Arham pun tertawa, tahu bahwa godaannya berhasil. Achi menggelar sajadah dan menyiapkan mukenah yang menjadi mas kawinnya. Lalu ia bergegas keluar untuk mengambil wudhu. Setelah selesai shalat, Achi pun mencium tanggan Arham, kontak fisik mereka yang pertama. Arham lalu memegang kepala Achi dan membacakan doa keberkahan. Tak terperikan lagi rasa bahagia ini. Ada sesuatu yang aneh di hati ini yang tak dapat dikatakan. “Mau tidur sekarang?” tanya Achi kikuk. Ini kali pertama ada lelaki lain selain Papa dan kedua kakak lelakinya yang masuk kedalam kamarnya. “Masa besok. Sekarang dong,” candanya. “Besok kita berangkat jam berapa, Bi?” tanya Achi sambil membuka selimut yang menutupi seprai tempat tidurnya. Abi, itu panggilan Achi untuk Arham. Mereka sudah menyepakatinya beberapa saat yang lalu. “Jam sepuluhan mungkin, kalau siang kasihan teman-teman yang lain. Biar sempat istirahat juga mereka,” katanya arif. “Tapi juga kalau tidak ada halangan. Kan ibu sama bapak belum pulang ke kampung,” “Oh iya,” Achi sampai melupakan kedua mertuanya yang masih berada di kota ini. “Kapan ibu sama bapak pulang?” “Abi belum tahu. Besok aja kita tanya,” Achi menganggukkan kepalanya, setuju dengan jawaban sang suami. “Oia Bi, ada yang mau Achi tanyakan,” “Hmm??” “Itu, Achi penasaran. Kenapa maharnya pakai kalung emas segala? Apa nggak terlalu berlebihan?” tanyanya sambil menahan kantuk. “Hmm. Kamu kan mintanya sesuatu yang berguna di dunia dan akhirat. Seperangkat alat shalat sebenarnya udah mewakili semuanya. Tapi kalau ada keperluan mendesak kan nggak mungkin kita jual, jadi Abi tambahkan dengan kalung emas. Terus kenapa kalung, karena kata ibu, lebih bagus kalung biar rejekinya gak pas-pasan kayak cincin, ya Abi nurut aja. Dijaga baik-baik, itu amanah buat kamu,” ujarnya tersenyum ke arah sang istri. “Udah ngantuk yah? Ya udah, kita istirahat ya,” “Anak pintar. Oke deh, yuk istirahat,” Achi langsung membaca doa seperti yang biasa dilakukannya, lalu tidur mengarah ke kanan, yang artinya ia membelakangi sang suami yang berada di kirinya. ♥♥♥♥♥ Achi menatap pria yang tengah tertidur lelap di sebelahnya, matanya masih belum dapat terpejam padahal tubuhnya sudah merasa letih. Euforia pergantian statusnya yang mendadak membuatnya tak bisa mengenyahkan senyum di wajahnya. Ia masih tak mengira statusnya telah berganti menjadi seorang istri di usia yang masih tergolong muda. Ia tersenyum mengingat kala ia dan Arham mengumumkan undangan walimah mereka beberapa hari yang lalu, Siang itu Achi meminta Fikri untuk mengadakan rapat, berhubung hari Jum’at, ia tidak bisa menghadiri rapat mingguan. Lagipula teman-teman ingin pulang ke kampung masing-masing, mumpung ada libur panjang kata mereka. Ia pun ingin memberitahukan kabar bahagia yang ia dan Arham miliki. Rapat siang itu berjalan minus Astrid, Cindy, Lusi, dan Andre. Ketiga wanita itu sudah pulang kampung terlebih dulu, kebetulan besok mereka tidak ada jadwal mengajar. Sementara Andre, mereka tidak melihatnya sejak di sekolah. Siang tadi mereka mendapat kabar bahwa dia sedang sakit. “Nah, ada lagi yang mau dibicarakan selain urusan kegiatan bimbingan belajar untuk siswa?” tanya Fikri sang pemimpin rapat. “Soal cenderamata untuk sekolah, guru-guru, dan guru pamong gimana?” tanya Harphy. “Aku rasa hadiah untuk guru-guru selain guru pamong nggak perlu lah Har. Kita buat aja acara perpisahan. Kita rembukkan sama guru PPL lain, mereka mau sama atau enggak perpisahannya sama kita,” usul Rika. “Iya, lagian kalau untuk guru, apa dana kita mencukupi?” tanya Liya. “Coba cek