Empat

1231 Kata
Jangan hanya lihat cintaku dari mataku, tapi rasakan dari hatiku yang paling dalam ini Letakkan tanganmu di dadaku, maka kamu akan merasakannya ♥♥♥♥♥ “Astagfirullah, Arham…” ucap Achi yang terkejut melihat sekelebat bayangan di ruangan yang biasa dipakai untuk shalat. “Oh, Achi. Mau shalat?” “Iya, Arham baru selesai?” “Iya. Ya udah, shalat lah,” Saat itu jam diponsel Achi menunjukkan pukul 03.25, dibantainya 6 rakaat shalat lail, kemudian disambung mengaji dengan suara super kecil agar penghuni posko tidak terbangun, sampai terdengar suara mengaji dari kaset yang distel di mesjid yang ada di simpang posko mereka. Achi menutup Qur’annya, membalikkan badan dan kembali ia terkejut melihat Arham masih duduk bersila sambil memegang Qur’annya. “Loh, kirain Arham udah masuk kamar tadi,” “Gak lah, kan mau nungguin Achi,” ujarnya mencoba bercanda. “Mana tahu Achi takut sendirian, jadi Am temani lah,” “Baru Arham loh penghuni posko yang ngisi ruangan ini tengah malam selain Achi,” “Oh ya? Fikri sama Andre nggak pernah?” “Mereka di sini kalau magrib sama isya aja, kayak kemarin. Sisanya jarang. Ada aja alasannya, masih ada yang mandi lah, ini lah, itu lah, apa lagi kalau subuh, bangunin Fikri itu susahnya setengah idup deh,” “Wah wah, anak ceweknya gitu juga?” “Kalau yang di kamar sih nggak gitu, tapi kalau mau bangunkan Mitha sama Lusi tuh yang agak segan, takut yang lain kebangun,” “Iya juga sich. Eh, udah mau adzan, aku ke mesjid ya,” “Oh, iya. Arham bawa aja kuncinya,” “Ok, Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikum salam...” ♥♥♥♥♥ “Achi nggak ikutan jogging ya, dingin, pliss...” ujarnya memelas, mengelak dari acara jogging pagi di minggu yang cerah itu. “Yah, nggak asyik Achi ih,” seru Iren tak setuju. “Iya nih, gak asyik Achi ah...” tambah Beby. “Dingin banget, Achi nggak tahan. Ya, ya, ya...” pintanya lagi. “Hhh,” Fikri melengos, luluh hatinya melihat wajah memelas Achi dengan puppy eyesnya itu. “Tapi gantinya masakkan bubur kacang ijonya ya Chi!” “Hah? Achi nggak bisa, ancur ntar buburnya Chi buat, Fik.” “Ah bohong ih Achi, semalam katanya bisa, hukuman ni buat Achi,” ujar Viza. “Aich, jangan lah. Tega banget sama Achi, ih,” “Nggak ada merajuk-merajuk. Salah mu Chi, kalau nggak ikut sekarang, ayok,” ujar Juan. Mau tak mau, Achi menuruti permintaan mereka untuk memasak bubur. “Kau Ham, apa lagi? Kok nggak siapan?” tanya Juan pada Arham yang berdiri disamping Achi. “Perutku nggak enak Ju, lagian kasian lah Achi sendirian di posko, jadi ku kawani aja lah ya,” ujar Arham. Memang sepulang dari mesjid tadi Arham terlihat bolak balik ke kamar mandi saja. “Ah, alasan mu aja itu. Bilang aja kau mau berduaan sama Achi,” ujar Juan Asal. “Bukan Ju, perutku beneran lagi bermasalah nih,” Fikri melirik jam tangannya, “Ya udah lah, nanti keburu siang,” “Jalan kami ya, jangan kau apa-apakan adik kecil kami itu,” ujar Liya mengingatkan. “Insya Allah,” ujar Arham terkekeh geli. “Ingat loh Ham, dua orang berlainan jenis berduaan, yang ketiga setan,” celetuk Viza yang disambut tawa riuh penghuni posko yang hendak jogging. “Dasar Inur gendeng,” balasnya. ♥♥♥♥♥ Sepeninggal mereka, Arham langsung berlari menuju kamar mandi. Achi pun tak mau tinggal diam, segera diambilnya kacang hijau yang semalam mereka beli sepulang dari mengajar, lalu direndamnya agar terlihat mana kacang yang bagus, mana yang tidak. Karena dia anak perempuan satu-satunya, bukan berarti sang mama memanjakan sehingga tidak membiarkannya menyentuh dapur. Memang pekerjaan rumah seperti mencuci, membersihkan rumah dan kebun sudah diserahkan kepada khadimat atau pembantu rumah tangga, namun kalau urusan dapur, mama lebih suka mengambil alih tugas itu sendiri, sehingga tak jarang jika ada kesempatan mama memanggil putri kesayangannya itu untuk membantunya. “Kenapa direndam gitu kacang hijaunya, Chi?” tanya Arham yang baru keluar dari kamar mandi. “Ha, oh Arham. Iya, Achi pernah diajarin Mama, katanya rendam dulu kacang hijau sebelum dimasak, biasanya ada yang beberapa kacang yang mengambang, itu perlu dibuang, kurang bagus, gitu sih,” “Kalau perlu bantuan, bilang aja ya. Aku ke kamar dulu, mau baringan, perutnya nggak enak banget,” ujarnya sedikit meringis. “Kenapa perutnya, Ham?” “Nggak tahu nih. Perih banget,” “Karena telat makan tadi malam? Arham punya maag?” “Punya, tapi biasanya nggak sampe nyeri. Iya sih, tadi malam telat kali kita makannya, udah gitu sambalnya pedas banget,” “Jadi gimana?” tanya Achi prihatin. “Biasanya minum apa biar sembuh?” “Biasanya ya minum obat, kalau nggak minum teh pahit panas, ini nggak ada sih,” “Ehm, Achi buatin teh pahit panasnya ya. Arham tunggu di kamar aja, ntar Achi panggilin kalau udah siap,” “Iya. Makasih ya, maaf jadi ngerepotin Achi,” Achi tersenyum menjawab perkataan Arham dan langsung berlalu menuju dapur. Memang sih, tadi malam mereka makan terlambat, sehabis magrib, ketika Fikri dan Juan keliling mencari nasi bungkus yang murah meriah, Viza minta dibelikan sate padang dan Liya minta dibelikan martabak mesir. Alhasil kedua orang tersebut kembali tepat ketika azan isya sudah selesai berkumandang. Seperti yang dikatakan Arham tadi, rasa sambal yang ada di nasi bungkus itu memang luar biasa pedasnya. Ah kasihan Arham, batin Achi. Sambil memantau perkembangan kacang yang tengah direndamnya, ia mengisi panci kecil yang dibawa oleh Liya dengan air dan menenggekkannya di atas kompor gas sumbangan Harphy. ♥♥♥♥♥ “Arham, ini tehnya udah siap,” ujar Achi sambil mengetuk pintu kamar anak lelaki. Tak berapa lama pintu terbuka, kepala Arham bersimbah keringat. Begitu membuka pintu, dia tak bisa lagi berkata-kata, langsung kembali tiduran di atas karpet bawaan Harphy. Achi langsung meletakkan air teh pahit panas yang dibawanya ke samping Arham. “Sakit banget ya Ham?” tanyanya benar-benar prihatin. Arham hanya bisa mengangguk lemah. “Ini diminum dulu tehnya,” Arham berusaha bangkit, dengan sigap Achi membantu meletakkan beberapa bantal dibelakang punggungnya, untuk menjadi sandaran dia duduk. “Makasih ya Chi, aku jadinya ngerepotin,” ujarnya sambil menyesap teh yang dibuat Achi. “Tadi Achi tambahin jahe, biar hangat perutnya,” ujarnya ketika melihat dahi Arham mengernyit heran dengan rasa teh yang dibuatnya. “Achi ke dapur lagi ya, kalau ada apa-apa panggil aja,” “Perasaan itu tadi kalimatku deh, Chi. Sekarang malah aku yang ditolongin,” ujarnya berusaha bercanda. Achi hanya dapat tersenyum. Dalam hati tak henti ia beristigfar agar dijauhkan dari godaan setan yang terkutuk. Berdekatan langsung dengan lawan jenis selain kedua kakak lelakinya, belum pernah dilakukannya sebelumnya. Memang ia bukan aktifis kampus. Tidak mengikuti Lembaga Dakwah Kampus apapun. Namun ketika berkumpul bersama Airin dan Nisya, sahabatnya, mereka sering membahas topik-topik yang berbau Islami. Mengomentari para aktifis yang pergerakannya terkesan menyalahi aturan yang ada. Airin, saat masih duduk dibangku kelas XI SMA, pernah mengikuti organisasi Islam di sekolahnya, jadi pengetahuan keagamaannya lumayan luas. Nisya juga, dulu dia bersekolah di MTs. Jadi lengkaplah sudah mereka bertiga. Walau jilbab yang mereka kenakan tidaklah selebar akhwat-akhwat yang berkecimpung dalam dunia dakwah, tapi mereka selalu berusaha untuk menutupi mana yang harus ditutupi, ketaatan seseorang kan tidak dilihat melalui lebar tidak jilbabnya, yang jelas aurat mereka tetap mereka tutupi sesuai dengan aturan dan syariat yang ditetapkan. Ingat Achi, ini hanya rasa simpatimu, tak tega melihat saudaramu sakit... ♥♥♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN