Berjanjilah
untuk terus bersamaku
sekarang, esok, dan selamanya
♥♥♥♥♥
"Ayo Chi...." ujar Mama sambil menyenggol lengan anak gadisnya itu. Tak sabar untuk mengetahui alasan dibalik cepatnya rentang waktu yang diberikannya untuk Lelaki muda berwajah manis dihadapan mereka itu.
“Ehm...." Achi mencoba mengatur suara. "Banyak sekali yang menjadi bahan pertimbangan Achi. Termasuk masalah PPL yang tadi telah Arham sebutkan. Achi juga nggak mau setelah proses lamaran ini, terjadi hal-hal yang merugikan diri kami, menjadikan berkah dari proses ini berkurang.”
“Ya bukan Achi meragukan Arham, tapi setan ada dimana-mana. Seperti kata Arham tadi. Achi nggak mau, setan mengambil kesempatan dari status Achi sebagai calon istri Arham. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi besok. Seumpama kita menikah setelah selesai PPL, bisa saja kan selama satu bulan kedepan kita melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan, karena kita menganggap kita akan menjadi suami dan istri, sementara masa depan hanya Allah yang tahu akan seperti apa jadinya. Achi nggak mau itu terjadi, maka pernikahan ini lebih cepat akan lebih baik,”
“Kamu sudah mantap, Chi?” tanya Dimas.
“Semua keyakinan itu dimulai dari ketidak yakinan. Jadi, insya Allah udah Mas, kalau soal resepsi dan lain sebagainya mau dilaksanakan setelah PPL ya terserah, akad nikah saja dulu. Lagi pula setelah PPL kan liburan semester,” jawabnya lugas.
“Minggu depan?” tanya Arham sedikit bingung.
“Iya, minggu depan. Tadi subuh Achi liat kalender, minggu depan ada libur di hari Sabtu, jadi Minggu kita bisa kembali ke posko, biar Senin bisa masuk ngajar,” Achi memberikan pertimbangan untuknya.
Bayu angkat bicara,
“Bayu setuju dengan alasan Achi. Ya kita tidak meragukan Arham dan juga Achi, tapi memang setan selalu bergerak disetiap kesempatan yang ada, sesempit apapun itu. Minggu depan mungkin lebih baik.”
“Baiklah, insya Allah Arham siap. Lalu soal mahar?”
Achi tersenyum mendengar pertanyaannya. “Terserah,”
“Terserah itu bagaimana, Chi?” tanya mama bingung.
“Ya terserah Arham dan keluarganya. Toh kembali lagi, perempuan hanya menunggu dan menerima. Lagian Mama nggak mau jual anak kan? Nggak bakal minta macem-macem kayak tante-tante yang diluaran sana kan?” canda Achi.
“Kamu ini, sempat-sempatnya bercanda, Chi,” tegur papa sambil tersenyum.
“Kamu harus ingat, Chi. Mahar itu salah satu syarat menikah loh. Harus kamu putuskan hati-hati, walaupun pihak lelaki yang memberikan, tapi itu menjadi hak mu untuk menentukan,”
“Baiklah kalau begitu. Achi ingin sesuatu yang berguna bagi Achi, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti,”
“Apa itu, Chi?”
Achi tersenyum. “Arham fikirkan saja dulu, apa yang menurut Arham bisa berguna bagi Achi di dunia dan akhirat,”
“Achi ngajak main tebak-tebakan ih,”
“Ini salah satu test untuk Arham, Ma. Dia bisa menjadi suami yang bijak dalam memilih atau tidak,”
“Memanglah kalau anak Papa yang satu itu ya, Pa. Hobby banget buat orang kaget-kagetan. Langsung aja deh Chi,” bujuk mama.
“A-a...” ujarnya sambil memainkan jari telunjuknya, tanda ia tidak menyetujui permintaan Mama.
Ia lalu tersenyum pada Arham. “Achi yakin Arham bisa menentukannya,”
Arham menyambut senyumnya.
“Baiklah, kalau itu keputusan Achi. Insya Allah nanti Am kabarkan ke orangtua Arham, biar segera mengurus hal-hal lainnya. Kalau mahar, biar Am sendiri yang memilihkan. Kalau soal persiapan disini bagaimana?” tanyanya polos sambil melihat kearah papa dan mama Achi.
“Soal persiapan disini, Arham tidak usah pusing, biar Mama aja yang urus. Berkas-berkas biar Papa yang urus, ya kan Pa?” ia langsung mengganti sebutan untuk dirinya.
Papa hanya menganggukkan kepala, tanda menyetujui usulan mama.
“Hari Sabtu malam kita langsungkan akad nikahnya. Kalau bisa sebelum magrib sudah sampai, jadi kita sempat magriban di mesjid sebrang, setelah itu langsung akad nikah disana. Jadi selepas isya sempat kumpul dirumah. Achi pulang Senin kan, berarti besok Bayu temenin Mama sama Achi untuk lihat-lihat kebaya ya. Kalau Dimas mau ikut boleh juga, Si Papa biar aja tinggal, nyari penghulu,”
“Duh si Mama, tadi kaget bener waktu Achi bilang nikahnya minggu depan. Sekarang antusias banget,”
“Ah Papa. Harus antusias dong, secara mau punya mantu gitu loh,”
“Hmm, oh iya Ibu,”
“Mama loh Arham, jangan Ibu ih,”
“Ah iya. Mama,” ujar Arham kaku.
“Nah begitu dong. Ada apa tadi?”
“Setahu Am, biasanya sebelum akad ada yang namanya lamaran atau serah-serahan gitu, itu gimana ya, ma?”
Achi hampir saja tertawa melihat tingkah Arham yang menggaruk-garuk kepalanya ketika menyebut kata “Ma”. Masih kikuk. Terlebih ketika melihat tingkah mama yang dipanggil dengan sebutan “Mama”, bahagia sekali tampaknya.
“Ah, soal itu terserah keluarga Arham saja. Yang penting dikasih kabar. Kalau zaman Bude Halimah mu dulu menikahkan Mas Okto, waktu ngantar seserahannya Okto nggak ikut kan Pa?” Papa menganggukkan kepala menjawab pertanyaan mama.
“Iya, jadi kalian berdua tidak usah pulang dulu. Minggu ini kalian sudah libur, masa mau libur lagi minggu depan. Nanti bahaya untuk praktek kalian. Jadi biar perwakilan keluarga saja yang datang. Kami disini menerima dengan tangan terbuka kok. Seadanya saja, Nak Arham. Tidak usah memaksakan diri terlalu berlebih,” ujar papa sambil tersenyum.
Arham tersenyum, “Insya Allah Pa...”
♥♥♥♥♥
Achi menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya ia masih belum meyakini apa yang baru saja terjadi padanya. Seorang lelaki yang belum lama dikenalnya dengan niat bulat dan tekad yang kuat benar-benar datang menemui kedua orangtuanya untuk melamarnya.
'Ah... saat itukah rasa ini muncul?' tanyanya dalam hati.
Ingatannya berputar pada masa ia dengan isengnya menjahili lelaki itu.
Sudah hampir dua minggu mereka berada di kota ini untuk melaksanakan praktek mengajar, bersama dengan orang-orang yang tidak dikenal pula. Sabtu ini penghuni posko kumpul bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama, walaupun ada beberapa orang seperti Rika, Cindy, Lusi dan Astrid yang pulang kekampung halaman dengan berbagai macam alasan. Suasana riuh dan penuh keceriaan kurasakan disini, walaupun tidak semua berkumpul. Liya yang menjadi penghuni baru dikamar Achi CS pun menambah riuhnya suasana malam itu.
“Keluar yok Chi,” ajak Liya.
“Bentar ya sayang, pakai jilbab dulu,”
“Achi kalau di rumah pakai jilbab juga?”
“Kadang, kalau ada tamu aja. Kalau kumpul keluarga biasa ya enggak,” ujarnya sambil membetulkan letak jilbabnya. “Ayuk,” ajaknya kemudian.
Di bawah telah berkumpul beberapa orang, Juan, Arham, Fikri, Iren, Beby dan Mitha.
“Hey,” Achi menyapa, mencoba berbasa-basi.
“Ini dia tuan putrinya nongol. Kalian ini ditungguin dari tadi, nggak mulai-mulai show kita kan,” ujar Arham asal.
“Show apa ya?” tanya Viza polos.
“Oalah Viza, si Arham didengar kali omongannya,” ledek Juan.
“Dasar lah kau, Arham. Kirain show apa,” ujar Viza sewot.
“Eh bentar ya,” Achi pamit begitu mendengar suara ponselnya berdering.
“Cie cie, cowoknya ni ye,” ledek Arham.
“Arham mau tahu aja ih,” ujar Achi sedikit mentel seraya menjauh dari keramaian. Mereka kembali sibuk bercanda ria diruang tengah yang hanya diisi karpet milik Juan.
“Udah siap? Bilang lah sama abang sayangnya ntar aja, Chi,” ledek Juan ketika melihat Achi sudah selesai mengangkat telepon.
“Maklum aja lah Juan, jauh dari jangkauan, tiga bulan pula itu, jadi wajar lah,” jawab Achi spontan.
“Achi udah punya pacar?” tanya Arham, mungkin dia hanya berbasa-basi tapi tanggapan yang lain, ehmmm...
“Udah donk, masa udah dua satu masih jomblo,”
“Udah berapa lama?”
“Mau tahu aja kau lah Ham. Kenapa, naksir Achi kau?” ledek Juan sambil bercanda dengan logat bataknya.
“Nggak loh Ju, kalau udah punya pacarkan bisa ku coret dia dari list calon istri,” balas Arham ngasal.
Suasana makin gaduh setelah mendengar ucapan Arham yang luar biasa mengagetkan itu.
“Kau Ham, sebenarnya mau PPL atau mau cari istri?”
“Ya ibarat pepatah mengatakan lah Liya, sekali merengkuh dayung, dua tiga ikan ketangkap. Gitu kan bunyinya?”
“Gundul mu,” jawab Liya sewot, secara dia si Master of Indonesian Language gitu loh.
Tak ayal gelak tawa semakin menjadi-jadi diruangan tengah itu, belum lagi ketika Achi berkata bahwa untuk apa dicoret namanya, toh yang menikah saja bisa bercerai, apalagi yang masih pacaran, semakin luar biasa menjadi-jadi perkumpulan malam itu.
“Teman-teman, aku permisi dulu ya, mau melatih anak-anak di gereja,” ujar Harphy tiba-tiba.
“Pulang jam berapa Phy?” tanya Achi berbasa-basi.
“Nggak pulang Chi, sampe minggu sore kami kalau latihan,” terangnya. “Permisi aku ya Fikri,” pamitnya kepada Fikri yang walaupun stambuknya lebih tinggi diatas mereka, tapi tahun kelahiran masih sama.
“Iya, hati-hati kau ya Phy, jangan melalak pula kau,”
“Gampang lah itu,”
“Jadi, si Arham masih bisa masuk ni, Chi?” tanya Juan menyambung pembicaraan mereka setelah Harpy pergi.
“Lah, wong katanya yang menikah aja bisa bercerai apalagi yang pacaran kok Ju, berarti masih ada lampu hijau lah,” sambung Liya.
“Apa lagi Ham? Lanjut aja lah, kurang apa coba si Achi,”
“Parah kau Ju. Memangnya udah berapa lama, Chi?”
“Katanya parah, tapi ditanya juga berapa lamanya,” ledek Viza yang dari tadi hanya bisa tertawa.
“Maunya berapa lama rupanya Ham?” tanya Achi ikut meledek.
“Betul-betul parah ini bah, Ndre. Udah ada yang punya tapi masih ngasih sinyal ke orang lain,” ujar Arham menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berkata pada Andre yang baru tiba. Tak ayal yang disebut namanya menjadi bingung, tak mengerti atas perkataan si pembicara. Riuh pun semakin menjadi-jadi hingga bulan merangkak semakin menjauh.
♥♥♥♥♥