Chi, berapa saldo kas kita?” “Sampai dengan hari ini, saldo yang ada sekitar delapan ratus sembilan puluh tujuh ribu. Nah ini belum semua yang bayar ya,” Achi mengecek buku kas yang selalu ada ditangannya setiap rapat. “Udah, bacakan aja nama-nama yang belum bayar, sekalian totalnya, biar tahu siapa-siapa aja orangnya,” usul Fikri. Achi membacakan nama-nama mereka yang belum membayar uang kas sampai dengan hari ini. Dan nama Fikri termasuk di dalamnya. “Kau pun belum bayarnya, Fik. Sok kali lah kau nyuruh-nyuruh bacakan,” teriak Putri yang juga disambut suara ‘hu’ dari teman-teman lainnya. Biasanya uang kas selalu dikutip setiap Senin oleh Achi, jadi ia gampang menghitung hari mulainya. Namun ketika sudah berjalan selama empat minggu, mulailah mereka membuat alasan setiap dikutip. “Banyak kali utangku, Chi,” teriak Juandra tak percaya. “Oh, iya Ju. Kau dan si Andre lah top recordnya. Empat minggu ya, dua puluh delapan hari, alias enam puluh ribu rupiah! Jelas?” ujar Achi membuat seisi posko tertawa. “Cemananya suami mu itu, Ren?” “Tenanglah Viza, masih belum kering air Danau Toba itu,” ujar Iren yang berasal dari Parapat, kota pariwisata di Medan. “Trus hubungannya air Danau Toba yang masih banyak sama uang kas apa?” tanya Arham yang mengundang tawa mereka. “Plis deh Aam, nggak usah ditunjukin banget polosnya,” seru Achi yang kelepasan memanggil Arham dengan panggilan “Aam”. Maka berserulah Juan layaknya ayam berkotek. “Cie, cie, Aam manggilnya sekarang ya, apa tuh artinya?” “Biasa aja kali Ju, macam nggak ngerti aja kau ini.” Arham mencoba mengelak. “Udah, balik ke uang kas lagi,” ujar Arham mengalihkan topik. Bakal panjang urusannya kalau ditanggapi. “Jadi kapan mau dilunasi?” Maka mereka yang telah disebutkan namanya bergegas mengambil dompet masing-masing di kamar. Dan menyerahkan kewajiban kas mereka. “Ku simpulkan aja ya,” ujar Putri setelah Achi menyelesaikan tugasnya mengutip iuran mereka. “Udah bisa bubar kan?” tanya Raisa. “Ehm, sebentar teman-teman,” “Ya, kenapa Chi?” tanya Liya. “Ada yang mau Achi dan Arham sampaikan. Mohon teman-teman mendengarkan,” Achi beralih memandang Arham. “Sebelumnya ini nggak berkaitan sama sekali dengan posko ya,” ujar Arham memberitahu bahwa yang akan mereka berdua sampaikan diluar topik rapat. “Aku dan Achi juga berharap teman-teman sekalian tidak berfikiran yang macam-macam dulu.” “Mau ngomong apa sih Ham?” tanya Raisa penasaran. “To the point aja ya. Kita kan berada di lokasi praktek yang sama, jadi rasanya tidak etis kalau kami tidak mengajak kalian hadir. Takutnya seperti kejadian waktu beberapa diantara kita jalan-jalan dan beberapa yang lainnya tidak diajak, nanti ada sakit hati lagi kan nggak enak,” ujar Arham menyambung. Terlihat beberapa wajah yang kurang senang dengan ucapan Arham itu. Arham mencoba tidak memperdulikan wajah-wajah tak senang itu, melanjutkan pembicaraannya. “Kami berdua mau mengundang kalian malam Sabtu,” “Sabtu malam, Am,” ralat Achi. “Oh iya, Sabtu malam untuk datang kerumah Achi guna menghadiri akad nikah kami berdua,” Terlihat wajah-wajah terkejut “Oh, undangan nikah toh. Sabtu malam, ya. Siapa yang mau nikah?” tanya Viza yang sedari tadi sibuk dengan smart phonenya. “Apa!!! Akad nikah kalian berdua?” teriaknya ketika tersadar dan refleks menjerit ketika tangan Rika mendarat di pinggangnya. “Iya, insya Allah kami akan mengadakan akad nikah malam minggu, jadi kami berdua mengharapkan kehadiran teman-teman di rumah Achi nanti. Kita kan sudah mau tiga bulan sama-sama, nggak mungkinkan kalian nggak diundang,” “Mendadak kali