MULUTNYA sedikit terbuka, sementara tangannya yang memegang es krim yang akan diarahkan ke dalam mulutnya langsung menggantung begitu saja. Tidak hanya itu, raut bingung terlihat begitu kentara di wajah Olivia. Alisnya naik beberapa senti ke atas, bersamaan dengan kepalanya yang tergeletak. Ia menoleh ke samping kanan, di mana Cici ada di sana, tidak lama kemudian tatapannya pindah ke sisi yang lain, di mana Pita ada di titik itu.
Bukan hanya ketiga cewek itu saja yang merasa bingung dan syok, melainkan seluruh penghuni kantin yang asik sibuk pada makanannya masing-masing seketika membungkamkan mulutnya. Sesaat, keadaan kantin begitu hening, seluruh ekor mata mengarah ke Olivia.
Merasa ditatap seperti itu, Olivia lantas dengan sigap segera menatap mereka satu-satu dengan kilat mata penuh kemarahan bahwa ia merasa terusik. Detik ketiga ketika Olivia sudah memancarkan aura menyeramkan, semua siswa kembali fokus ke kegiatan masing-masing.
Embusan napas kasar keluar ketika Olivia menoleh ke arah Pita karena Pita berkata sesuatu.
"Gimana Liv? Kenapa lo di suruh ke ruang guru?"
Olivia yang memang merasa tidak tahu segera mengendikkan bahu, ia sendiri pun bingung. Pengumuman dari ruang TU menyuruh dirinya untuk menemui salah satu guru membuat selera makan Olivia hilang. Ia kemudian membuang es krim ke tempat sampah yang terletak dalam radius satu meter dari tempat duduknya.
Olivia sedikit tersekat kala ia tidak berhasil memasukkan es krim itu ke dalam tong sampah. Olivia merasa bersikap bodo amat ketika es krim itu mendarat mulus di sepatu seorang cewek bertubuh tinggi. Jelas, Olivia mengenali siapa cewek tersebut, ketua ekskul modeling yang tidak kalah menakutkan daripada dirinya.
Dengkusan kasar terdengar hampir berbarengan dengan kepala Olivia yang mencari objek lain untuk ia tatap. Ia sudah menguatkan diri bahwa tidak lama lagi pasti Brisia—ketua ekskul modeling—akan datang ke mejanya.
Sama sekali tidak salah, walaupun tengah memusatkan tatapan ke arah lain, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Olivia bisa melihat Brisia sudah berdiri seraya melipat kedua tangannya di depan dadaa.
Pita dan Cici menatap Brisia dengan wajah terkejut, mereka memang melihat kesalahan Olivia tadi. Jujur, baik Pita maupun Cici merasa takut kepada Brisia walaupun mereka sama-sama kelas dua belas. Pita yang sadar sekaligus tidak kuat menahan gejolak dadaanya yang memburu, segera menyenggol lengan Olivia untuk bertanggung jawab.
Olivia mencebik, melempar sorot mata penuh sinis kepada Pita sebelum akhirnya tiba-tiba tatapannya beralih pada cewek cantik di hadapannya.
"Udah tahu kesalahan lo di mana, kan?" Dengan nada suara yang terdengar dilembutkan, Brisia berkata seraya menaikkan satu alisnya.
Olivia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya, kemudian ia berdiri dari duduknya, ekor matanya saling beradu dengan manik mata Brisia. Sudut bibir Olivia terangkat, lalu ia memilih keluar dari kantin karena panggilan dari ruang guru terasa lebih penting daripada mengurusi Brisia.
Cekalan kuat mendarat dipergelangan tangan Olivia, segera ia melempar tatapan tajamnya sambil mengerang tidak terima.
"Mau ke mana? Berusaha lari dari tanggung jawab, hm?"
"Gue ada urusan!" ketus Olivia.
"Oh ada urusan yang lebih penting selain SEPATU GUE?!" Bola mata Brisia refleks membesar.
Menyadari sebuah suara yang terdengar memekakkan ketika masuk ke dalam telinga, semua pasang mata langsung memfokuskan tatapan ke arah Olivia dan Brisia yang saling melempar pandangan sengit.
Olivia berusaha untuk sabar, "ya udah gue minta maaf," ujarnya terkesan dipaksakan, ia menjulurkan tangan kanannya.
Bukannya menerima uluran tangan Olivia dengan senang hati karena akhirnya cewek berambut hickory itu meminta maaf dan menyadari kesalahannya, Brisia malah mencebikkan bibir dan menepis tangan Olivia kuat.
Rahang kecil Olivia langsung mengatup rapat-rapat, tatapannya berubah bengis, kesabarannya sudah habis telak dan amarahnya sudah memuncak di ubun-ubun kepalanya. Olivia tidak berniat untuk membuat masalah karena ada hal yang lebih penting untuk waktu sekarang ini.
"GUE NGGAK SUDI!" ucap Brisia keras, mendorong bahu Olivia ke belakang hingga Olivia yang tidak mengira Brisia akan melakukan itu refleks terhuyung, mungkin ia akan tersungkur di lantai karena dorongan tangan Brisia memang sangat kuat, untung saja dengan sigap Cici menangkapnya.
Air muka Olivia semakin memerah, sudah lebur titik kesabarannya. Ia menyatukan tatapan lebih bengis lagi pada Brisia. Tubuhnya maju satu langkah. "Maksud lo apa?!"
Sekarang giliran Olivia yang mendorong tubuh Brisia ke belakang dengan tenaga yang tak kalah kuat. Bahkan mungkin di bilang dua kali lebih brigas daripada Brisia tadi. Senyuman remeh Olivia tercetak saat punggung Brisia menubruk meja hingga membuatnya meringis menahan sakit.
"BERANI LO SAMA GUE, HA?" Brisia menegakkan tubuhnya kembali, tangannya sesekali memegang punggungnya yang masih terasa nyeri.
"Ngomongnya nggak usah melibatkan urat di leher bisa?" Dengan santainya, Olivia berkomentar hingga Brisia semakin murka.
Kedua tangan Brisia terkepal semakin mengetat, rahangnya ikut mengatup rapat. Dalam sekali hentakan, ia sudah melayangkan tamparan tepat di pipi bagian kanan Olivia hingga menimbulkan suara keras. Wajah Olivia terlempar ke samping.
Semua pasang mata begitu shock melihat kejadian itu, kini kantin benar-benar senyap, apalagi semua orang menahan napasnya untuk beberapa detik ketika saat-saat tamparan telak mendarat di pipi Olivia.
Kerumunan siswa semakin banyak, bahkan mereka mengelilingi dua siswa yang sedang beradu itu. Baik Pita maupun Cici merasa malu, mereka juga menjadi korban tontonan ini.
"Liv, udah yuk. Nggak usah diladenin, lagian lo udah minta maaf kok tadi," lerai Pita sembari memegangi lengan Olivia, membujuknya untuk menjauh dari sana.
Olivia menoleh, kemudian tersenyum tipis. "Nggak usah, lo berdua pergi aja dari sini. Gue nggak terima," bisik Olivia sesekali melirik Brisia yang sudah merasa menang.
Pita mengangguk, lalu ia memberitahu Cici untuk menghindar dari sana, mereka tidak pergi. Hanya saja memilih menonton di antara kerumunan siswa. Mereka berdua bingung untuk melerai kemarahan Olivia dengan cara apa. Jika sudah mencuatkan emosi, Olivia tidak mudah untuk dialihkan.
Olivia menajamkan matanya pada Brisia, lalu mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, kemudian pukulan kuat mendarat di bagian rahang Brisia.
Brisia terhuyung lemas dan berakhir terjatuh di lantai kantin. Semua orang membekap mulutnya masing-masing saking takjubnya dengan keberanian seorang Olivia Kharisma. Sama sekali tidak ada yang berani melerai.
"MAKSUD LO APA?!"
Brisia semakin membrutal, ia tidak mau dipermalukan. Secepat kilat ia berdiri lagi. Kali ini ia semakin dililit amarah yang sudah meluber ke mana-mana. Rambut Olivia yang selalu di kuncir ekor kuda itu memudahkan Brisia untuk menariknya. Olivia memekik, menggeram, kemudian mencakar tangan Brisia menggunakan kuku-kuku jarinya. Brisia melenguh, melepaskan jambakannya, ia mulai sibuk menahan rasa perih di lengannya akibat cakaran Olivia. Tidak sampai sepuluh detik, darah segar mengucur dari sana.
Brisia yang sibuk dengan urusannya sendiri membuat Olivia memiliki peluang, ia tidak mau kalah dan sekarang kedua tangannya mendarat di rambut Brisia, lalu menariknya sekuat mungkin.
"Jangan salahkan gue, karena lo sendiri yang mancing kemarahan gue duluan!" Olivia mendesis kasar, mencebikkan bibirnya. Kemudian menghentikan jambakannya dan kembali mendorong Brisia ke belakang.
Ia tersenyum puas dan memilih keluar dari kerumunan untuk pergi ke ruang TU untuk bertanya kenapa dirinya di cari.