Satu minggu kemudian, grup Bintang diundang di salah satu acara televisi kembali. Terdapat kabar yang menggemparkan seluruh penjuru negeri. Sebenarnya, hal ini adalah rahasia. Tapi, benar dengan adanya pepatah, sebaik-baiknya menyimpan bangkai, pasti akan tercium baunya.
Para penggemar telah mengetahui adanya kejanggalan dalam anggota grup itu. Banyak di kolom komentar sosial media milik Agatha, Ify, Sivia, ataupun Febby dengan pertanyaan yang sama. Akan tetapi, mereka sepakat untuk tetap merahasiakannya.
Hingga akhirnya ada sebuah acara televisi yang menjawab semua rasa penasaran itu. Padahal, dari pengakuan yang ada dalam tayangan itu sudah cukup jelas menjawab semuanya. Lantas kenapa harus membawa grup Bintang untuk mengklarifikasi ulang?
“Tha, alasan sebenarnya apa? Kenapa ada berita simpang siur yang mengaitkan sama kamu?” tanya Elizha yang duduk di sebalah Agatha di ruang makan.
“Gak ada yang tahu, Ma. Tapi, jelasnya itu ada di pihak manajer. Soalnya waktu itu kita tidak ada di ruangan itu. Malahan, kita juga tidak dibolehkan masuk.”
Agatha telah selesai menyantap sarapannya. Tubuhnya juga sudah bersih dan telah siap untuk berangkat ke lokasi. Tapi, tiba-tiba Elizha mengeluh sakit perut. Akhirnya, Agatha membantu ibunya terlebih dahulu.
“Ma, Agatha gak usah berangkat saja kalau kaya gini.”
“Berangkatlah, Mama bisa jaga diri. Lagi pula, kamu itu harus profesional kalau mau sukses.”
“Ma, profesional memang perlu, tapi peran Mama jauh lebih besar daripada apa pun itu. Agatha pergi ke apotek dulu, ya.”
Agatha lari menuju depan rumah. Mengambil motor berwarna merah kemudian melajukannya menuju apotek terdekat. Selama lima belas menit kemudian, dia telah sampai di rumah. Memberikan obat tersebut kepada ibunya.
“Tha, kabari dulu pihak televisi atau siapa, biar tidak dicari.”
Agatha mengambil ponselnya yang terletak di atas meja makan. Mencari nama Febby di kontaknya. Entah, yang ada dalam pikirannya hanya Febby. Mungkin, karena Febby jauh lebih dewasa daripada temannya yang lain. Setelah selesai mengirimkan pesan itu, Agatha mengantarkan Elizha ke kamar.
“Berangkat sekarang, Mama sudah membaik.”
Agatha ragu. Tapi, benar kata Elizha. Sebuah kesuksesan membutuhkan sebuah pengorbanan. Tapi, apa iya Agatha harus meninggalkan separuh jiwanya hanya untuk sekadar kesuksesan dunia?
“Berangkat, Tha,” ucapnya.
Agatha mengangguk. Walaupun hatinya terasa tidak nyaman. Tangan kanannya menyalami ibunya. Kemudian mencium kening Elizha yang tengah duduk bersandar punggung ranjang. Kemudian, dia melangkahkan kaki ke luar dari kamar. Menutup pintu kamar ibunya lalu bergegas berangkat ke lokasi.
“Hai, Kak,” sapa Agatha kepada salah satu tim kreatif pihak televisi yang berdiri di depan gedung.
“Hai, Agatha. Cepat masuk ke studio, mereka sudah mulai,” jawabnya.
Agatha setengah berlari untuk mempersingkat waktu. Setelah sampai di depan pintu masuk ke studio, diberi arahan dari yang berjaga untuk menunggu di panggil pembawa acara.
“Baik, saya punya kejutan untuk kalian bertiga. Dia salah satu penggemar kalian yang ingin bertemu. Sudah lama sekali, makanya kami mau mewujudkannya. Yuk masuk wahai penggemar setia Bintang,” katanya sembari menengok ke arah pintu masuk.
Agatha berjalan ke arah teman-temannya yang tengah tertawa karena ditipu oleh pembawa acara. Agatha berdiri di samping Febby. Ekspresinya yang tersenyum manis seakan tidak terjadi apa-apa.
“Wah, Agatha Pricilla ... kenapa terlambat?” tanya pembawa acara.
“Biasa, ada masalah sedikit tadi,” jawabnya.
“Oke, silakan duduk,” katanya.
Mereka berjalan ke arah sofa. Di sana mereka duduk berjejer dengan rapi. Dari sebelah kanan ada Agatha, Febby, Ify, dan Sivia. “Om, say terlambatnya gak terlalu lama kan ya?” tanya Agatha dengan tersenyum.
“Kamu terlambat sudah selama berabad-abad.” Pembawa acara itu berdiri kemudian mengambil satu kertas yang ada di mapnya. Sebuah map yang diletakkan di rak belakang. Mereka tertawa mendengar jawaban darinya.
Studio itu didesain seperti ruangan kantor para CEO perusahaan. Di desain dengan apik dan perpaduan warna yang elegan. Suasana yang nyaman pun terdapat di ruangan itu. Suasana nyaman di sekeliling tempat kerja sangat berpengaruh dengan kelancaran pekerjaan.
“Nah, beberapa hari terakhir ini gempar, viral dengan salah satu teman kalian yang keluar dari grup. Shilla kenapa keluar dari grup?” tanyanya.
“Sepertinya itu sudah jelas, ya.” Sivia menjawab. “Dari pihak Shilla kan sudah menjawab. Kami pun tidak tahu yang sebenarnya terjadi.”
“Kabar ini tidak benar?” tanyanya.
Mereka menghadap ke belakang untuk melihat sebuah judul artikel yang sudah terpasang di proyektor. Dari sana tertuliskan alasan Shilla keluar akibat ada masalah dengan Agatha. Padahal, mereka damai-damai saja.
“Waduh ... Sebenarnya aku dan Shilla baik-baik saja. Hubungan masih baik, komunikasi pun baik. Kalau tidak percaya, bisa dicek kami masih saling follow di instagram.” Agatha menjawab sembari tersenyum. “Lagi pula, kita juga ketemu secara baik-baik. Sampai sekarang juga masih baik. Itu berita judulnya ... Waduh bikin geger se-Indonesia.”
“Jadi, tidak ada masalah, ya, antar anggota?” balasnya.
Jarum jam telah berputar sampai menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tandanya kegiatan mereka hari ini telah usai. Tapi, bukan berarti perjuangan Agatha dalam mencapai kesuksesan berhenti di sini. Agatha dan ketiga temannya melanjutkan perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mengisi acara.
Di sana, mereka membawakan beberapa lagu. Acara telah selesai pada jam empat sore. Hati Agatha sejak tadi resah gelisah. Hatinya selalu menyebut nama ibunya. Dia pulang ke rumah bersama Febby.
“Gak tahu, tiba-tiba perasaan gue gak nyaman,” ucapnya ketika duduk di mobil sahabatnya.
“Sabar, Tha. Oh iya, lu gak jadi masuk kuliah?” tanya Febby.
“Jadi, tapi tahun depan. Gue belum persiapkan dengan matang materi ujian,” jawabnya dengan pikiran yang kacau.
Tak terasa mobil telah berhenti di depan rumah Agatha. Kakinya melangkah masuk ke rumah yang khas dengan dinding putih dan orange. Dia melempar tas ke sofa ruang tamu lalu berlari ke kamar ibunya. Di sana, Elizha terbaring dengan memakai selimutnya.
“Tha, sudah pulang?” tanyanya. Tangan kanannya sebagai tumpuan untuk kembali bangkit duduk.
“Sudah, Agatha teringat dengan Mama. Apa Mama sudah makan?”
Elizha mengangguk. Benar, di atas meja telah ada satu mangkuk kosong. Tidak terdapat apa-apa. Bahkan, sisa nasi pun tidak ada. “Syukurlah,” balasnya.
“Tha, nanti ke gereja, ya,” katanya. “Mama lagi mau berdoa,” sambungnya.
“Oh, siap. Santai nanti kita ke gereja. Sekarang aku mandi dulu.”
Agatha bergegas pergi ke kamar mandi. Sebelum ibadah, alangkah baiknya membersihkan diri terlebih dahulu. Rasanya, tidak etis jika memasuki tempat suci dalam keadaan kotor. Memang dua hari lagi mereka pergi ke gereja untuk sembahyang. Akan tetapi, ibadah kan tidak hanya hari Minggu.
Selesai mandi, mereka berangkat ke gereja. Pergi ke tempat yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. Mereka berdoa kepada Tuhan. Memuji Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya atas nikmat yang diberikan. Kedua tangan Agatha yang mengepal untuk memanjatkan doa. Sekitar tiga puluh menit mereka berada di gereja. Atas izin dari pengelola gereja, Agatha dan Elizha bersama-sama membersihkan tempat itu sampai terlihat jauh lebih rapi dan nyaman.
“Tha, pulang,” kata Elizha setelah selesai merapikan tempat ibadah. Matanya menatap jam di tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Agatha singgah ke sebuah warung tepi jalan. Dia memesan nasi goreng spesial ditambah sosis. Duduk di kursi plastik berwarna hijau dengan tenang. Di sampingnya ada Elizha yang memesan nasi dan ayam bakar spesial tanpa saus atau sambal.
“Pak, tambah es teh hangat,” kata Agatha.
“Es teh hangat itu kaya bagaimana, Mbak?” jawab penjaga angkringan dengan sedikit tertawa.
“Eh, es kan dingin bukan hangat. Maaf, Pak. Maksudnya saya itu teh hangat,” jawab Agatha dengan perasaan yang malu sampai pada ubun-ubun.
Tidak lama kemudian, terdengar sebuah ledakan dari angkringan seberang jalan. Entah, apa yang meledak. Di sana terlihat ada api yang menyambar. Beruntung, api tersebut tidak merambat ke permukiman warga dan tidak ada korban jiwa. Agatha mengelus d**a dan beberapa kali menyebut Tuhan.
“Tha, beruntung bisa dipadamkan tanpa harus memanggil pemadam,” kata Elizha.
“Mbak, silakan dinikmati,” kata pedagang tersebut sembari menaruh seluruh pesanan Agatha. “Beruntung, ya, apinya tidak terlalu membesar dan bisa langsung dipadamkan sama warga.”
Agatha mengangguk. Pedagang itu kembali ke tempat masaknya. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di meja depan Agatha. Dia berteriak histeris sembari memandang wajah Agatha dengan lekat.
“Hah? Artis makan di angkringan? Kak, Kakak itu yang sering di televisi, kan? Kakak itu Agatha Pricilla, bukan?” tanyanya berderet selayaknya kursi pengajian. Bahkan, bisa dikatakan seperti deretan gerbong kereta. Nyaris tidak terputus. Beberapa pertanyaan yang diajukan dengan satu tarikan nafas.
Pedagang yang sudah kembali pada aktivitasnya pun kembali menghampiri ke meja Agatha dengan membawa satu lembar kertas dan pena. “Mbak, tanda tangan dong,” katanya.
“Waduh, Pak, itu kertas bisa sobek. Bagaimana kalau panci, Bapak?” jawab Agatha.
“Yah, kalau panci mana bisa. Hilang karena tertutup gosong.”
Perempuan yang tadi berteriak, sekarang malah diam tak berkutik. “Mbak, benar, kok. Saya Agatha Pricilla. Mbak mau tanda tangan?” tanya Agatha sembari memajukan telapak tangannya untuk menyadarkan perempuan yang tengah terdiam.
“Eh, boleh. Sini saja di kerudung,” jawabnya.
Agatha pun menandatangani kerudung pengunjung dan kaos pedagang angkringan. Setelah itu, dia melanjutkan menikmati makanannya. Tapi, secara mendadak ada salah satu pengunjung yang membuat Agatha tersedak nasi goreng. Apa, sih, mau pengunjung itu?