Enggan Berpisah

1176 Kata
Nada’s POV Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Belakangan ini kami sering menghabiskan waktu bersama. Semua kegiatan yang ingin aku lakukan, aku selalu mengajaknya serta bersamaku. Lucunya dia tidak protes, sepertinya dia sengaja menuruti semua keinginanku demi kelancaran perjanjiannya itu, tega sekali. Aku terus menempel padanya bak ulat bulu. Aku tahu dia risih, tapi aku tetap memaksanya. Aa’ pernah bertanya apa kami pernah bertemu. Seperti dugaanku, dia tidak mengingatku. Benar kata Mas Seno, nyawa yang Aa’ selamatkan itu banyak. Mustahil dia mengingatku. Saat itu aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahuku. Aku tak berniat membahasnya. Besok aku akan berangkat ke rumah sakit umum daerah penempatan koasku yang berada di daerah yang cukup jauh dari kota. Masa baktiku di sana dua tahun, bisa tepat, bisa pula lebih cepat, semoga saja. Mengingat semakin lekatnya kami, aku semakin enggan meninggalkannya. Apa aku terima saja ide Papa untuk memindahkan penempatanku ke rumah sakit tempat Aa’ bekerja? Agar aku bisa terus melihatnya, benar ‘kan? Setelah lama berpikir, sepertinya itu ide yang buruk. Alih-alih dekat, dia pasti tidak senang dengan kehadiranku, jahat sekali dia. Apakah di dalam tubuhku ini ada magnet atau sejenisnya? Kenapa tiap ada Aa’ di dekatku, aku selalu menempel padanya meski dalam keadaan tidak sadar. “Nada, sudah boleh dilepas?” tanyanya saat aku masih memeluk tubuhnya dan enggan melepasnya. Meski malam harinya Aa’ membuat batas di antara kami, paginya aku selalu berada dalam dekapannya. “Masih mau peluk. Kalau hari ini libur saja bagaimana A?” pintaku seraya mendongak menanti jawabannya. “Tidak mungkin, jangan minta itu. Setelah pulang dari rumah sakit, saya akan mengikuti keinginanmu yang lain.” Aku mengangguk setuju seraya tersenyum lebar. “Keinginanku yang lain?” tanyaku lagi. Memikirkan keinginan apa yang aku inginkan karena waktuku tinggal hari ini saja. “Kalau aku ingin perjanjiannya dibatalkan?” tanyaku cepat. “Nada …,” protesnya seolah tak setuju. Aku melepas pelukanku dan berbalik memunggunginya. “Ya sudah, sana mandi,” usirku padanya. *** Setelah sekian lama otakku baru bekerja. Aku menerima perjanjian yang Aa’ buat dan aku bertekad untuk memenangkan hatinya. Kalau saat berada di dekatnya saja aku gagal, bagaimana saat aku tak di sampingnya? Sudah pasti dia merdeka tanpaku. Setahun? Dua bulan saja belum genap, secerah harapan belum aku genggam. “Saya akan menyempatkan waktu mengantarmu ke stasiun siang nanti.” Apakah dia akan langsung mengurus perceraian kami di saat aku berada di sana? pikirku. “Rey, akan menjemputmu dan mengantarmu ke rumah sakit. Kita bertemu di sana dan berangkat bersama—Nada.” Bagaimana aku memberitahu Mama dan Papa nanti? batinku, larut dalam lamunanku. “Nada!” “Ah, i—iya, A gimana?” Dia mengembuskan napas panjang kemudian kembali mengutarakan rencananya. Namun, aku menolaknya. Bukan karena tak ingin, sungguh aku ingin ditemaninya olehnya, tapi aku sudah janji pada Mas Seno. Karena yakin Aa’ pasti sibuk, aku tak berencana meminta waktunya. Malah awalnya aku berencana naik taksi online saja. Kemudian Mas Seno menghubungiku, dia bilang kalau Aa’ tidak mengantarku maka dia yang akan mengantarku. Tentu saja aku tidak menolak, mas-ku itu memang terbaik. Aku melihat tatapan wajah Aa’ berubah, tapi aku tak dapat mengartikannya. Pagi ini, aku tidak menyiapkan sarapan. Aa’ yang membuatnya, nasi goreng seafood kesukaanku tanpa udang tentunya. Aa’ bersiap berangkat ke rumah sakit, tanpa aku ingati dia sudah hapal SOP berangkat dan pulang bekerja. Namun, kali ini dia tidak hanya mengusap kepalaku, tapi mengecupnya. Aku yakin sekali dia mengecupnya. Aku sampai membeku mendapat perlakuan seperti itu karena aku tidak pernah memintanya melakukan itu. Aku yang semula nyaris putus asa, tiba-tiba bersemangat. Sekarang zaman sudah se-modern itu, kami tetap bisa berkomunikasi untuk saling membagi kabar atau melepas rindu, bukan? “Kembalilah dengan sehat, akan ada tantangan di setiap perjalananmu selama di sana. Percayalah setiap pengalaman yang kamu dapatkan akan membentukmu menjadi lebih tangguh. Tetaplah bersemangat, Nada,” ujarnya menyemangatkiku. “Nggak mau berangkat, ah. Mau di sini saja.” Ku raih tangannya dan ku arahkan pada pipiku memintanya mengelus lembut hingga membuat Aa’ menggeleng mendengar kalimatku. Kalau dia lembut begini aku mudah sekali goyah. “Saya berangkat, ya.” Aku mengangguk, kemudian mengantarnya hingga ke pintu utama. Aku menunggunya sampai mobilnya hilang dari pandanganku. *** “Bagaimana sikap Ganda padamu, Dek?” Pertanyaan ini bukan sekali ini aku dengar, setiap aku bertemu Mas Seno dia mesti mempertanyakan hubunganku dengan Aa’. “Baik, Mas. Aa’ itu baik padaku.” Mas Seno mengacak rambutku gemas. “Ya, dia memang baik, ku akui itu. Kamu tahu selain Damar sainganku mendekati Jingga dahulu itu adalah Ganda.” Tiba-tiba saja aku terbatuk-batuk hingga wajahku memerah. “What?” kejutku. Mas Seno memberiku tisu untukku. Aku tersedak saat menegak minum tadi mendengar berita yang baru saja aku terima. Dulu Mas Seno pernah menyukai rekan kerjanya, aku masih sangat ingat Mbak Jingga. Mas Seno pernah memperlihatkan fotonya padaku. Sekarang Mbak Jingga menjadi sepupu iparku. Dia menikah dengan Kak Damar, bos sekaligus mantan kekasih, sepupuku. Aku memarahi Mas Seno karena dia baru memberitahuku. Apa Aa’ tahu kalau kami ini saudara sepupu dengan Kak Damar? “Memangnya penting? Kejadian itu sudah lama sekali. Dia juga bahkan pernah membuat kantor geger karena diperebutkan dua wanita,” tambah Mas Seno. “Mbak Jingga?” tanyaku memastikan. “Ya, dan staf keuangan. Sekarang perempuannya sudah menikah. Jingga saat itu hanya korban kesalahpahaman saja,” jelas Mas Seno membuat aku semakin penasaran. Secercah ingatan yang berhubungan dengan Mbak Jingga memenuhi pikiranku. Mulai dari Mama yang mengatakan Aa’ gagal moveon, aku yakin sekali wanita itu Mbak Jingga. Pasalnya Mbak Jingga tidak memiliki histori bertunangan dengan lelaki lain. Dia sudah terjerat oleh cinta Kak Damar. Lalu, tentang restoran nasi ayam rekomendasi Mas Seno, yang menunya adalah nasi ayam Hainan kesukaan Mbak Jingga. Aku menghubungkannya dengan penolakan Aa’ saat aku membawa menu itu untuknya. Tidak mungkin, dia sudah pernah bertunangan pasti dia sudah moveon. Aku bukan mengkhawatirkan Mbak Jingga. Aku yakin seribu persen dia tidak akan melirik lelaki lain. Namun, Aa … apa dia sudah selesai dengan masa lalunya? *** Aku mengirim pesan singkat pada Aa’ saat aku sudah di stasiun. Tepatnya setelah berpisah dari Mas Seno, tapi tidak ada balasan. Bahkan pesan singkatku belum dibacanya. Entah kenapa hatiku terenyuh jika teringat dia yang mengabaikan pesan singkat serta teleponku saat itu. “It’s ok,” gumamku menyemangati diriku sendiri. Kereta baru saja meninggalkan stasiun, tapi pikiranku tidak tenang. “Memang kenapa dengan masa lalu? Bagiku itu adalah perjalanan hidup, ada ruang tersendiri untuk kisah itu. Ini sama sekali tidak boleh menggoyahkan hatiku,” ujarku seorang diri. “Permisi, ini nomor kursi saya,” tunjuk seorang lelaki seraya memperlihatkan tiketnya padaku. “Ah, iya, silahkan.” Aku mengambil tas milikku yang aku letak di kursi sampingku. “Mau ke arah ujung selatan?” tanyanya menoleh ke arahku. “Ya, benar.” Aku meringis serta mengangguk, lalu kembali fokus pada ponselku. “Anak didik Dokter Firmawan?” tanya lelaki yang sudah duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya dan dia tersenyum. Aku mengangguk ragu, dia pasti melihat name tag-ku. “Sama. Saya Bara, Baradikha Ferianto.” “Nada,” jawabku seraya menyambut uluran tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN