Mencintai
Merupakan sebuah anugerah besar yang Tuhan berikan kepada manusia
Maka dari itu
Bersyukurlah dan jaga segala anugerah itu
[]
♥♥♥♥♥
Adzan magrib yang berkumandang menambah laju jantung Achi yang tengah menanti dikamar pengantinnya. Tak henti-hentinya ia membaca surah-surah pendek yang dihapalnya.
Setelah magrib berjama’ah dengan teman-temannya di kamar, mereka membantunya mengenakan pakaian yang ia beli minggu yang lalu. Pakaian Arham sudah diantar sore tadi.
Seperti tak puas, berkali-kali mama bolak-balik masuk ke kamarnya untuk mengecek persiapannya dan berkali-kali pula lah ia mengusap air mata yang membasahi pipinya. Rencana awal mereka yang akan mengadakan akad nikah ba’da magrib terpaksa diundur menjadi ba’da isya karena penghulu terlambat datang.
Viza, Mitha dan Liya yang kebetulan tidak shalat, bertugas untuk mengecek apakah persiapan di mesjid sudah rampung atau belum.
Begitu juga dengan teman-teman wanita yang non muslim lainnya. Mereka turut membantu segala persiapan yang dibutuhkan, bahkan ikut menggelar karpet di ruang tamu.
Harphy dan Juan sedari sore sibuk mengosongkan ruang tamu dan memindahkan perabotan berat lainnya. Maka setelah adzan isya berkumandang dan mereka selesai melaksanakan shalat isya berjama’ah, Liya menghampiri mama yang berada di dalam kamar Achi.
“Tante, yang di mesjid udah pada siap. Mempelai wanitanya udah boleh masuk, Tan,”
Mama, Airin, dan Nisya serta Rika membantunya berdiri.
Sebenarnya dandanannya teramat simpel, namun rok dari kebaya ini ternyata membuatnya menjadi sangat anggun, sehingga tak bisa melangkah bebas. Wajahnya hanya diulas make-up seadanya. Dia memang tidak ingin berdandan lebih, Arham pun berpesan demikian.
Sampai di mesjid, mereka masuk dari pintu masuk wanita, jadi para lelaki tidak langsung melihat kedatangan mereka.
Achi melihat sudah ramai yang hadir disana. Calon Dimas juga hadir, ia terlihat duduk bersama teman Dimas lainnya. Arham sepertinya hanya mengundang para ikhwan di lembaga dakwahnya saja, karena para akhwat tak ada yang tampak disana. Mereka dipisahkan oleh tirai hijau yang menjadi hijab antara tempat laki-laki dan perempuan.
Dari seberang terdengar penghulu menanyakan apakah mempelai wanita sudah hadir. Maka secara serempak para wanita menjawabnya.
Maka dimulailah perjanjian antara seorang hamba dengan penciptanya. Perjanjian untuk mengambil alih tanggung jawab orangtua atas anak gadisnya. Ijab dan qabul yang terasa begitu sakral, itulah yang diinginkan.
Achi tak dapat membendung air matanya ketika mendengar lelaki yang telah ia pilih untuk menjadi imamnya mengucapkan janjinya kepada Allah, disaksikan para malaikat dan rasulnya. Ia lihat mama juga meneteskan air mata. Tanda haru bahwa dia akan melepas putri semata wayang yang selama ini sangat dimanjakannya.
Setelah para saksi mengatakan sah, maka berlantunan doa yang mengharapkan mereka menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Ya Rabb, Tuhan semesta alam, hari ini engkau menjadi saksi perjanjian suci ini. Maka jadikanlah kami selalu didalam ridha-Mu. Berkahilah keluarga dan keturunan kami kelak. Dan taburilah kehidupan kami dengan cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya hanya kepada Engkau hamba memohon pinta dan memanjatkan doa, karena hanya engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha penyayang, aamiin...
Tirai pembatas dibuka. Beberapa diantara para tamu memalingkan wajah melihat ke arah mempelai wanita, termasuk kedua mertuanya. Tampaklah olehnya wajah kedua mertuanya duduk dibelakang putra mereka, walau ia belum pernah bertemu sebelumnya, tapi wajah suaminya melekat jelas pada diri kedua orangtua itu.
Mata tajam milik bapak, dan wajah lembut milik ibu. Arham tidak memalingkan wajahnya. Dimas dan Bayu membantu mama untuk menuntun mempelai wanita berjalan menuju sisi sang mempelai pria.
Setelah duduk disebelah kirinya, mempelai wanita pun disuguhi beberapa berkas yang harus ia tanda tangani. Lalu suaminya mulai membacakan hak dan kewajibannya yang tertera pada buku nikah dan setelahnya gantian si istri yang membacakan hak dan kewajibannya.
Ketika bersalaman dengan orangtuanya kembali air matanya menetes. Pesan-pesan yang ia terima, kecupan dan pelukan haru mama membuatnya semakin tak mampu untuk membendung air matanya.
“Mintalah doa restu kepada ibu mertuamu, Chi. Karena siapa tahu doanya lebih makbul daripada doa Papa dan Mama mu ini. Karena seorang istri setelah menikah menjadi milik suaminya, tapi seorang suami ketika menikah akan tetap menjadi milik ibunya. Kamu milik suamimu, maka kamu juga milik ibu suamimu, mintalah doa restunya. Hormati dia sebagaimana kamu menghormati kami sebagai orang tuamu.”
Ia pun beranjak dari orangtuanya menuju tempat kedua mertuanya, meminta doa dan restu mereka. Begitupun ketika meminta doa dan restu kedua kakak lelakinya, ia menangis haru. Selama ini mereka yang selalu menjadi kesatria penolongnya, kini mereka harus melepaskan tugas mereka dan memindahkannya kepundak seorang Arham Firdaus.
Seusai acara foto bersama di mesjid. Mereka melangkah menuju rumah. Walau sudah sah menjadi suami dan istri, Achi terlihat tetap berjalan dirombongan wanita, begitupun Arham, berjalan dirombongan pria sampai mereka tiba dirumah. Di rumah, saudara-saudara dan para pembantu mulai disibukkan untuk menyuguhi makanan ringan pada para tetamu yang ada. Achi pun berkumpul dengan teman-temannya yang lain.
“Achi cantik kali. Sumpah deh,” teriak Mitha yang sedari tadi berada di mesjid untuk memantau persiapan di mesjid, sehingga tak ada waktu untuk melihat si ratu sehari.
Achi yang dipuji hanya dapat tersenyum. Tubuhnya sudah mulai lelah. Sudah pukul sembilan lewat sepuluh. Ia melihat Arham yang memperhatikannya dari tempatnya duduk.
“Capek?” tanyanya hanya melalui gerakan bibir.
Achi menjawab dengan sebuah anggukan.
“Sabar ya,” ucapnya lagi lalu berpaling untuk menanggapi apa yang dikatakan temannya.
Pukul sepuluh kurang lima belas menit, teman-temannya mulai berpulangan satu per satu. Kini Achi duduk bersama keluarga suaminya.
Tepat dugaannya, ibu mertuanya memiliki tingkah yang sedikit mirip sang mama. Mama pun ikut bergabung menemani putrinya itu. Teman-teman wanita Achi sudah mulai masuk ke kamar yang memang dipersiapkan mama untuk mereka. Yang lainnya ikut pulang bersama teman-teman Arham.
Ketika keluarga mempelai pria pamit untuk pulang pada pukul setengah sebelas, Arham berdiri di samping Achi yang sudah tidak tahan lagi menopang tubuhnya sendiri. Di sebelah kanan Achi, Airin ikut menjaga keseimbangan badannya. Entah mengapa rasanya punggung dan pinggulnya terasa sakit sekali.
♥♥♥♥♥
“Achi istirahat duluan aja ya. Am mau kumpul sebentar, temannya belum pulang semua. Airin tolong bantu Achi ganti-ganti ya,” ujar sang suami ketika mereka berada di dalam kamar.
“Beres bos,”
“Rii, Achi bisa ganti sendiri. Malu ah buka-bukaan di depan Rii,” ujar Achi ketika Arham sudah keluar dari kamar dan menutup pintu.
“Perasaan tadi yang bantuin Achi pake baju aku juga deh. Pake malu segala,” ujarnya sambil membantu sahabatnya melepas hiasan di jilbabnya.
“Riichan, punggung sama pinggul Achi kok rasanya sakit banget ya? Mau remuk rasanya,”
“Kelamaan duduk mungkin, Chi. Siap ini langsung tidur aja, kan tadi Arham pesan gitu juga.”
“Iya deh,”
“Mau pake baju tidur yang mana nih?” candanya.
Achi kembali teringat beberapa gaun tidur yang diberikan sebagai salah satu seserahannya. “Riichaaaaannnnn...... Sakit ni punggungnya, jangan ngajak becanda dulu,”
“Iya deh, iya. Sensitif banget pengantin baru ini,” ujarnya sambil menyisir lembut rambut sahabatnya itu. “Bajunya beneran buka sendiri aja Chi?”
“Iya. Rii istirahat aja deh. Kan udah sibuk dari pagi. Nisya aja udah molor,”
“Iya deh. Have a good night yah,”
“Thanks beib,” ujar Achi mencoba tersenyum.
Achi menatap pantulan wajahnya di cermin meja rias, tersenyum penuh makna sambil memikirkan apa yang terjadi padanya selama seminggu ini,
“Apa lagi yang ditunggu, Chi?” tanya Bayu menyadarkan adiknya dari lamunannya.
Semua orang menanti jawabannya.
“Apa tidak ada waktu untuk Achi berfikir?”
“Bukankah Arham sudah memberikan waktu untuk Achi berfikir? Bahkan beberapa bahan pertimbangan juga. Mas rasa sudah saatnya Achi putuskan.”
Achi kembali terdiam. Otaknya berfikir cepat. Menjalin, merangkai, berhenti sejenak, lalu mulai bekerja lagi, terbentur, lalu berbenah lagi, hingga membentuk sebuah kesimpulan yang tepat dan bijaksana menurutnya.
Ia menarik nafas dalam-dalam, persis seperti apa yang dilakukan papanya. Dibacanya basmallah dalam hati, lalu diikuti dengan surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas untuk menghilangkan gelisah dihatinya.
“Bagi Achi, menikah bukan sesuatu yang gampang, karena selain menyatukan dua hati, menikah juga menyatukan dua keluarga. Memang pada dasarnya perempuan hanya bisa menunggu dan menerima. Tetapi adakalanya perempuan juga ingin menentukan
pilihannya. Lalu, apakah orangtua Arham sudah mengetahui hal ini?”
Arham menoleh, “Oh, soal itu, alhamdulillah sudah. Kalau tidak salah kemarin mereka sempat ngobrol dengan Achi, kan?”
“Oh, iya. Sempat sebentar.” Berarti kemarin itu unsur kesengajaan??
“Mereka sudah tahu kok,”
“Alhamdulillah kalau begitu.” Achi kembali menarik nafas panjang. “Jodoh itu memang ditangan Allah, tapi seandainya Allah telah menunjukkan jodoh itu, tetapi si manusia tidak mengambil langkah, maka bisa jadi ia tidak berjodoh. Dan jika memang ini yang Allah takdirkan, maka insya Allah Achi menerima lamaran ini. Toh Arham sudah menepati syarat yang Achi ajukan, menemui Mama dan Papa dulu. Dan yang terpenting papa dan mama sudah menyetujui hal ini.”
“Jadi?”
“Ya, insya Allah Achi terima lamaran ini.”
Seluruh keluarga langsung mengucap syukur begitu pernyataan itu keluar dari bibir gadis mungil mereka. Arham tertunduk menahan harunya. Kedua tangannya menutupi wajahnya, badannya bergetar. Dimas yang duduk disampingnya mengelus pundaknya. Sang mama tersenyum menatap suaminya, ada kesedihan terpancar diwajah arif itu, tidak, bukan kesedihan, tapi haru. Suaminya telah dengan ikhlas bersedia melepaskan putri kesayangan mereka untuk lelaki lain. Ia sendiri merasakan satu tarikan yang kuat dari lelaki muda dihadapannya itu.
Dimas sudah menjelaskan banyak mengenai lelaki yang akan datang melamar adiknya itu. Dan sebagai anak tertua dikeluarga ini, Dimas yakin bahwa lelaki ini pantas untuk adiknya, tidak seperti para lelaki sebelumnya yang selalu ingin menunjukkan superior mereka.
“Tapi,” lanjutnya yang membuat mereka kembali terdiam.
“Achi ingin pernikahannya berlangsung minggu depan,”
Tak ayal ucapannya membuat semua orang yang ada diruangan itu terdiam.
“Achi!!” seru mama. “Apa itu nggak terlalu terburu-buru, Chi?”
“Tenang dulu Ma,” ujar Papa yang terlihat lebih kalem dari yang lain.
“Achi
pasti punya alasan untuk itu. Apa alasan Achi, Nak?”
Achi tersenyum, matanya menatap dalam pada lelaki cinta pertamanya itu. Ingatannya menerawang jauh kala hatinya berdebar karena sosok pria yang datang menghadap keluarganya itu....
♥♥♥♥♥