Chi? Ah kau, Ham. Jangan bilang kau betulan khilaf, Ham. Selama ini diam-diam aja kelen,” komentar Beby curiga. “Beb, tadi kan Arham udah bilang, jangan mikir yang aneh-aneh,” tegur Harphy. “Alhamdulillah, diterima juga akhirnya. Selamat ya Ham,” ujar Liya memberi selamat. “Eh, terus soal PPL gimana, Chi?” tanyanya kemudian. Achi tersenyum, “Ya nggak gimana-gimana, jalan aja lah,” “Nanti Achi nggak tinggal di posko lagi, gitu?” “Ya tetap tinggal di posko lah Nur,” sergah Arham. “Memangnya mau tinggal dimana lagi si Achi? Cukup kita aja yang tahu, kalau sampai sekolah tahu, nanti bisa heboh sekota ini,” candanya. “Wah, jadi ini makna panggilan Aam tadi? Luar biasa....!!!!” seru Juan yang disambut tawa bahagia mereka. “Ini kabar bahagia, jadi patut kita rayakan,” ujar Fikri. “Apapun alasan mereka, itu urusan mereka, sekali lagi seperti yang dibilang Arham, jangan berfikir macam-macam. Kita semua udah sama-sama dewasa disini. Jadi datang semua kita kan?” ♥♥♥♥♥ Di sepertiga malam, seperti biasa Achi terjaga dari tidurnya. Ia terjaga dalam posisi menghadap ke kiri, dan betapa terkejutnya ia melihat ada lelaki yang tidur di sampingnya. Mata lelaki itu tepat menatap kearahnya. Senyumnya merekah manis, hampir saja Achi berteriak sangking terkejutnya. Kemudian ia tersadar bahwa lelaki itu adalah suaminya. Ia pun tersenyum padanya. Malam itu, ia tak lagi menghabiskan sepertiga malam sendiri, melainkan berdua bersama sang suami yang menjadi imam. Mereka shalat berjamaah. Selepas shalat, Arham membuka Al-Qur’an dan membacakan surah Ar-Rum untuk Achi, Achi pun ikut menyimaknya dengan menggunakan Al-Qur’an pemberiannya. Suara yang tegas, lafal yang jelas, tajwid yang benar, dan nada yang beraturan, membuatnya terharu dan menitikkan air mata. Maka tak henti-hentinya Achi bersyukur atas rizki yang Allah titipkan padanya. “Jangan nangis dong,” ujar Arham sambil mengelus kepalanya. “Biarin aja,” katanya manja. Ia sangat menikmati elusan tangan di kepalanya itu. “Kamu tahu Chi, Abi benar-benar nggak nyangka bakal nikah di usia ini. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati yang menikah, tetapi juga menyatukan dua keluarga. Masing-masing dari kita pasti punya perbedaan, tapi yang terpenting bukanlah bagaimana cara menyamakan perbedaan itu, tetapi menyatukan perbedaan itu sendiri, menyelaraskannya. Karena pada dasarnya manusia diciptakan berbeda, dan perbedaan itu indah. Kita memang sudah kenal selama beberapa minggu ini, tapi masih banyak hal dari diri kamu yang belum Abi ketahui, begitupun kamu, belum banyak tahu tentang Abi. Jadi, kita sama-sama belajar untuk mengenal satu sama lain. Kamu setuju kan?” “Iya Bi...” “Abi berharap kita bisa saling melengkapi, saling menutupi kekurangan masing-masing. Istri adalah pakaian suami, begitu juga sebaliknya. Nantinya Abi pasti akan sangat merepotkanmu. Kita punya hak yang sama, jadi apa yang Achi tidak sukai dari Abi langsung saja dikatakan, begitu juga sebaliknya Abi nanti, kita bisa diskusikan bersama, jangan memendam kesal dan sakit hati. Terkadang kita tidak bisa menilai diri kita sendiri, bisa saja omongan yang Abi rasa biasa aja ditanggapi lain oleh orang lain. Kelak kamulah orang yang paling sering mendengar omongan Abi. Jadi, kita saling mengoreksi diri yah.” Achi menganggukkan kepalanya, disekanya air mata yang terus menetes dari matanya. Semoga mereka bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah seperti yang diinginkan semua orang yang hadir di akad nikah mereka. Aamiin.... ♥♥♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN