Ada Apa Dengan Hati Agatha?

1134 Kata
“Agatha Pricilla?” tanyanya memastikan dengan suara yang memekakkan telinga pengunjung lainnya. Suara yang begitu menggelegar, kini telah menciut. Seakan sepeda motor kehabisan bensin. Ngadat. Agatha berdiri dari duduknya. Saking semangatnya, kursi yang tidak memiliki beban itu terpental sampai ke bawah meja di belakangnya. Suara lantangnya membenarkan perkataan dari pengunjung itu. “Ada apa? Apa ada masalah dengan saya, Pak? Padahal, saya baru pertama kali bertemu dengan Bapak. Oh iya, lain kali kalau berbicara jangan teriak. Sebab, lawan bicara Bapak pasti mendengarnya. Apalagi, saya. Sekarang, suara Bapak terseok-seok bukan?” jawab Agatha dengan menahan hati agar tidak mengucap kata kasar. Dia akan selalu melakukan hal itu demi menjaga nama baiknya. Bukan ingin menjadi perempuan sok benar, tapi dia menjaga karakter yang telah terbentuk dalam kandungan. Dia akan menjaga tutur kata yang menghormati orang lain. Buka  hanya tutur kata, tapi juga sikap dan perilakunya. “Hm, tidak ada masalah, kok. Saya hanya ingin meminta permintaan. Nyanyikan sebuah lagu dangdut untuk membuat suasana tidak tegang.” Laki-laki itu menundukkan kepalanya. Sedikit pun tidak bergerak untuk sekadar menatap wajah cantik Agatha. Padahal, Agatha tidak akan menggigitnya. Tidak lama kemudian, gelak tawa Agatha membuat seluruh pengunjung terheran. Tak terkecuali si laki-laki itu. “Pak, maaf, saya ini bukan penyanyi dangdut. Memang, saya pernah menyanyikannya, tapi gagal.” Agatha kembali meraih bangkunya yang tergeletak di bawah meja. Mendudukkan diri lalu meraih gelasnya untuk menyeruput seteguk air melalui sedotan plastik. “Loh, Pak, Bu, duduklah. Saya akan kabur dari sini. Lama-lama ngeri kalau harus mendapatkan tantangan dari pengunjung di sini,” sambungnya. Elizha hanya mampu menggelengkan kepalanya. Tangannya menepuk dahinya sendiri. Benar tak diduga bahwa Agatha akan melakukan hal itu. Kakinya mengikuti jejak langkah putrinya yang melenggang masuk ke mobil. Sebelumnya, Agatha telah membayarkan sejumlah uang yang cukup untuk melunasi tagihannya, Elizha, dan seluruh pengunjung yang telah memesan makanan. “Huh, Ma, hari ini kenapa banyak insiden?” keluh Agatha. Elizha tertawa sembari menggelengkan kepalanya. “Ya, Tuhan yang tahu jawabannya. Terpenting, kita percaya pada Tuhan, setelah ini pasti akan hal baik yang datang padamu.” Terdengar sebuah lagu yang disetel menjadi nada dering di ponsel Agatha telah mengalun dengan merdu. Syair, nada, maupun suara khas penyanyinya benar-benar membuat pikiran dan hati terasa nyaman dan damai. Beban-beban yang melekat dalam otak seakan runtuh terlarut dalam lagu itu. Oleh sebab itu, jemari Agatha enggan untuk mengangkat telepon. Tapi, lain halnya jika telepon dari Zakaria. “Hai, ada apa?” “Kamu di mana? Kenapa susah sekali ditelepon?” tanyanya dari balik telepon. Mendengar penuturan dari Zakaria, ibu jari Agatha segera bergerilya di layar ponsel. Matanya melihat terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari Zakaria sejak sore tadi. Hatinya begitu kecewa, sebab tidak memberikan jawaban atas panggilan-panggilan itu. Seakan-akan dirinya sangat enggan untuk melewatkan sekalipun sambungan telepon dari kekasih yang paling dicinta. “Tadi pergi ke gereja. Makanya baru bisa angkat sekarang. Oh iya, kamu sudah salat isya?” tanya Agatha. “Belum, baru sampai rumah juga. Tadi ada lembur sebentar,” jawabnya dengan lirih. Zakaria berkata, dia akan mengambil air wudu terlebih dahulu. Mungkin, dia akan melaksanakan salat empat rakaat di malam itu. Selang sepuluh menit, Agatha mendengar seseorang yang tengah membaca ayat suci Al-Quran. Secara mendadak, hatinya turut bergetar terenyuh mendengar lantunan yang begitu indah. Air matanya turun dari tempat persembunyian membasahi pipinya. Benar-benar jauh lebih dahsyat daripada getaran cintanya kepada Zakaria. Tapi, siapa di balik suara merdu itu? Agatha tersadar kalau sambungan telepon mereka belum terputus. Agatha mengambil ponsel yang tergeletak di kasur. Tepatnya di samping kanan tubuhnya. Mengarahkan benda pipih itu mendekat ke telinga. Sebuah lantunan surah Ar-Rahman yang memenuhi gendang telinganya. Kali ini, tubuh dan jari-jari tangannya turut gemetar. Pertanda apa ini? Air mata yang sudah di hapus kini kian mengalir kembali. Perlahan, tapi akhirnya menggenangi seluruh wajahnya. “Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan hari ini? Mulai tadi pagi, Mama tiba-tiba sakit perut. Terus, di angkringan tadi ada insiden yang tidak berakhlak. Sekarang, rasanya tidak karuan. Apa ini yang namanya mendekatkan diri kepada Tuhan hanya untuk mendapatkan hamba-Nya?” ucapnya. Agatha membuka bungkus tisu yang berisi puluhan lembar. Kemudian, mengambil satu lembar guna mengelap air yang membuat wajahnya kebanjiran secara mendadak. Setelah selesai, dia merenung atas kejadian yang menimpa selama satu hari ini. Batinnya semakin dilanda kebimbangan. Apalagi hatinya yang terasa tak karuan. Pikirannya kacau terbayang-bayang lantunan ayat suci Al-Quran yang begitu menggemparkan hati dan tubuhnya. “Agatha? Kok tumben teleponnya enggak dimatikan? Apa masih rindu?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut. “Eh, iya. Enggak, tadi kelupaan buat matiin. Masalah rindu? Enggak, sih. Cuma kangen keringat bareng kamu.” Agatha tertawa. “Hah? Keringat? Tha, jangan bikin pikiranku traveling,” jawabnya dengan nada yang begitu penasaran. Bagaimanapun Zakaria adalah laki-laki yang normal. Sudah dipastikan otaknya akan mencerna yang bukan-bukan. Dari balik telepon, Agatha tertawa mendengar keluhan dari kekasihnya yang begitu penasaran dengan pernyataannya. “Gak usah aneh-aneh pikirannya. Maksudnya itu aku kangen jalan-jalan, panas-panasan di pantai,” kata Agatha sembari tertawa. Tidak lama kemudian, Zakaria pun turut tertawa. Memang, tawa Agatha dengan ajaibnya bisa menular ke orang lain yang mendengarkannya. Padahal, tidak ada sesuatu yang lucu. “Habisnya perkataanmu itu ambigu. Besok ada jadwal manggung atau syuting?” tanya Zakaria. “Gak ada. Syuting lagi libur. Tapi, tetap saja harus belajar. Otak Agatha berbeda dengan otak Febby, otak Zakaria, atau otak-otak yang lain,” jawab Agatha dengan malas. Pasalnya, Agatha harus belajar demi bisa masuk kuliah tahun depan. Dia memang sengaja menunda kuliah, sebab masuk kuliah bukan perkara mudah. Apalagi, nanti ketika keluar dari kuliah—jauh lebih susah. “Iya otak kamu sama sama otak-otak ikan yang dijual lima ratusan. Eh, canda. Setiap otak manusia itu punya kapasitasnya masing-masing. Jangan pernah membandingkan dengan kecerdasan orang lain. Sebab, Tuhan itu menciptakan manusia secara balance antara kelemahan dan kekurangannya. Kamu juga tidak g****k, tapi juga tidak terlalu cerdas. Kamu itu cerdas, buktinya kamu bisa meraih kesuksesan di usia muda.” “Mulutnya suka bener, ya. Mana ada kata lima ratusan. Dirasa cendol dawet apa?” jawab Agatha tertawa. Entah, setiap kali berbicara dengan Zakaria selalu membawa suasana yang baik untuk hidupnya. Selaku diiringi canda dan tawa. Seperti malam ini. Walaupun, terkadang bahan candanya terlalu menyakiti, tapi tak terasa karena selali tersemat kata motivasi. “Zakaria Danubrata apakah sudah cocok menjadi komedian sekaligus motivator?” tanyanya penuh dengan rasa yakin. “Sudalah, cukup menjadi musisi, produser musik, pemilik label musik, dah cocoknya itu. Komedian tidak cocok, kamu terlalu garing kalau melawak.” “Ha ha, kamu sekarang berdoa dulu sama Tuhan,” katanya. “Belum mau tidur,” jawab Agatha. “Memang doa harus dipanjatkan saat mau tidur? Ya, sudah tidur sekarang.” Zakaria mematikan sambungan telepon. Tapi, Agatha malah marah-marah sendiri tidak terima sambungannya dimatikan. Dia masih merasakan sebuah rindu kepadanya. Memang, hari ini hatinya serasa ba-per dengan banyak hal. “Zaki .... “                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN