SEBELUM benar-benar menginjakkan
kakinya di ruang TU alias Tata Usaha, Olivia membelok langkahnya menuju toilet. Ia tidak buang air, melainkan ingin membasuh mukanya yang mungkin saja kusut dan tidak enak di pandang. Lagipula, jambakan dari Brisia tadi tentu saja membuat rambutnya berantakan.
Sesampainya di dalam bilik toilet, Olivia memandangi wajahnya di cermin setelah membasuh wajahnya, ia tersenyum kecut, kemudian mengambil tisu yang sudah di sediakan di sana. Selanjutnya, ia melepaskan kunciran rambutnya dan mulai merapikan penampilannya lagi. Kali ini, Olivia membiarkan rambut panjangnya tergerai begitu saja.
* * *
"Kamu tanya ada apa kenapa di panggil?"
Alis Olivia menukik bingung melihat Bu Susi, pimpinan Tata Usaha di SMA Berlian Satu sedang berkacak pinggang di hadapannya.
Olivia mendengus, lalu menukas, "saya beneran nggak tahu kok Bu."
Helaan napas kasar keluar bersamaan dengan kepalanya yang membuang ke sembarang arah. Beberapa detik kemudian Bu Susi memusatkan pandangannya lagi ke arah Olivia.
"Temui Pak Tatang di ruang BK," desis Bu Susi, kemudian memilih menghindari Olivia. Namun, suara Olivia berhasil menghentikan langkah beliau hingga mau tak mau Bu Susi membalikkan badan.
"Ruang BK? Ada apa Bu?" Olivia berjalan mendekati Bu Susi, ingin segera mendengar jawaban dari beliau. Jujur saja, Olivia masih belum paham kenapa situasinya bisa seperti ini.
"Nggak usah pura-pura nggak tau, buruan ke sana. Nanti kami juga tahu kesalahan kamu apa. Jujur ya, Ibu juga menyesali perbuatan kamu itu," ujar Bu Susi dengan gelengan kepala cepat. Olivia ingin kembali berkata, tetapi Bu Susi seolah tidak mau bicara dengannya. Guru berbadan bengkak itu sudah menghindar, pergi entah ke mana.
Mau tak mau Olivia pergi ke ruang BK yang letaknya tidak jauh dari ruang TU, setelah sampai di ambang pintu, dadaanya nampak naik karena ia sedang mengumpulkan udara yang akan ia pasok ke paru-paru. Setelah matanya terpejam beberapa detik, Olivia melangkah masuk. Sempat mematung karena bingung di tatap oleh semua guru di ruangan itu. Perasaan Olivia sudah tak keruan hingga tiba-tiba suara dari pak Tatang menusuk telinganya.
"Olivia, sini kamu!" panggil pak Tatang dengan aura beratnya.
Olivia segera mengedarkan pandangannya, setelah menangkap di mana posisi pak Tatang berada, sepasang kaki Olivia langsung berjalan. Guru BK cungkring itu jelas sudah mengenal dan bahkan hafal siapa itu Olivia Kharisma. Cewek bebal ini sudah sering masuk ke ruangan BK karena suka membuat ribut. Namun, dalam rentang waktu beberapa bulan terakhir, entah kenapa Olivia sedikit berubah. Mungkin saja ia sadar diri bahwa dirinya sudah menduduki kelas dua belas dan akan menghadapi ujian besar di hadapannya.
Olivia menundukkan kepalanya, menatap sepasang sepatunya. Ah, rasanya ia sungguh malu sering datang ke ruangan ini walaupun kali ini masih bingung membuat kesalahan apa.
"Kamu duduk, bapak akan sidang kamu."
Olivia menurut, ia menatap sofa, kemudian ia tersentak kaget, refleks matanya membesar ketika di sofa ada Dion yang duduk manis di sana. Mereka saling berpandangan sebentar sebelum akhirnya Olivia memutuskan untuk duduk di samping cowok itu.
"Olivia." Pak Tatang kembali memanggil Olivia.
"Iya pak," jawab Olivia lirih.
"Kamu tahu masalahnya kenapa saya nyuruh kamu duduk di sini?" Pak Tatang kembali menyeletuk dan Olivia membalasnya dengan gelengan kepala.
Penglihatan pak Tatang beralih ke arah Dion hingga Olivia mengikuti arah pandangan guru BK tersebut. Terlihat pak Tatang tersenyum kecil pada Dion, kemudian ekor matanya kembali berpindah menghadap Olivia.
"Bapak nggak paham apa kamu cuma pura-pura nggak tahu masalah kamu atau kamu memang nggak tahu beneran."
Olivia menyela cepat, "saya beneran nggak tahu kok pak."
Pak Tatang mengangguk kepalanya, "ya udah tanya sama cowok di samping kamu itu."
Olivia mendengus, memutar kepalanya untuk menatap Dion. Cowok itu sudah mematri pandangan ke arahnya. Hal pertama yang Olivia lihat kali ini adalah luka lebam di bagian pipi dan rahang cowok itu, bahkan Olivia sedikit meringis melihat itu karena tak tahan, pasti rasanya sangat sakit.
Dion tersenyum sinis, "ingat ini nggak?" Dion menyentuh luka lebamnya sendiri hingga kerutan di kening Olivia berlipat ganda.
"Kenapa tanya gue?" Olivia balik bertanya.
Dion memutar bola matanya seraya menghela napasnya dengan gusar, "ingat siapa yang mukul?" tanya Dion lagi.
Tepat saat itu pula Olivia tidak tahu caranya bernapas, sekarang ia sudah paham. Bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya. Olivia menundukkan kepala sambil menggigit bibir bagian bawahnya karena merasa malu. Sekarang ia ingat kalau dirinya menonjok Dion waktu cowok itu menyenggol bahunya. Astaga, Olivia tidak tahu jika tangannya ini dapat mencelakai orang lain. Waktu itu niatnya hanya untuk memberi pelajaran cowok itu agar lain kali berjalan hati-hati dan memperhatikan jalanan.
Sadar akan ekspresi Olivia yang pucat pasi, sebuah senyuman sinis Dion tercetak.
"Sori, gue nggak sengaja." Olivia berkata dengan bibir bergetar, raut wajahnya masih menatap ke bawah.
"Ada ya minta maaf sambil nunduk gitu?" Dion berkomentar hingga seketika kepala Olivia terangkat.
"Iya gue minta maaf. Mau gue obatin? Tenang aja, kali ini gue nggak bakal ada niat buat kabur kok." Olivia memberondong perkataan. Entahlah, yang ditakutkannya sekarang hanyalah hukuman dari Pak Tatang.
Pandangan Olivia beralih menatap Pak Tatang, "saya sudah sadar pak kesalahan saya ada di mana," ucap Olivia menyesal.
Pak Tatang menegakkan tubuhnya kembali setelah satu menit bersandar di punggung sofa.
"Bagus, sekarang kamu hanya nunggu hukuman apa yang akan saya berikan. Jangan kaget, ya. Mungkin ini hukumannya akan lebih parah dari sebelum-sebelumnya."
Olivia langsung membuang muka, ia memejamkan matanya sambil mengatur napasnya yang terdengar memburu. Bagaimana ini? Apakah ia akan kena skorsing?
"Pak, jangan hukum dia," ucap Dion dengan tenang.
Olivia kaget dan segera mematri tatapan bingung pada cowok di sampingnya ini. Dion membuang napas, lalu kembali melanjutkan kata-katanya, "dia salahnya sama saya pak, apa saya berhak kasih hukuman sama dia? Saya minta bantuan bapak karena apabila saya minta pertanggungjawaban sama Olivia, pasti cewek ini akan nolak mentah-mentah. Jadi, boleh kan pak?"
Setelah berucap seraya menunggu respons yang di berikan pak Tatang, Dion melirik Olivia sambil tersenyum sinis, tapi terlihat begitu menyeramkan dan licik di mata Olivia. Cewek itu menggeleng, pasti Dion akan mengerjai dirinya habis-habisan setelah ini.
Jika sudah seperti ini, lebih baik Olivia memilih di hukum pak Tatang saja daripada Dion. Harapan satu-satunya sekarang adalah pak Tatang, semoga saja guru BK itu menolak penawaran Dion.
"Baiklah kalo itu mau kamu," ujar Pak Tatang santai. Dion tersenyum puas.
Tepat saat itu pula saraf-saraf di tubuh Olivia seolah berhenti bekerja. Tubuhnya kaku bak baru saja tersambar kilatan petir. Mungkin, mulai besok, atau mungkin menit berikutnya, hidup Olivia sudah tidak tenang.
Dirinya benar-benar akan terancam.