Aku mengangkat tubuh Nada yang tiba-tiba tak sadarkan diri, membawanya ke mobilku, dan meninggalkan Rio yang terkapar meringis kesakitan.
“Nada, kamu dengar saya?” Aku memeriksa tanda vitalnya, lalu segera menjalankan mobilku.
Beberapa kali memanggil namanya, aku tak kunjung mendapat jawaban.
Aku kembali memanggil namanya saat tubuhnya bergerak dan dia menyahut.
“Pak,” lirihnya.
Pak … Pak …, pasangan sialan. Memangnya aku setua itu.
“Saya bukan Bapak kamu, kita telepon Bapak kamu nanti setiba di rumah sakit!”
Nada kembali pingsan setelah sebelumnya memohon agar aku tidak membawanya ke rumah sakit.
Dan di sinilah dia sekarang terbaring di kamarku, masih dalam keadaan tak sadarkan diri dengan selang infus melekat di tangannya dan penampilannya yang lebih baik.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membawanya ke apartemenku mengingat dia sangat tidak ingin dibawa ke rumah sakit. Sebelum menuju apartemen, aku singgah ke apotek untuk membeli beberapa obat yang diperlukan. Semoga saja dia bukan buronan atau sejenisnya, aku tidak ingin dicurigai sebagai kaki tangannya.
Pagi harinya
Aku harus kembali bekerja karena tidak tega meninggalkannya seorang diri saat masih lelap menutup rapat matanya. Aku memutuskan untuk memanggil Bibi yang biasa membantu membersihkan apartemenku, menemani Nada selama aku bekerja.
Setelah seharian melayani pasien yang silih berganti di ruang IGD, belum sempat aku bernapas lega. Ruangan kembali riuh, saat tim medis mendorong brankar melewatiku.
“Tiga orang korban kecelakaan lalu lintas, Dok,” serunya.
Dua rekanku di ruangan IGD langsung menghampiri bed pasien masing-masing.
Sementara aku bergeming melihat korban yang terbaring bersimbah darah melewatiku. Dia adalah Keysa, tunanganku, tidak mantan tunanganku.
Key.
Aku melangkah pelan, lalu Farhan menahanku.
“Kendalikan dirimu, aku yang akan menanganinya.”
Farhan menangani Keysa dibantu dua perawat dan aku bergeming menatapnya yang terkulai lemah. Secercah ingatan muncul saat di mana Keysa meninggalkanku di restoran dalam keadaan marah dan memutuskan hubungan kami. Aku merutuki diriku karena tidak pernah ada untuknya.
Farhan selesai melakukan tindakan menjelaskan kondisi Keysa baik-baik saja. Menepuk bahuku sebelum akhirnya pergi.
Aku bernapas lega mendekati Keysa, membelai lembut puncak kepala, dan perlahan dia membuka matanya. Namun, begitu melihatku, dia tampak sangat terkejut.
“Key,” lirihku.
“Sayang.”
Aku menoleh ke arah lelaki yang menggunakan arm string, berjalan tertatih dibantu perawat. Kemudian, kualihkan pandanganku ke arah Keysa bergantian. Saat lelaki itu mendekat, aku memberikan kursi untuknya, dan dia mengangguk seolah berterima kasih padaku.
Aku menyeringai saat mengetahui kalau lelaki itu adalah kekasih Keysa. Setelah lelaki itu pergi ke bagian administrasi tanpa rasa bersalah, Keysa menceritakan kisah percintaannya yang terjalin selama empat tahun belakangan dengan Vino, sang kekasih yang baru saja pulang dari luar negeri.
“Jadi aku selingkuhanmu? Selingkuhan versi elit karena menjadi tunanganmu. Amazing, aku suka aktingmu di restoran kemarin, Key.”
Aku juga menemukan fakta bahwa Keysa terpaksa menerima pertunangan kami karena desakan orang tuanya. Sementara hubungannya dengan Vino menggantung tidak jelas kala itu.
Getaran dari ponselku mengintrupsi pembicaraan kami. Melihat nama yang tertera di layar ponselku membuat aku tersadar akan seseorang yang saat ini berada di apartemenku. Dan aku pun pergi meninggalkan Keysa.
Aku mengembuskan napas kasar, kesalku memuncak saat mendengar keluhan Bibi Santi di seberang telepon. Dia mengatakan bahwa Nada sudah sadar, seharian hanya menangis dan tidak menyentuh makanannya.
“Baik, Bik, saya pulang sekarang,” ucapku sebelum mematikan sambungan telepon.
Kurang setengah jam sebelum pergantian jam jaga, aku sudah meninggalkan rumah sakit. Belum selesai mencerna pertemuanku dan Keysa, kepalaku dibuat cenat-cenut dengan tingkah bocah di hadapanku saat ini.
“Yang jelas bukan saya yang mengganti pakaian kamu titik! Saya tidak menyentuh kamu sama sekali,” tekanku padanya yang meminta pertanggungjawabanku atas tuduhan semalaman aku menggerayangi tubuhnya.
Dia terkejut begitu terbangun sudah mengenakan pakaian yang berbeda. Aku sudah menjelaskan padanya bahwa aku meminta bantuan cleaning service perempuan yang bertugas malam kemarin untuk membantuku menggantikan pakaiannya, tapi dia enggan mendengarku.
“Saya putusin Rio karena dia memaksa ingin menyentuh saya. Bagaimana bisa dengan konyolnya saya malah—Au ….”
Aku mengembuskan napas kasar setelah menyentil keningnya. “Saya bersumpah tidak menyentuh kamu,” terangku untuk mengakhiri dramanya.
Aku melihat botol cairan infus yang menggantung sudah habis dan selang serta IV Canulla sudah terlepas dari punggung tangannya dengan rapi.
Dia menerjap saat aku menempelkan punggung tanganku pada dahinya.
“Kondisi kamu sudah lebih baik.”
Aku meraih dan membuka tas kecilnya, memindahkan beberapa lembar uang dari dompetku ke dalam tas miliknya.
“L—loh, Pak—”
Belum sempat dia protes, aku sudah meraih tangannya, memberikan tas dan menuntunnya terus keluar dari unitku.
“Kamu bisa pulang sekarang.”
Sebelum meraih pintu utama, aku menunduk, menata sepatunya agar lebih mudah dia kenakan.
Dia terus berusaha menyuarakan protes dan berulang kali aku menghentikannya dengan menempelkan telunjukku di bibirnya hingga dia tak kunjung bersuara. Sudahlah pikiranku kacau, ditambah lagi tuduhan dan suara cemprengnya membuat kepalaku serasa ingin pecah.
Aku menuntunnya menuju lift, menempelkan kartu akses dan menekan tombol lift yang akan mengantarnya ke lobi. Dia tampak terperangah dan menelisik lift.
“Loh, Pak, ini—”
“Dari lobi kamu bisa memesan taksi, kamu bisa pakai uang yang ada di dalam tas kamu.”
“Pak, saya—”
“Stt ….” Lagi-lagi aku menempelkan telunjukku di bibirnya seraya melanjutkan kalimatku. “Pulang, orang tuamu pasti mencarimu—satu lagi, kamu tidak perlu merasa berhutang budi atas kebaikan yang saya lakukan terhadap kamu. Dan kemeja itu … itu untuk kamu,” tunjukku dengan dagu menunjuk kepadanya yang tengah memakai kemejaku yang tampak kebesaran di tubuh kecilnya, kemudian pintu lift pun tertutup.
Aku menyandarkan tubuhku di belakang pintu unitku. Mengembuskan napas lega, memejamkan mata berusaha menenangkan pikiranku yang semeraut ini.
Balkon, aku akan menenangkan diri di balkonku. Spot favoritku di apartemenku ini kedua setelah kamarku. Baru saja aku melangkah, aku mendapati Bik Santi mengulum senyumnya berdiri di dekat kitchen island.
“Kenapa melihat saya seperti itu, Bik?”
“Bertengkar, ya, Mas dengan calonnya?”
“Calon siapa?” tanyaku curiga dengan ekspresi Bik Santi.
“Itu tadi Mbak Nada. Pintar banget Mas cari calon istri. Cantik dan bening begitu,” ujar Bik Santi bangga memuji Nada.
Aku tak menanggapi Bik Santi, beliau pun kemudian pamit pulang. Ku urungkan niatku ke balkon, lelah, lebih baik aku tidur di kamar saja. Begitu pintu kamar terbuka, aku baru menyadari satu hal yang membuat aku kembali mengembuskan napas panjang. Aku menggusar kasar rambutku begitu melihat kamarku berantakan seperti kapal pecah.
Nada! Dia akan masuk ke dalam list orang yang tak ingin aku temui lagi.