Dejavu
Aku melirik jam di pergelangan tanganku, menyadari bahwa aku akan terlambat tiba di restoran tempat aku dan Keysa, tunanganku, akan bertemu.
Perkenalkan, namaku Ganda Setiaji, panggil saja aku Ganda. Aku adalah seorang dokter spesialis bedah umum di salah satu rumah sakit ternama di kotaku.
Hari ini adalah hari ulang tahun Keysa. Setelah enam bulan mengenal Keysa, kami memutuskan untuk bertunangan. Malam sebelumnya, Keysa menghubungiku dan mengatakan bahwa dia ingin bertemu di restoran miliknya. Ya, Keysa adalah seorang chef dan pemilik restoran tempatnya bekerja.
Aku memarkirkan mobilku dengan sempurna di tempat parkiran restoran. Begitu masuk ke dalam restoran, aku melihat Keysa sudah duduk di kursinya tanpa memesan apa pun. Sebelum bertemu dengannya, aku menyempatkan diri membeli hadiah ulang tahun untuknya.
“Lama menunggu, Key?” tanyaku begitu duduk di hadapannya.
Dia menggeleng tanpa bersuara sedangkan aku mengangguk paham seraya tersenyum.
“Kamu mau pesan—”
“Aku mau kita mengakhiri pertunangan ini, Mas.”
Aku yang semula sedang melihat daftar menu, mengalihkan pandanganku padanya. Matanya terlihat tegas. Tanpa basa-basi, Keysa menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri hubungan kami yang baru seumur jagung ini.
“Bagaimana rasanya setelah bertemu Jingga, bahagia?”
“Kamu meminta orang untuk mengikutiku?”
“Itu tidak lagi penting, aku percaya dengan apa yang aku lihat.”
“Tanpa mau mendengar?” Dia mengalihkan pandangannya. “Kita sudah sepakat untuk tidak akan membahas masa laluku. Kamu tahu, aku bukan lelaki yang akan merusak rumah tangga orang. I done with her.”
Keysa tegas ingin berpisah denganku. Dia mengatakan lelah berjuang sendiri dalam hubungan kami karena aku tidak pernah ada untuknya. Aku memang selalu menuruti dan memberikan apa saja yang Keysa minta, kecuali waktuku. Waktuku sudah aku abdikan untuk pekerjaanku. Sebelumnya, Keysa tidak pernah mempermasalahkannya. Aku kira dia memahami sepak terjang pekerjaanku, tapi nyatanya tidak.
“Hati kamu itu udah mati, Mas. Cinta kamu udah habis di Jingga dan aku hanya pelampiasan—”
“Stop, Key!”
Keysa meraih tasnya dan bergegas untuk pergi. Aku menahannya, tapi dia mengempas keras tanganku.
“Kita putus,” tegasnya. “Semoga ada wanita aneh yang bisa menerima kamu apa adanya, Mas.” Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Keysa sebelum meninggalkanku.
Aku keluar dari restoran dan tanpa sengaja menabrak seseorang.
Bugh!
“Om! Lihat-lihat dong—ya ampun bajuku,” rengeknya sambil membersihkan baju dengan tangannya karena kopi yang dia sesap tumpah mengotori bajunya.
“M—maaf, saya tidak sengaja.”
Gadis itu mengangkat pandangannya kesal. Kemudian menatapku tak berkedip, mematung di hadapanku.
Aku meminta maaf dan memberikan paperbag yang sedari tadi aku bawa pada gadis di hadapanku itu, aku rasa dia lebih membutuhkannya.
“Semoga bermanfaat dan muat. Saya harus pergi sekarang.”
“E—eh, Om, Pak!”
Aku tak menghiraukan panggilannya dan pergi meninggalkannya. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku bertekad untuk mengejar Keysa. Namun, aku harus mengurungkan kembali tekadku karena mendapat panggilan tugas dan segera menuju ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Dokter Herman dan rekan-rekan lainnya sudah bersiap untuk menuju ruang operasi. Beliau memintaku menangani wali pasien yang pingsan begitu tiba di rumah sakit setelah mengantar kekasihnya yang menjadi korban penusukan.
“Bed tiga, Dok. Ayasha Humaira,” ujar seorang perawat membagi tanda-tanda vital. Aku melakukan beberapa pemeriksaan bersyukur tidak ada hal serius yang terjadi padanya.
Setelah menangani beberapa pasien, aku beristiarahat. Meraih ponselku, melihat beberapa panggilan tak terjawab dari nomor Mama. Belum sempat kembali menghubungi beliau, ponselku kembali berdering.
Aku memejamkan mata sejenak dan mengembuskan napas panjang sebelum menerima telepon dari Mama.
Belum sempat aku menyapa, Mama sudah lebih dulu angkat bicara.
“Kamu di mana?” tanya Mama.
Aku menoleh saat tiba-tiba Farhan, rekan kerjaku, keluar dari ruang IGD ikut duduk di sampingku—berisitirahat menyandarkan kepalanya ke dinding dan memejamkan matanya.
“Rumah sakit, Ma.” Terdengar hembusan napas panjang di seberang telepon.
“Kapan Aa’ pulang? Bukankah ada yang perlu Aa’ bicarakan pada Mama?”
“Aku sibuk, Ma.”
Aku memijat pangkal hidungku mendengar celotehan Mama dari seberang telepon. Secepat itu berita kandasnya hubunganku dengan Keysa sampai ke Mama. Beliau menyalahiku karena tidak memperjuangkan tunanganku. Keysa tidak menceritakan perdebatan kami di restoran pada Mama. Dari yang aku tangkap, dia hanya mengatakan bahwa kami tidak cocok satu sama lain dan memutuskan untuk berpisah.
“Kamu pulang ke rumah dan jelaskan sendiri pada Ayah,” ujar Mama sebelum sambungan telepon terputus.
Aku mendengkus kesal, bagaimana cara menyusun kalimat yang tepat agar Ayah tidak marah padaku.
Farhan masih duduk memejamkan matanya, aku tidak tahu apa yang mengusiknya. Aku juga yakin dia mendengar pembicaraanku dengan Mama. Gegas saja aku meninggalkannya dan bersiap pulang karena tugasku pun sudah selesai.
Saat aku menekan remot control membuka pintu mobil, seketika kunci mobilku sudah berpindah tangan.
“Gue yang nyetir,” ujar Farhan menerobos masuk ke dalam kursi kemudi. Tanpa banyak bicara aku menyusul masuk, lelap dalam lelahku hingga begitu sadar kini mobil terparkir di salah satu klub.
“Gue lagi mumet temanin,” ujarnya sebelum aku melayangkan protes padanya.
Aku ikut masuk bersama Farhan ke ruangan VIP. Awalnya aku pikir ini bukan ide yang buruk, tapi aku justru tidak merasa nyaman di sini. Karena tak merasa lebih baik, aku memutuskan untuk pulang dan lagi-lagi meninggalkan Farhan.
Begitu keluar ruangan, aku melewati pasangan yang sedang bertengkar.
Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali melihat pertengkaran pasangan tadi yang terus berlanjut sampai di parkiran. Di mana wanita itu meringis kesakitan diperlakukan kasar oleh lelakinya hingga hatiku tergerak untuk membantunya.
“Sialan! Siapa kau ikut campur?” umpat lelaki itu kasar saat aku mencekal paksa tangannya.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek keadaan wanita di hadapanku, tanpa menghiraukan ocehan pemuda yang semakin kesal karena diabaikan.
Wanita itu meringis sakit, memperlihatkan pergelangan tangannya padaku.
“b******k! Siapa dia? Dasar p*****r! Munafik. Siapa dia, hah? Sugar daddy-mu?” Lelaki itu kembali berusaha menarik wanita di sampingku, tapi aku mencegahnya.
“Ayo, kita pulang, Sayang,” ajak wanita itu menarik tanganku membuat aku menyernyitkan dahi.
“Sayang? Oh, jadi karena dia kamu meminta putus dariku? Dia kekasihmu sekarang?”
“Iya—”
“Tidak!” pangkasku cepat.
Dejavu, ini tidak boleh terjadi lagi dalam hidupku. Aku tidak ingin lagi terlibat di hubungan orang lain, tidak akan.
Aku langsung mengklarifikasi bahwa aku bukan kekasih wanita itu. Aku memilih pergi, toh, ternyata itu hanya pertengkaran sepasang kekasih dengan kisah klasik.
Namun, langkahku terhenti saat wanita itu menahanku, memohon agar aku tidak meninggalkannya dan meminta aku membawa dia bersamaku.
“Jangan pergi, tolong,” lirihnya.
Aku menarik tanganku pergi meninggalkannya dan segera masuk ke dalam mobil. Memejamkan mataku sejenak, lelah dengan hariku. Namun, tatapan memohon wanita itu terbayang dalam benakku.
Saat aku membuka mata melirik spion mobil, darahku berdesir melihat lelaki tak berperasaan itu menampar keras dan mencekik—Nada, ya, aku dengar tadi lelaki bernama Rio itu sempat memanggilnya Nada. Aku segera keluar dari mobil, menghajar Rio menjadikannya samsak, dan meluapkan seluruh amarahku padanya.
Kalau saja Nada tidak menahanku, aku tak tahu akan sehancur apa dia.
“Cukup! Cukup Om—Pak, c—cukup.”
“Nada!”