RAUT kesal yang menyelubungi setiap inci permukaan wajah cewek di sampingnya dapat Elrach mengerti dengan mudah. Saat memasuki mobil tadi, Olivia sudah menekuk wajahnya. Hal itu membuat Elrach terkekeh kecil. Baginya, ada hiburan tersendiri kala melihat ekspresi Olivia yang sudah Elrach tidak asing lagi.
Elrach membagi pandangannya antara memperhatikan pada jalanan di depan dan menolehkan wajahnya ke samping untuk menengok Olivia. Kekehan Elrach mengencang hingga seketika Olivia menolehkan wajah dengan gerakan cepat, hunusan sorot mata tajam Olivia langsung memberhentikan tawa Elrach.
"Udahlah Liv, nanti juga kering sendiri kok itu," ucap Elrach membuka obrolan sekaligus memecah keheningan yang sedari tadi mengisi ruang di antara mereka. Ditepuknya kepala Olivia dengan gemas dengan tangan kirinya.
"Nggak usah perhatiin gue, lo fokus nyetir aja. Nanti nabrak orang," celetuk Olivia menatap lebih sinis pada Elrach, lalu napasnya berhembus hampir dibarengi dengan bola matanya yang berpindah menatap jalanan di samping, lewat kaca mobil.
Olivia tidak bermaksud melimpahkan semua amarahnya pada Elrach, hanya saja ia masih kesal terhadap tingkah Dion yang semena-mena. Dari awal, Olivia sudah menduga bahwa Dion pasti sengaja mengganggu dirinya.
Beberapa menit berkelana di jalanan ibu kota, akhirnya mobil berwarna silver masuk ke pekarangan rumah. Tepat sedetik Elrach mematikan mesin mobil, Olivia sudah keluar dari dalam, jantung Elrach rasanya hampir saja keluar dari naungannya saat Olivia membanting pintu mobil. Kalau sudah begini, Elrach menjadi bingung harus berbuat seperti apa, ia menyangka bahwa Olivia tengah marah kepadanya.
Napas Elrach berembus dengan kasar, ia mulai ikut masuk ke dalam rumah. Perhatiannya seketika langsung tertuju pada Olivia yang berjalan dengan entakan kaki kuat-kuat di anak tangga hingga suara yang ditimbulkan dari derap langkah itu berbunyi nyaring. Setelah mencapai di lantai atas, Olivia memasuki kamarnya. Sesaat setelah itu, bantingan pintu terdengar lebih menggelegar lagi, Elrach sampai terperangah dengan mulut setengah terbuka, kembali jantungnya dikejutkan oleh suara-suara memekakkan itu.
Malam harinya, satu jam sebelum keberangkatan Elrach dan ayahnya untuk kembali ke Surabaya, Elrach masih di meja makan bersama dengan Mommy Olivia sementara papanya sedang ijin pergi ke teras, istrinya menelepon.
"Oliv masih di atas Tan?" Sehabis satu suapan masuk lagi ke dalam mulutnya dan menelannya, Elrach bertanya pada Mommy yang sedang menenggak minuman.
Mommy meletakkan gelas sambil tersenyum, "Tante udah bujuk, tapi Oliv nggak nafsu makan kayaknya. Nggak biasanya kayak gini, nanti kamu bujuk bisa nggak? Siapa tahu Oliv mau kalo dibujuk cowok ganteng kayak Elrach."
Elrach terkekeh, "Tante bisa aja deh. Iya, Elrach bisa bantuin Tante kok."
"Makasih ya. Abisin makanan kamu dulu tuh."
Kembali Elrach mengangguk, tersenyum ramah dan melanjutkan memberi asupan tenaga pada tubuhnya.
Sepuluh menit berlalu, kini cowok tampan bertubuh tinggi berdiri tegak di hadapan sebuah pintu yang dicat mengkilap, bisa ditebak begitu mudah apabila pintu kamar Olivia itu dipernis. Elrach mengetuk pintu sebanyak dua kali dengan tangan kiri, sementara yang satunya ia gunakan untuk memegang nampan. Agak kerepotan, tapi itu tak berlangsung lama.
Tidak ada jawaban, Elrach menghembuskan napas, ia mencoba memanggil nama cewek itu. Akhirnya Olivia luluh untuk membukakan pintu entah karena alasan bahwa dia pengang mendengar panggilan Elrach, atau ia kasihan kepada cowok itu. Cengiran Elrach bertambah lebar saat pintu sudah terbuka dan menampilkan sesosok cewek dengan wajah kusut, kening Elrach berkerut dalam saat sadar bahwa pakaian Olivia masih sama seperti tadi siang.
"Liv, lo belum mandi? Kenapa masih pakek seragam?" tanya Elrach menggebu, sementara Olivia menatap Elrach dengan air muka sulit diartikan. Olivia menggaruk tengkuknya, tanpa mengindahkan pertanyaan Elrach, Olivia segera masuk kembali ke dalam kamarnya, namun ia masih membiarkan pintu itu terbuka seolah memberi ijin kepada Elrach untuk bisa masuk ke dalam.
Elrach meletakkan nampan di atas meja belajar Olivia, ia duduk di bibir kasur sambil terus menatap Olivia sebelum akhirnya ia bersuara, "makan dulu Liv. Nanti lo sakit," ungkap Elrach, merasa khawatir akan kondisi Olivia yang kali ini terlihat begitu lemas.
"Nggak nafsu." Hanya dua kata itu yang Olivia ucapkan. Ia menatap Elrach sebentar, lalu kakinya menyeret tubuhnya menuju balkon kamarnya.
Kerutan yang terpampang jelas di dahinya semakin banyak saat ekor matanya menangkap Olivia berdiri di luar kamarnya, entah kenapa pikiran Elrach menjadi tidak kondusif, ia mengangkat bokoongnya dari kasur dan berjalan cepat menghampiri Olivia.
"Liv, lo mau ngapain?"
Terbesit nada khawatir yang begitu nyata saat suara Elrach mengalun di indera pendengaran Olivia.
Sebuah senyuman tipis terlihat, Olivia kembali menatap ke depan, hampa. Napasnya berembus lebih tenang sebelum akhirnya ia menyeletuk, "gue nggak mau bunuh diri, tenang aja." Pusat perhatian Olivia kembali mengarah pada Elrach, cowok itu mengangguk gugup.
Sejak kapan Olivia jadi cenayang gini?
Elrach menggeleng seraya memejamkan matanya, ia tidak tahu kenapa otaknya berpikir yang tidak-tidak dari tadi. Elrach melirik Olivia yang masih menatap ke arahnya, senyuman Elrach terbentuk. Mungkin kali ini ia mengaku jika senyuman itu terjadi karena sedikit ada paksaan. Tidak benar-benar tulus karena Elrach merasa agak canggung.
"Tenang aja, gue bukan cenayang."
Elrach menoleh cepat, pikirannya semakin bingung karena Olivia lagi-lagi menyeletuk sesuai apa yang sedang ada di otak Elrach. Cowok itu hanya bisa memberi respons ringisan kecil dan mengangguk.
"Lo balik malam ini, kan?" Olivia menatap Elrach, kali ini tubuhnya menyorong ke arah cowok itu.
Elrach tersenyum lagi, "gue kok dengernya lo ngomong kayak ngusir gue sih?"
Olivia terkekeh pelan, "lo-nya aja yang mikirnya gitu." Perkataan Olivia dibalas tinjuan kecil yang Elrach layangkan mengenai bahu cewek itu.
"Iya, gue pulang malam ini kok. Setengah jam lagi mungkin." Olivia mengangguk mengerti setelah mendengar ucapan Elrach.
"Lo kenapa dari siang ngurung di kamar mulu? Sedih lo? Atau marah sama gue karena hari ini gue bakal balik?" ujar Elrach, memberondong pertanyaan.
Olivia mendecak, namun ia masih tetap menjawab. "Sejak kapan lo jadi percaya diri banget?"
Elrach menjawab cepat, "jujur Liv, lo kenapa? Dari tadi sore kelihatannya cemberut gitu. Well, apa cuma gara-gara seragam lo ini basah? Yaelah Liv, gitu aja kok cemberut sih. Tuh, lo bisa lihat sendiri, kan, kalo seragam lo udah kering lagi?"
"Lo lebih baik diem deh daripada ngoceh tapi nggak mutu kayak gitu." Tatapan Olivia semakin berubah sinis, ia memutar bola matanya jengah.
"Iya iya, baiknya sekarang lo makan dulu. Nggak kasihan apa sama nyokap lo, udah masak enak-enak malah lo sia-siain nggak jelas gini."
Olivia berkacak pinggang, "udah ceramahnya pak?"
"Belum."
Kembali Olivia berdesis, "sekarang keluar aja lo sana, siapin keperluan lo barangkali ada barang yang ketinggalan. Sebel gue lama-lama sama lo."
Diam-diam sudut bibir Elrach naik, ia lebih suka Olivia yang seperti ini. Marah-marah kepadanya, entahlah. Itu lebih baik daripada cewek itu merenung dalam kesunyian. Elrach benar-benar tidak suka.
"Iya iya, gue pergi sekarang. Jangan lupa makan. Oh ya, satu lagi. Lo jangan lupa mandi, permintaan kedua ini harus lo lakuin. Ya kali gue mau pulang penampilan lo jelek gini, otomatis gue sama bokap bakal peluk lo, kan? Pokoknya gue nggak mau lo bau jigong."
Satu tinjuan kuat seketika mendarat mulus di perut. Elrach mengaduh sakit memekik menahan rasa mual yang tiba-tiba hadir. Sebelum kekesalan Olivia bertambah memuncak, Elrach memilih menghindar.