Ganda’s POV
Tinggal berdua dengan Nada memang menguji imanku, hidupku yang semula tenang kini terusik olehnya. Ada saja tingkahnya yang membuatku harus menambah tingkat kesabaranku. Dia selalu sesuka hati menyentuhku dan memamerkan lekuk indah tubuhnya.
Aku jadi khawatir kalau berada di dekatnya. Mulanya saat kami satu kamar setelah acara pernikahan, dia sudah berani memelukku. Saat itu, aku berniat membangunkannya. Aku duduk di pinggir ranjang untuk memudahkan menggerakkan tubuhnya karena beberapa kali memanggil, dia tidak juga sadar dari lelapnya. Setelahnya dengan luwes dia memelukku.
Sejak bersamaku, aku lebih memperhatikan pertemanannya. Nada yang biasa bebas keluyuran ke sana kemari sekarang hanya pergi jika aku mengizinkan.
Aku juga tidak suka caranya berpakaian yang terlalu terbuka. Aku sudah membuktikannya tiap kali lelaki mata keranjang menatapnya penuh minat.
Apa lagi Sapto—pebisnis muda yang sukses di dunia hiburan malam itu. Aku tidak suka melihatnya menatap Nada.
***
Rumah ini yang semula kosong dan hening menjadi ramai meski hanya ada Nada.
Dapur yang biasa rapi kini berantakan dan berasap, benar-benar berasap hingga mengepul karena eksperimennya. Aku sampai memintanya berhenti memasak, selain karena dia tidak perlu melakukan itu untukku, jelas sangat membahayakan untuk dirinya. Namun, jujur aku menghargai kegigihannya.
Nada marah padaku karena ketahuan dengan sengaja aku mengabaikannya beberapa hari terakhir. Sekarang dia ingin aku menganggapnya seperti istri pada umumnya. Dan akhirnya aku mengikuti keinginannya asal itu mempermudah perpisahan kami nantinya.
Mulai malam ini, kami akan tidur bersama bukan hanya satu kamar, tapi juga di ranjang yang sama. Untuk kesekian kalinya kesabaranku diuji. Harusnya apa yang ada pada dirinya halal untukku sentuh, tapi aku tidak seegois itu. Dia berhak memberi kesuciannya kepada lelaki yang dia cintai dan aku juga akan melakukan hal yang sama pada wanita yang aku cintai. Saat ini aku hanya ingin menikmati hidup serta karirku yang susah payah aku bangun di dunia kedokteran. Nada hanya partnerku—menjalani keseharian tidak lebih dari itu.
“Mama juga terus bertanya perihal cucu,” ujarku setelah kami menyudahi video call dengan kedua orang tuanya yang ternyata juga menanti hal yang sama. “Saya akan menggunakan alasan yang sama denganmu ketika nanti Mama bertanya di kemudian hari,” tambahku.
Alasan yang aku maksud adalah kami akan menunda momongan sampai Nada selesai koas demi kelancaran cita-citanya.
“Oh, i—iya, silahkan,” jawabnya salah tingkah.
“Saya mau tidur,” pamitnya membuat jarak karena sedari tadi kami duduk berdekatan.
“S—silahkan,” lanjutnya mempersilakanku masuk ke kamar lebih dahulu.
***
Aku benar-benar menuruti semua keinginan Nada. Dia memperlakukanku sebaik mungkin, dia mengurusku dari aku bangun hingga akan kembali tidur.
Waktu luangku yang biasa aku gunakan untuk beristirahat sepanjang hari baik itu sebelum atau setelah bekerja, sekarang harus aku gunakan untuk menemaninya ke sana kemari.
Aku menemaninya belanja, makan malam atau lunch bersama. Aku pun heran melihat jadwalku di rumah sakit, aku hanya kebagian shift pagi dan sore. Setelah menikah, aku tidak mendapat jadwal malam.
Nada juga selalu memintaku menemaninya masak bersama. Walau pada akhirnya aku yang harus turun tangan agar tidak mubazir bahan masakan.
“Nada, sebaiknya kamu duduk saja biar saya yang masak,” usulku melihat dapur sudah porak-poranda.
“Memang bisa masak ini juga?” tanyanya meragukanku.
“Jangan nagih kalau udah rasa nanti,” jawabku sombong.
Nada tampak bersemangat melihatku memasak. Dia terus menatapku dengan tatapan memuja. Aku semakin yakin pernah bertemu dengannya. Apa dia salah satu pasienku?
Hari ini aku berangkat ke rumah sakit sore. Dari pagi hingga siang kami menghabiskan waktu bersama. Tadi saat tengah beristirahat setelah makan siang, Nada yang tengah maskeran wajah bersama, tapi aku menolak. Penolakanku pun sia-sia karena dia terus memaksa. Alhasil aku tidur dan dia sibuk dengan wajah serta tubuhku. Ketika bangun meski hanya terlelap sekejap tidurku terasa lebih berkualitas. Aku menggelengkan kepalaku mengingat tingkahnya.
***
Setelah pulang dari rumah sakit, aku melihatnya tertidur di ruang tengah. Seperti biasa dia selalu menungguku meski berakhir tertidur di sofa.
Kalau biasanya aku membangunkannya, kali ini aku menggendongnya ke kamar. Aku hanya ingin beristirahat lebih cepat tanpa menjawab semua celotehannya.
Aku merapikan rambutnya setelah memindahkannya ke kamar.
Satu hal yang menjadi alasan kenapa sering kali aku menjaga jarak darinya karena dia memiliki kesamaan yang kontras dengan Jingga dan entah kenapa itu membuatku terusik.
Tidak apa-apa, aku hanya perlu menunggu satu minggu ke depan karena dia akan ke luar daerah untuk menjalankan koas. Kepergiannya akan mengurangi stres berkepanjanganku.
Dan satu tahun tidak akan sesulit itu mengingat masa koasnya bisa satu setengah sampai dua tahun kedepan.
Aku menarik tanganku, tanpa sadar aku mengusap lembut kepalanya sedari tadi.
***
Aku mengeratkan pelukanku mencium tamak aroma wangi yang aku sukai ini.
Pelukan?
Aku membuka mata lebar dan mendapati Nada tertidur pulas dalam pelukanku, sementara dia nyaman menempel di dadaku.
Entah mengapa rasanya jauh lebih nyaman dan menenangkan.
Aku berusaha melepas pelukannya perlahan agar tidak mengganggu tidurnya, tapi yang ada dia malah mengeratkan pelukannya.
“Aa’ peluk,” lirihnya. “Dingin,” sambungnya mengeratkan kembali pelukannya.
Aku kembali melingkarkan tanganku di tubuhnya. “Hari ini masih berangkat sore ‘kan?”
“Hm,” jawabku singkat.
“Peluknya mau lama-lama, ya,” pintanya. Aku tak menjawab dan kembali memejamkan mataku.
“Kalau Nada koas, Aa’ wajib balas dan angkat telepon Nada, ya,” pintanya penuh penekanan dan aku hanya menjawab dengan deheman. “Jawab iya, A.” Dia mendongak menanti jawabanku, menarik daguku hingga aku menunduk—membuka mataku dan kami saling bersitatap.
Aku bahkan bisa merasakan deru napasnya. Dia kembali merengek menunggu jawabanku.
“Iya, Nada.” Dia tersenyum puas dan kembali memelukku, membenamkan wajahnya di dadaku. Dengan nakalnya dia malah mengedus tubuhku sejelas itu.
***
Matahari sudah menampakkan cahayanya setelah tadi bersembunyi di balik awan mendung.
Aku sudah bangun dan bersiap berolahraga meski ini sudah kesiangan bagiku, tapi apa boleh buat ini keinginan Nada. Lagi-lagi aku manut saja tanpa mencela walau kadang terlihat terpaksa, tapi dia tidak mempermasalahkannya.
“Mau dipesankan makanan kafe?” tanyaku saat kami selesai berolahraga bersama.
“Aa’ yang masak boleh?” pintanya manja.
Setelah kemarin aku membuat spaghetti carbonara, hari ini dia meminta dibuatkan lasagna. Namun, lucunya aku tidak keberatan. Aku suka tiap kali dia menikmati tiap sendok masakanku yang masuk ke dalam mulutnya.
Beberapa hari ini saat jadwal shift sore, aku meminta Rey—asisten pribadi sekaligus manager di kafe milikku untuk mengantarkan Nada makan malam.
Aku sudah memperkenalkan mereka. Rey sampai syok mengetahui fakta bahwa kami sudah menikah. Awalnya aku ingin menyembunyikan ini dari Rey, toh, pernikahan kami juga akan segera berakhir, tapi akhirnya aku berinisiatif memberitahunya. Kepindahanku dari apartemen saja sudah menjadi pertanyaan besar baginya.
“Nanti malam, Rey, antarin makan malam lagi. Kamu mau makan apa malam nanti?” tanyaku berjalan ke arah dapur.
“Nasi goreng seafood saja,” jawabnya seraya mengikutiku.
“Tiramisu-nya?” Nada dengan girang menjawabnya. Tiramisu cheesecake, salah satu kesukaannya. Aku sampai hapal menu di kafeku yang paling dia sukai. Chef di kafe juga sampai akrab padanya.
***
Aku sudah selesai memasak untuk pagi ini. Aku mengusap sudut bibirnya yang belepotan. Ini bukan kali pertama, hampir setiap kali dia makan selalu belepotan begini.
“Pelan-pelan, Nada.” Dia meraih tisu dan membersihkan bibirnya sendiri. “Nanti jadi mau ke rumah Mas Seno?”
“Jadi, sudah kangen Luna,” jawabnya meski mulutnya saat ini penuh dengan makanan.
“Nanti saya buatkan lagi untuk dibawa ke sana.” Dia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.
“Nada,” panggilku tidak mengalihkan tatapanku pada wajah cantiknya.
“Iya A.”
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”