Dua

1003 Kata
Cinta bukan tentang berapa lama kebersamaan itu Tapi tentang apa yang dirasakan saat bersama Bukan tentang mengharap pembalasan atas apa yang telah diberi Tapi tentang kesabaran dan pengertian yang harus terus tumbuh saat bersama [] ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ “Arham!” Henry terpekik kaget ketika melihat sahabatnya itu muncul di depan pagar rumah kosnya. “Antum dari mana akh?” tanyanya kemudian. “Boleh ana masuk, akh?” Arham balik bertanya. Henry langsung membuka lebar pagarnya dan membiarkan Arham masuk kedalam. Satu jam yang lalu ia baru menerima telpon dari istri sahabatnya ini yang menanyakan keberadaan suaminya. Dan sekarang sahabatnya ini muncul dengan wajah kuyu. Ada beberapa bilur bekas memar di wajahnya. Disudut bibirnya masih tersisa bekas darah yang sudah mengering. Dibiarkannya sahabatnya itu masuk dan berbaring di karpet tempat ia biasa duduk untuk mengerjakan segala macam tugas perkuliahannya. Satu jam telah berlalu dan mereka hanya diam. Henry cukup tahu seperti apa tabiat sahabat baiknya ini. Biarkan saja ia yang bercerita, jangan mencoba untuk kepo dan mengorek lebih dalam darinya karena anak ini teramat sensitif dan juga labil. Ia hanya mengirimkan pesan kepada istri sahabatnya untuk tidak khawatir dan tidak usah lagi menunggu, karena sekarang ada bersama dirinya dan kemungkinan Arham akan menginap di kosnya. Henry menampung air panas dari dispenser kedalam mangkok, dan meletakkannya disamping Arham, bersama sehelai handuk kecil. Dilihatnya Arham bergerak, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya sedikit terguncang. Henry menyentuh bahu itu pelan. “Ana harus gimana akh?” Henry menarik nafas panjang. Sejujurnya ia tidak tahu masalah apa yang tengah menghimpit sahabatnya ini. Yang ia tahu hanya beberapa hari ini pokok bahasan pembicaraan mereka adalah tentang kesetiaan. Baik kesetiaan dalam persahabatan, agama sampai urusan rumah tangga pun dibahas. Dan ini terus dibahas serta didiskusikan Arham, baik saat mereka makan siang, selesai shalat, maupun ketika mereka rapat bersama kader dakwah lainnya. “Antum bersihkan dulu luka antum, akh. Setelah itu kita bicara,” saran Henry. Arham mencoba duduk. Mengambil handuk kecil yang diletakkan Henry disampingnya. Membasahi handuk itu dengan air panas dan meletakkannya dibagian wajahnya yang dirasa sakit. Henry berdiri mengambilkan kaca untuk sahabatnya itu, agar bisa melihat bagian mana yang harusnya dibersihkan. Setelahnya ia kembali duduk, tangannya kembali sibuk menekan tuts-tuts smartphone-nya. Istri sahabatnya ini masih bertanya bagaimana kondisi suaminya. Dan Henry tidak bisa memberitahu banyak. Ia hanya mengatakan Arham baik-baik saja. “Antum tahu akh, dengan tangan ini ana menghajar laki-laki itu,” ujar Arham setelah ia selesai membersihkan lukanya. Tinjunya mengepal. Matanya yang sipit itu menatap tinju itu menerawang. Henry menatap terkejut sahabatnya itu. Bukan kebiasaan Arham untuk main hakim sendiri. “Siapa yang antum maksud, Am?” “Selingkuh... selingkuhan... selingkuhan istri ana, akh.....” mata itu menerawang semakin jauh. Henry terkesiap. Tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut Arham. “Antum istigfar Am. Jangan su’udzon gitu sama istri antum sendiri. Dari mana antum bisa bilang kalau istri antum selingkuh?” Arham tertawa pedih. “Antum bayangkan, mereka bertemu dibelakang ana. Apa namanya kalau bukan selingkuh?” “Am, jangan menuduh wanita selingkuh kalau antum tidak punya bukti. Istigfar.” “Antum tahu, sudah satu minggu ana diamkan dia. Tapi dia sama sekali nggak sadar kesalahannya. Kemarin ana ikuti dia pergi. Antum tahu dia kemana? Dia pergi buat nemui laki-laki sialan itu.” “Am, istigfar. Antum lagi dikuasai setan Am. Jangan sampai antum kalah, Am. Mungkin yang antum lihat nggak seperti apa yang sebenarnya.” “Antum nggak tahu apa-apa, Hen. Kemarin di pesta abangnya, laki-laki itu datang. Caranya menatap istri ana, cara istri ana menatap dia, cara mereka bicara. Ana lihat semua, sampai laki-laki itu pergi. Dan luar biasanya istri ana sama sekali tidak mengenalkan ana sebagai suaminya. Dia nggak manggil ana, Hen. Apa mereka takut ketahuan ana?” “Memangnya laki-laki itu siapa? Dari mana antum bisa pastikan itu selingkuhan istri antum? Mungkin itu teman lamanya.” “Ya, memang itu teman lama istri ana. Teman yang hampir jadi suaminya.” Henry mendelik ngerih. “Antum tahu dari mana Am? Jangan su’udzon...” “Airin. Waktu ana tanya siapa laki-laki yang bersama Achi, dia bilang itu teman lama Achi, namanya Indra. Dan antum tahu, istri ana pernah cerita tentang laki-laki yang meninggalkannya dan sampai membuatnya masuk rumah sakit, dan laki-laki itu ya dia. Si b******n itu!” desis Arham tajam. “Sudah antum bertanya pada istri antum, Am?” Arham menggelengkan kepalanya. “Laki-laki mana yang sanggup dibuat seperti ini Hen? Atau memang sudah takdir ana untuk selalu dikhianati pasangan ana sendiri?” “Am, saran ana, lebih baik antum tanyakan dulu ke istri antum. Tanyakan baik-baik.” “Ana nggak sanggup Hen. Bertanya hanya membuat emosi ana nggak stabil. Rasanya ana ingin keluar dari hubungan ini. Ana nggak sanggup kalau harus seperti ini Hen. Antum tahu, perselingkuhan wanita lebih berbahaya dibanding perselingkuhan laki-laki, Hen...” “Am!” desis Henry. “Hubungan antum bukan seperti hubungan anak-anak ABG yang tidak punya makna, Am. Ini pernikahan, bukan cinta-cintaan. Segampang itu antum mengatakan ingin keluar dari hubungan ini Am? Kalau istri antum dengar, atau keluarganya dengar, bayangkan hancurnya perasaan mereka Am.” Arham menghela nafas. Perih diwajahnya tak sebanding dengan perih dihatinya. Masih diingatnya bagaimana tadi laki-laki bernama Indra itu mengucapkan kalimat yang sangat membakar hatinya. “Istrimu? Achi tidak pernah mengatakan dia sudah menikah. Bahkan kemarin kami masih sempat bertemu, makan siang bersama. Dan mungkin minggu depan kami merencanakan untuk berlibur bersama, dia sudah selesai penelitian kan? Sekedar untuk refreshing sebelum sidang.” Masih diingatnya bagaimana ia meninju wajah lelaki itu dengan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Emosi yang tidak terperikan lagi. Panas yang membara di dadanya. Rahasia sang istri, penghianatannya, rasanya tak sanggup diembannya semua beban itu sendiri. Baru tiga minggu berlalu saat dia merayakan ulang tahun ke duapuluh dua sang istri. Masih lekat diingatannya bagaimana wajah mutiara hatinya itu tersenyum bahagia, tertawa, bermanja ria dipelukannya, menghabiskan malam yang dirasa lebih spesial dibanding malam lainnya, perencanaan-perencanaan detail yang mereka rancang, semua masih menempel kuat diingatannya. Lalu bagimana bisa kemudian istrinya menghianatinya? Dia masih tidak dapat percaya. ♥♥♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN