SENGGOLAN kuat yang tertubruk dibahunya menyadarkan Olivia dari lamunannya. Ia tersentak, wajahnya menoleh ke samping bersamaan dengan napasnya yang berembus gusar. Secepat kilat bola matanya berubah sinis.
"Apa? mau marah?" Pita berkacak pinggang, kepalanya terdorong ke depan seolah menantang Olivia. Ia sudah tahu bahwa Olivia pasti akan marah-marah seperti biasanya. Rasa takut tidak pernah menggelayuti di benak Pita. Bukan tanpa sebab Pita beramsumsi seperti itu. Raut muka Olivia yang terlihat merah padam serta giginya yang terdengar bergemelutuk, sudah menjadi bukti yang lumayan.
Olivia mendesis kasar, bola matanya berputar malas, lalu pandangannya kembali menatap ke arah depan. Tapi dahinya seketika berkenyit bingung. Kepalanya menoleh ke sana kemari, dan desahaan kasarnya keluar karena apa yang di carinya sudah tidak nampak.
"Cih ... dari tadi gue lihatin lo Liv." Pita menyeletuk hingga spontan Olivia langsung mengedarkan pandangannya ke arah Pita lagi.
"Emangnya apa?"
"Dari tadi lo lihatin cowok, gue panggil-panggil lo nggak nengok, kan kesel gue."
Olivia segera membuang tatapannya. Memang sedari tadi ia tengah memperhatikan Dion dan teman-temannya. Tapi sekarang ia sudah kehilangan jejak cowok itu karena Pita membuyarkan semuanya.
"Kenapa diem? Betul, kan, kata gue?" Pita membanggakan diri, menepuk dadaanya dengan bangga. Lalu ia melanjutkan kalimatnya, "ingat Liv, lo udah punya pacar, jangan khianati dia lah, kasihan. Kan lo udah pernah di mainin Saga. Jangan lo luapin ke pacar lo lah. Cakep-cakep gitu kok."
"Apaan sih lo, stres!" Olivia berlalu, meninggalkan Pita yabg tiba-tiba saja mencak-mencak di tempatnya. Namun tidak lama setelah itu, Pita berlari menyusul Olivia.
"Lo dengerin gue ngomong Liv. Tuh mata lo jaga lah, jangan jelalatan cari cowok lain!" Pita kembali menuding, padahal ia tidak tahu menahu soal itu.
Detik ini, Pita masih salah paham dan beranggapan bahwa Elrach adalah kekasih Olivia. Tapi, memang dari dulu Olivia salah satu tipikal cewek yang malas untuk menjelaskan sesuatu.
"Lo ngomong apaan sih?!" Sorot mata tajam Olivia mengancam tegas di iris mata Pita.
Embusan napas kasar keluar, Pita kemudian berkata, "gue cuma ma—"
"Lo nggak tau apa-apa, jadi diem aja bisa nggak?!" Olivia menukas sebal, bodo amat jika Pita marah karena ucapannya terpotong. Sebelum melangkah lebih cepat lagi, ia menyempatkan diri menatap lebih sinis.
Mulut Pita terbuka setengah, satu alisnya naik, sementara tangan kanannya sudah menggaruk belakang telinganya. Ia bingung kenapa Olivia bersikap egois seperti itu. Padahal niat Pita, kan, baik. Pita memilih mengendetikkan bahu, tidak ada niatan untuk mensejajarkan langkah kakinya dengan Olivia, mungkin cewek itu ada masalah karena tidak biasanya sesensitif seperti ini.
* * *
"Mau ke mana sih?" Gito berhasil memberontak dan berjalan mundur satu langkah. Sedari tadi Dion menyeretnya untuk ikut tapi sama sekali tidak memberi tahu tujuannya akan ke mana. Tentu saja Gito kesal.
Dion mendesaah, kembali ia meraih tangan Gito. Tapi Gito dengan sigap mengelak begitu gesit sampai Dion mengembangkan senyuman sinisnya karena gagal menangkap Gito.
"Lo pegang-pegang tangan gue kayak nggak ada cewek aja, risi gue anjir!" Gito berkomentar seraya mencebikkan bibirnya.
"Ya udah ayo ikut gue. Udah nggak tahan nih!" Dion kali ini berhasil menyentuh ujung lengan seragam Gito, kemudian menariknya.
Masih serupa, Gito menepis tangan Dion dan menatapnya dengan dahi berkerut dalam. "Lo bilang udah nggak tahan? Lo mau ajak gue ke toilet?" Gito berkacak pinggang, bola matanya melotot sampai hampir melompat dari tempatnya.
Dion nyengir lebar hingga Gito berdesis marah. "Kenapa harus Gue Yon? Kenapa nggak Yogi atau Nino? Ngeselin amat sih lo!"
Dengan santainya Dion menjawab lugas, "ada dua alasan yang layak gue jawab. Yang pertama ...." Dion mengangkat jari telunjuknya ke hadapan Gito, sedetik kemudian ia langsung menjawab, "karena lo temen bangku gue. Dan alasan yang kedua ..." Kali ini Dion memperlihatkan jarinya yang membentuk huruf V. "Gue sengaja ngehindar pelajaran matematika. Singkatnya, lo anterin gue ke toilet. Gue nggak bohong ya, gue emang kebelet. Tapi gue mau nyoba toilet terjauh dari kelas kita, sengaja mengulur waktu."
Kedua alis Dion berkedut sambil memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Gimana ide gue, bagus nggak?"
"Kalo gini, mending gue balik ke kelas aja. Buang-buang waktu. Matematika emang susah, makanya itu lo harus perhatiin tuh guru kalo lagi nerangin, bukan malah ngehindar kayak gini." Gito berkomentar tajam, ia memang murid yang rajin. Tidak heran jika setiap pengambilan buku rapor, Gito pasti menempati peringkat antara satu sampai tiga.
"Nggak usah kebanyakan bacoot, udah tanggung juga kita di luar. Ayo buruan!" Dion mendekati Gito, meraih tangan sahabatnya dan menariknya lebih kuat.
Dan Gito hanya bisa pasrah, walaupun rasanya malas tetapi ia tetap menuruti kemauan Dion. Ucapan Dion tidak sepenuhnya salah, mereka sudah telanjur di luar ruangan. Tapi, hal yang membuat Gito terbengong dan sedikit kesal adalah kenapa Pak Usman—guru matematika—tidak melarang Dion membawa teman untuk pergi ke toilet? Menyebalkan sekali waktu guru itu mengijinkan Dion seperti itu.
Dion masih terkekeh, ia tidak fokus pada jalanan, dari tadi ekor matanya terus menatap wajah Gito yang menurutnya begitu lucu. Dion tahu bahwa sahabatnya itu pasti kesal setengah mati, ia sampai tak sadar jika bahunya menyenggol pundak orang lain.
Seketika Dion terkesiap, membuang pandangannya dari wajah Gito dan menatap siapa yang tadi tidak sengaja ia tabrak. Bola matanya refleks membesar.
Olivia berdiri disamping Dion dengan wajah sukar di artikan, matanya tidak berkedip. Bulu kuduk Dion sudah meremang, sadar jika keadaan sudah lebih mencengkam hanya di tatap oleh manik mata horor Olivia. Olivia berdesis. Di bawah sana, tangan kanannya sudah terkepal.
Tanpa Dion sadari, dan diluar pikirannya, tiba-tiba saja dengan gerakan cepat dan kuat, Olivia melayangkan tinjuan telak tepat di rahang Dion. Segalanya terjadi begitu cepat, tubuh Dion oleng dan langsung tersungkur ke lantai. Rahangnya terasa nyeri, ia langsung menyentuhnya seraya menatap Olivia dengan kobaran api yang terkait lewat kedua matanya.
Bahkan Gito yang berdiri di samping Dion begitu terkejut, ia masih terbengong-bengong sampai tidak sadar bahwa Dion sudah tergelak di lantai. Tatapannya masih mengarah ke arah Olivia.
Merasa di tatap oleh sorot mata lain, Olivia menaikan pandangannya yang semula menunduk untuk tersenyum sinis pada Dion. Tapi kali ini penglihatannya beralih ke arah Gito.
"Kenapa lihatin gue? Lo mau gue pukul juga?" tantang Olivia, suaranya terdengar begitu sarkastis.
Gito langsung mematung, ia menelan ludahnya susah payah. Rupanya cewek yang berdiri tidak jauh darinya ini sangat berbahaya.
"Mati aja lo sekalian kalo nggak tahu kegunaan mata itu buat apa!" Olivia berkata sambil berlalu dari sana.
Ia menunduk lagi untuk mengamati Dion yang tak kalah geramnya. Dengan sengaja, Olivia menendang kaki cowok itu kuat-kuat sebelum pergi menjauh. Kembali Dion meringis menahan sakit.
"Gito! Lo ngapain berdiri kayak patung Pancoran gitu? Nggak lihat gue yang hampir sekarat gini?!"