Only You, Agatha!

1494 Kata
Agatha mengeluh telah ditinggal pergi oleh Elizha dan Sandra. Tapi, beruntung makanan masih lengkap bin utuh di atas meja. Artinya, Elizha memasak menu sarapan khusus untuk putri keduanya. Tapi, ada sebuah kertas yang tergeletak di atas tudung makanan. Jangan dimakan dulu. Mama dan Kakak belum makan. Kami sedang pergi mencari lauk, sebentar. Pokoknya, kalau sampai makan duluan ... siap-siap bakal jadi lauk dadakan, kamu. Dari Mama Elizha cantik. Agatha membuang napasnya. Kemudian mengembalikan tudung makanan seperti semula. Beruntung, dia bangun masih pagi. Andai saja kesiangan, bakalan kehabisan menu sarapan dan terlambat sampai sekolah. Gadis SMA tingkat akhir itu mengeluh, sebab kakak dan ibunya belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, satu jam lagi dia harus sudah duduk manis di kelasnya. “Hmm, dasar Mama. Padahal gue harus segera berangkat.” “Gak usah ngamuk, ini sudah pulang,” kata Kak Sandra dengan membawa satu kantong plastik berwarna hitam. Agatha hanya tersenyum kikuk karena ocehannya terdengar oleh kakaknya. “Dik, siang ini Kakak balik ke Bali.” “Loh, kok cepet-cepet,” jawab Agatha sembari duduk di kursinya. Sandra mendadak pulang ke Bali. Alasannya, begitu klise. Mungkin, bagi sebagian orang, sangat tidak etis. Sandra terpaksa harus segera kembali ke Bali dikarenakan sang pacar telah menunggunya. Memang, alasan yang membuat tertawa. Tapi, ya, bagaimana? Paham, kan, kalau sudah menjadi b***k cinta? Ya, begitulah yang terjadi pada Sandra. Agatha tertawa. Seakan bahagia mendengar pernyataan dari Sandra yang terlihat begitu bu-cin. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Agatha sendiri juga telah memasuki fase di mana terjebak dalam ke-bu-cin-an dengan Zakaria. Seorang laki-laki yang berbeda keyakinan dengannya, tapi mampu menggetarkan jiwa dan hatinya dengan lantunan ayat suci. “Gak usah ketawa, Tha. Kakak tahu, kok, kamu juga lagi di fase ini. Iya kan?” “Wih, benar seratus delapan puluh derajat,” jawab Agatha sembari berdiri. Dia telah menyelesaikan sarapannya. “Ma, Kak, Agatha berangkat dulu. Mama jangan lupa, ya, jam satu siang.” Agatha pergi ke sekolah dengan diantar oleh sopir pribadinya. Langkah kakinya menuju sebuah kursi yang biasa ditempatinya. Rambut yang diikat dengan tali berwarna hitam di atas seperti ekor kuda. Hal itu yang membuatnya semakin terlihat sempurna. “Oke, kita mulai hari ini dengan doa bersama.” Guru yang sedang mengajar, duduk di tempat membuka kitab suci. Doa yang dipanjatkan dengan penuh khidmat. Waktu berputar sesuai dengan aturannya. Hingga, telah menunjukkan pukul satu siang. Sebenarnya, jam sekolah Agatha belum selesai. Akan tetapi, dia meminta izin untuk pulang terlebih dahulu. Dia melangkahkan kaki untuk sampai di gerbang depan sekolah. Menunggu mobil Elizha menjemputnya. Beberapa menit kemudian, tepat pukul satu lebih lima menit, Agatha telah memasuki mobil berwarna hitam itu. Mobil yang dikendarai menuju lokasi syuting. Agatha memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kontrak dalam sinetron itu. Alhasil, dia lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi. Di dalam mobil, Agatha memainkan ponselnya. Dia membuka pesan dari Zakaria. “Jangan lupa, ya, besok pagi,” kata Zakaria melalui pesan singkat. “Iya, aku ingat kalau besok hari Minggu.” Agatha meletakkan ponsel ke dalam tasnya kembali. Dia membawa satu kantong plastik hitam yang berisikan pakaiannya. Kaki melangkah masuk ke toilet umum yang tersedia di SPBU. Membayarkan uang seikhlasnya ke dalam kotak, lalu pergi meninggalkan tempat. Sebab, dia telah selesai mengganti pakaiannya. Setelah masuk ke mobil, Agatha menyenderkan badan ke punggung bangku mobil. Di sana, jemarinya tak tinggal diam. Jemarinya bergerilya di papan benda pipih bernama ponsel. Sebuah layar yang sedang menampilkan foto Zakaria bersama salah satu perempuan yang tergabung dalam labelnya. Perempuan yang tidak diketahui namanya oleh Agatha tampak dekat dengan Zakaria melalui foto tersebut. “Zaki, dia siapa? Aku tidak akan marah, hanya saja aku perlu tahu.” Agatha mengirimkan pesan tersebut ke nomor Zakaria. Hanya ketikan saja yang mengatakan tidak akan marah, nyatanya sejak tadi hatinya bergemuruh seakan dibakar hidup-hidup dengan panasnya kobaran api. Siapa sih, perempuan yang bisa menahan rasa cemburu terhadap pasangannya yang terlihat begitu mesra bersama perempuan lain? Ya, walaupun hanya sebatas partner kerja, tetap saja akan terasa tercabik-cabik hati seorang perempuan. Sakitnya tak bisa digambarkan, tapi hanya bisa dirasa. Tidak ada balasan dari Zakaria. Agatha melenguh panjang sembari melempar ponselnya ke samping. Tak disengaja, ponsel tersebut mental ke kepala Elizha. Posisi ibunya yang sedang tertidur pun mendadak terbangun. Ibarat kata, Agatha telah membangunkan singa yang sedang tertidur. “Agatha! Kau mau bunuh Mama?” katanya dengan intonasi yang tinggi. Tangan kanannya yang secara instan memegangi kepalanya yang terasa nyeri—mungkin. “Ya, enggak, Ma. Tadi itu lemparnya terlalu semangat. Jadi, ya, kena Mama. I am sorry,” jawab Agatha dengan memberi senyuman termanis. Elizha kembali memejamkan matanya. Kelopak matanya yang terpejam begitu terlihat menyejukkan. Pantas saja, selama ini Agatha kecanduan menatap mata ibunya. Seolah-olah tatapannya memberikan rasa nyaman dan meneduhkan. Tak terasa, Agatha telah sampai di lokasi. Dia mengganti kostum yang sesuai dengan perannya hari ibu. Sebuah seragam SMA khas sinetron. Sebelum acara pengambilan gambar dimulai, mereka melakukan rapat dalam beberapa menit. Ada beberapa arahan dari sutradara untuk setiap pemain sesuai dengan alur cerita yang sedang digarap. “Itu hanya partner kerja. Kamu sudah sampai di lokasi?” balasnya setelah berabad-abad menguji kesabaran Agatha. Kebetulan Agatha baru saja menyelesaikan satu adegannya. Sekarang, dia sedang duduk di bangku sembari menyantap satu tusuk bakso yang dibeli oleh Elizha. “Mam, beli di mana? Baksonya enak,” katanya sembari membenarkan rambutnya. “Okey, jangan lupa salat,” balas Agatha tanpa membubuhi emoji apa pun. Bahkan, tanpa basa-basi selayaknya orang bu-cin. “Ha ha, aku tahu kamu sedang cemburu. Tenangkan hatimu, percayalah, hanya akan ada kamu di dalam hati. Hanya namamu yang terucap dari bibirku kala berdoa. Hanya namamu yang mampu membuat pikiranku melayang sampai entah negara mana. Pokoknya, only you, Agatha!” balasnya yang disusul dengan sebuah stiker bergerak bergambar love. Siapa yang tidak akan melompat kegirangan? Kala mendapatkan pesan romantis seperti itu dari pasangan. Ya, itu yang sedang terjadi pada diri Agatha detik ini. Ditemani bakso tusuk dan es teh manis, masih ditambah pesan manis dari Zakaria. Rasanya, tubuhnya semakin terasa hangat. Tak bisa dipungkiri, rayuan manis dari pasangan dapat meningkatkan kebahagiaan. Kalau tidak percaya, coba saja. Sudah dipastikan akan menciptakan gelak tawa yang berkepanjangan, paling tidak akan membuatmu tersenyum sepanjang membaca pesan tersebut. “Ya, terserah.” Agatha tidak bisa membalas pesan itu dengan kalimat yang panjang selayaknya n****+. Sebab, konflik dalam batinnya telah mereda. Ajaib bukan? Hanya rayuan mampu membuat Agatha mengontrol emosinya. Begitulah manusia jika telah terlarut dalam ke-bu-cin-an. Tapi, itu terasa membuat bahagia sampai pada awang-awang. Kali ini, Agatha percaya pada statement tentang cinta itu buta. Tapi, Agatha juga tuli dengan suara mobil atau motor butut. Sebab, Agatha tidak pernah memandang harta dalam menjalin sebuah hubungan. Rasanya, tidak berguna jika yang kaya hanya orang tua si pria. “Gak usah ngamuk, gak usah marah, gak usah judes, dan gak perlu ngambek. Coba, sekarang lihat di feed i********:-ku.” Di bawah kendali Agatha, jarinya membuka akun miliknya. Di sana, sudah tidak ada lagi foto itu. Jelas saja, Zakaria telah menghapus foto itu sejak dua menit yang lalu. Bagi seorang Zakaria, Agatha begitu penting dalam rangkaian kehidupannya. Tanpa sosok perempuan berkulit putih, Zakaria seakan tidak bisa bernapas dengan nyaman. Seakan kehilangan separuh jiwanya. Dasar bucin!, mungkin kalimat itu akan terlontar dari para penggemar keduanya. Tak bisa mengelak, penggemar Agatha tersebar di seluruh penjuru nusantara—mungkin—juga dari beberapa negara lain. Tapi, bukan kalimat itu yang didapatnya. Justru, hubungan mereka mendapatkan dukungan yang begitu tinggi. Dibuktikan dengan adanya beberapa cerita di platform baca bergenre fan-fiction tentang mereka. “Iya, aku mau kerja lagi. Kamu di sana baik-baik, pokoknya jaga ibadah dan jaga hati,” balas Agatha sebelum mematikan data dan ponselnya. Kakinya melangkah untuk kembali pada aktivitasnya. Sebab, sejak dua menit yang lalu salah satu tim telah memanggilnya untuk segera melakukan pengambilan video kembali. Sebenarnya, Agatha merasa bosan dengan rutinitas ini. Tapi, karena terikat kontrak dan demi kariernya, dia rela bergadang di lokasi sampai pagi. Bisa dikatakan, jam tidurnya telah tak beraturan. Terkadang, dia tidak sempat pula untuk memejamkan mata. Miris, memang. Tapi, di sinilah sebuah tanggung jawab dan sikap profesionalitasnya diuji. “Agatha, besok pagi kita ada acara. Jadi, kita pakai pakaian yang ada di mobil saja. Tidak usah ambul pusing.” Febby memberitahu. Tidak lama, dia pergi dari hadapan Agatha yang tengah dirias kembali sesuai dengan perannya yang akan dimainkan dalam adegan yang berbeda. “Wah, Hari Minggu itu aku ada acara tersendiri. Tapi, ya, sudah. Kita manggung saja dulu, baru aku pergi ke gereja.” “Tha, pokoknya selalu utamakan grup kalian. Jangan sampai membubarkan pasukan penggemar hanya karena tidak profesional!” teriak salah satu tim yang membantu jalannya grup Bintang. “Iya, tapi bagi Agatha itu nomor dua .... “ Tiba-tiba terdapat suara yang berasal dari pintu. Laki-laki yang turut serta membantu dalam karier mereka telah menendang pintu dengan keras. Padahal, mereka masih berada di lokasi. Belum pergi sama sekali. Apakah pantas orang seperti itu disebut profesional? Tidak, tapi, ya, bagaimana lagi. Daripada urusan Bintang semakin kacau karena tidak adanya sebuah tim. Agatha mengelus d**a sembari mengucap nama Tuhan.                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN