Strum

1193 Kata
Keesokan harinya, Agatha telah siap dengan pakaian yang diganti di toilet umum. Hal seperti ini telah biasa baginya, seakan-akan menjadi anak jalanan. Agatha telah sampai di lokasi untuk mereka manggung. Beruntung, pagi itu tidak terjadi hujan atau macet. Sebab, antrean di toilet umum pagi tadi begitu panjang. Alhasil, dia tidak terlambat lagi. Mereka duduk di belakang panggung. Di sebuah ruangan seperti tenda yang dibuat khusus untuk tempat istirahat. Agatha dan teman-temannya sedang membalut wajahnya dengan bedak dan benda-benda kecantikan lainnya. Sebenarnya, tanpa balutan bedak pun Agatha telah terlihat cantik. Sebab, sudah dianugerahi oleh Tuhan kulit yang putih bersih dan wajah yang simetris. Beberapa menit kemudian, mereka telah dipanggil oleh pembawa acara. Mereka mengisi sebuah acara musik yang ditayangkan salah satu stasiun televisi dengan dua buah lagu miliknya. Tak terasa, waktu untuk manggung telah usai. Tepat pukul delapan, mereka berkemas untuk pulang. Agatha meminta izin kepada keempat anggota yang lain dan tim untuk pulang terlebih dahulu. Agatha bersama Elizha dan sopir pribadinya melenggang ke gereja. Tempat ibadah yang selalu dikunjungi. Setelah sampai di tempat ibadah, Agatha bersama Elizha melenggang masuk untuk menyembah Tuhan. Kedua tangan yang mengepal sebagai keseriusannya dalam berdoa. Beberapa waktu kemudian, Agatha melenggang pergi untuk memenuhi acara yang dibuat bersama penggemarnya. Di sebuah kafe yang ada di daerah Tangerang. Mereka berkumpul untuk bersuka cita dan bergembira bersama. Filda telah menyiapkan sebuah gitar untuk Agatha mengisi acara. “Selamat pagi, eh, sudah menuju siang, ya,” katanya sembari tersenyum. “Oh iya, maaf kalau aromanya khas asam. Soalnya belum mandi dan baru selesai manggung. Maaf juga Agatha terlambat sampai di sini,” sambungnya setelah duduk di tempatnya. Para penggemar yang hadir pun turut bahagia bertemu dengan idolanya. Mereka duduk dengan rapi di tempat yang sudah disediakan. “Tidak apa, Tha. Penting selamat sampai di sini. Harusnya tadi kita menonton dulu, ya,” timpal salah satu penggemar perempuan yang duduk di barisan tengah. “Nah itu, harusnya begitu. Btw, acara sudah dibuka?” tanyanya. “Sudah dari tadi. Makanan juga sudah habis ditelen. Lu sih terlambat. Jatah makanan yang buat lu udah dibagi rata ke semua yang hadir.” Filda mengangkat bangku di panggung yang ada di kafe. “Halah lu mah bohong, Fil.” Agatha berdiri lalu mengambil mikrofon yang disodorkan oleh Filda. Memang, Filda salah satu teman yang bisa diandalkan. Sebenarnya, Filda bukanlah teman dekat Agatha. Mereka ditemukan beberapa waktu lalu di lokasi syuting. Jadi, Filda merupakan salah satu penggemar Agatha yang dipercaya untuk mengurus pasukan pengikut Agatha. Benar-benar anak baik. “Dibuka sama makan aja bagaimana? Lapar soalnya nungguin anak satu ini,” kata Filda. Hampir seluruh orang yang hadir setuju. Walaupun acara berantakan tidak sesuai dengan susunan. Tapi, terpenting makna dari kebersamaan. Akhirnya, mereka menyantap makanan sebagai pembuka. Benar, mereka kelaparan. Terlihat dari cara mereka yang menyantap makanan, begitu terburu-buru seakan ketinggalan kereta malam. Eh, itu judul lagu. Agatha pun begitu, ditambah dari pagi buta belum sempat istirahat. “Tha, nyanyi,” kata Filda. Agatha yang masih menyuapkan nasi ke dalam mulutnya pun tersedak. Bukan membantu, mereka malah tertawa. “Hati-hati, Tha.” Mama Elizha mengambil segelas air putih untuk putrinya. “Sialan Fil,” balasnya sambil beranjak ke panggung. Agatha mengambil sebuah gitar berwarna cokelat yang sudah disewa oleh Filda. Sebuah permainan nada dilakukan oleh jemarinya yang mulus itu. Begitu berani tanpa takut rusak akibat memetik senar gitar. “Sebentar mau mencoba buat strumming,” kata Agatha yang sudah duduk di panggung dengan memangku gitarnya. “Kak, kenapa gitu? Bukankah hati kakak sudah di-strumming?” celetuk salah satu penggemarnya yang memakai kerudung berwarna cokelat. Agatha melongo tak mengerti. Pikirannya pusing memikirkan makna dari perkataan gadis itu. Bola matanya pun memutar seiring dengan kerutan di dahinya. Semua penggemar secara mendadak menatap gadis itu. Dalam sekejap mampu membuat dirinya menjadi pusat perhatian. “Maksudku ... Hati kakak kan sudah nyangkut di hati Kak Zaki bahkan sudah matang,” jawabnya sembari menunduk. “Astaga, maksudnya kesetrum?” tanya Filda sembari tertawa. “Nah, iya.” Seluruh penggemar yang tergabung dalam komunitas ‘Anak Agatha’s’ itu tertawa. Sedikit lelucon sebelum acara di mulai tak masalah. Justru, hal-hal seperti itu yang menghidupkan suasana. Jemari Agatha memainkan chord gitar dengan indah. Memainkan nada sesuai dengan lagu yang ia bawakan. Lagu berjudul ‘Tanpa Kamu’ telah mengudara versi akustik. Selama kurang lebih empat menit, dia menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Tak terasa air matanya menetes teringat dengan Zakaria. Tiba-tiba terdengar suara dering telepon dari ponselnya. Ternyata, Zakaria meneleponnya. Hal paling utama yang selalu menjadi pertanyaannya kala hari Minggu adalah seputar ibadah. Tentu saja, Agatha sudah pergi ke gereja untuk sembahyang. Sesibuk apa pun, sepadat apa pun kegiatan, Agatha akan selalu menyiapkan waktu untuk menyembah Tuhan. “Tha, sekarang di mana?” tanyanya. “Lagi di kafe ada acara bareng fans. Kamu sendiri sudah salat zuhur?” tanya Agatha sembari melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah satu. “Sudah, ini sekarang persiapan buat balik Jakarta.” Agatha berdeham sembari meletakkan ponselnya. Secara mendadak sambungan telepon telah terputus. Mungkin, jaringan milik Zakaria sedang gangguan atau kabur-kaburan. Agatha menatap ke arah luar ruangan melalui kaca jendela. Terlihat langit yang cukup mendung pertanda akan turun hujan lagi. “Bu, Pak suami telepon?” tanya Fani yang sedang memainkan kipas dari kertasnya. Kipas yang dibut dari bekas kardus makanan. “Ye elah anak koneng, aku belum menikah. Lagi pula, SMA saja belum selesai. Oh iya, sekarang acaranya apa? Sepertinya yang bertugas menjadi MC sedang meleng ya,” sindirnya. Filda yang memang bertugas menjadi pembawa acara pun terperanjat dari duduknya. Terlalu nyaman bersender pada punggung kursi. Andai saja, Filda bersender pada pasangannya, pasti matanya tidak akan bisa untuk melek. Terlalu nyaman. “Aih ngatain gue anak koneng. Oke, acaranya sekarang foto bersama. Sebab, makannya sudah ada di awal.” Filda mempersilakan Agatha dan seluruh penggemar yang hadir untuk melakukan sesi foto bersama. Sebuah foto yang akan menjadi dokumentasi untuk Agatha agar tidak melupakan jasa penggemarnya. Sebuah karier Agatha terdapat campur tangan dari para penggemar. Jika tidak ada penggemar, lantas siapa yang akan menikmati karya-karyanya? Sebuah karya akan berjaya jika ada penikmatnya. Lima belas menit kemudian, Agatha telah berada di jalan untuk kembali ke rumah. Entah, rasanya tidak ada waktu untuk bisa sekadar rebahan sembari memainkan ponsel. Bersyukurlah kalian yang masih bisa memainkan ponsel sembari rebahan manja di kamar. Agatha, sama sekali tidak memiliki waktu untuk memanjakan diri. Waktunya habis untuk pekerjaan dan para penggemarnya. Kalau pun ada, sudah dipastikan ia gunakan untuk tidur. “Tha, sudah selesai kan?” tanya Elizha sembari mengurut kakinya menggunakan jemarinya yang dioles dengan minyak zaitun. “Sudah, Ma. Pulang sekarang, maaf, gara-gara ikut Agatha, Mama jadi tidak bisa mengantar Kak Sandra ke bandara,” ujar Agatha dengan menunduk karena merasa bersalah sekaligus lelah. “Tidak apa, Kakakmu pun sudah dewasa. Berbeda denganmu yang masih pinyik,” jawabnya dengan santai, masih sibuk mengurut kakinya. “Eh, Ma, tahu kata pinyik dari siapa?” tanyanya. “Dari Via.” Agatha menepuk jidatnya. Merasa bahwa lingkungan lokasi syutingnya, benar-benar tidak aman untuk ibunya. Seorang ibu yang memiliki kosa kata lemah lembut, kini menambah kamusnya yang selayaknya anak muda. “Buhsyet, Mama gak perlu menirukannya, tidak baik. Kasar pula bahasanya.” Bruk!                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN