Kafetaria Rumah Sakit Wyndham International siang itu ternyata penuh dikunjungi dokter-dokter yang berpraktik di rumah sakit itu. Bagi Anna yang lebih sering terlambat makan siang, bahkan melewatkan makan siang, itu pemandangan yang tidak biasa.
John mengajak Anna duduk di salah satu meja yang kosong di pojok ruangan. Mereka berdua menunggu menu pesanan diantar ke meja mereka.
"Hey, kalian ... selamat ya untuk pertunangan pagi tadi," ujar Dokter Isaac Beneton, dokter spesialis bedah saraf di rumah sakit itu.
Anna dan John berdiri menerima jabat tangan dan pelukan hangat ucapan selamat kolega mereka itu. "Terima kasih, Dok," ucap Anna.
Dokter-dokter yang duduk semeja dengan Dokter Isaac pun memberikan ucapan selamat mereka juga ke Anna dan John.
Ketika menu makan siang mereka datang, mereka pun mengakhiri ramah tamah basa-basi itu dan kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Anna, apa kau nyaman dengan segala perubahan status yang mendadak ini?" tanya John sembari menyantap makanannya.
Anna mengunyah bistik sapinya sambil berkata, "Sejujurnya ... tidak, kuharap kita masih bisa bekerja dengan profesional. Pekerjaanku masih menjadi prioritas utama dalam hidupku, John."
"Ya, aku akan mengusahakan segalanya berjalan sealami mungkin dengan kau menjadi kekasih sekaligus tunanganku. Mungkin kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu di luar jam kerja, Anna," jawab John dengan penuh harap.
Anna hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Dia sebenarnya tidak begitu berminat untuk berpacaran saat ini. JC pun menawarinya menjadi pacarnya, tetapi dia masih belum tergerak hatinya. Seorang Anna memang sulit jatuh cinta, mungkin karena terlalu banyak melihat darah dan merasakan ketegangan di ruang operasi membuat hatinya mati rasa.
Setelah mereka selesai makan siang, mereka pun berpisah ke tempat praktik mereka masing-masing. John naik ke lantai 8, sementara Anna turun ke lantai 1 ke bagian ER.
Suster Belina menghampirinya tergesa-gesa sambil membawa berkas data pasien baru.
"Pasien emergency infeksi usus buntu, Dok. Seorang pria berusia 60 tahun dengan keluhan nyeri parah di bagian perut bawah. Hasil xray tercantum di berkas data pasien," lapor Suster Belina.
Anna membaca semua informasi mengenai calon pasien bedahnya dengan teliti sembari mendengarkan Suster Belina berbicara. Ketika sudah terbaca semua, Anna berkata, "Apa surat izin operasi dari keluarga pasien sudah ditandatangani? Ruang OK apa sudah siap?"
"Semua sudah siap, Dok. Kapan pun Anda ingin memulainya sudah bisa, sebentar lagi kami pindahkan pasien dari bilik ER ke ruang OK nomor 2," ujar Suster Belina dengan sigap.
"Lanjutkan, Sus. Aku akan bersiap-siap sekarang. Jangan lupa siapkan kantong darah cadangan bila nanti dibutuhkan B rhesus +, pasien ini harus segera dioperasi," pesan Anna lalu bergegas untuk berganti pakaian bedah steril.
Ketika Anna memasuki ruang OK yang dingin dan redup itu, para asistennya sudah menantinya dengan jantung berdebar seperti biasanya. Terkadang Anna merasa geli juga, sebagian besar orang yang bekerja di ruang operasi selalu merasa tegang setiap waktu. Padahal sebenarnya bila mengerti apa yang harus dilakukan, segalanya akan baik-baik saja.
Mungkin terkadang ada kejadian tak terduga, tetapi Anna lebih memilih untuk mengerjakan bagiannya saja. Tidak berharap sesuatu yang di luar kontrolnya. Ketika nyawa pasien itu sudah berada di batas gerbang kematian, dia akan berusaha. Namun, tidak akan pernah menyalahkan dirinya bila memang nyawa itu terlepas dari genggamannya.
Kali ini Anna membuka bagian abdominal (rongga perut) pasien di dekat area usus buntu agar tidak meninggalkan bekas jahitan yang terlalu lebar di kulit pasien nantinya. Memang benar tampak usus yang kemerahan tua yang terinfeksi dan terancam mengalami pembusukan. Bau anyir darah bercampur bau tak sedap memenuhi ruangan OK.
Anna mengambil forcep untuk mengamankan usus buntu itu agar tidak mencemari rongga dalam perut sebelum dia menjahit dan memotong bagian yang membusuk itu.
Semua mata memperhatikan tangan Anna yang lincah memainkan jarum dan benang dengan needle holder dan pinset di tangan kiri. Tangan itu begitu lincah seolah menari-nari di organ dalam pasien yang terbaring dalam kondisi terbius total.
Tak butuh waktu lama bagi Anna untuk menjahit otot perut dan kulit setelahnya. Akhirnya operasi pengangkatan usus buntu itupun selesai. Anna mengecek semua kondisi vital pasien pasca operasi dan melihat monitor detak jantung.
"Done. Lakukan perawatan pasca operasi sesuai standar dan laporkan padaku bila pasien sudah siuman, ok?" ujar Anna kepada suster penanggungjawab ruang operasi lalu meninggalkan ruang OK.
Dokter Abigail Newton mengejar Anna yang sedang berjalan menuju ke lift untuk naik ke ruangannya di lantai 3.
"Hey, Anna, tunggu!" serunya lalu berhenti di hadapan Anna dengan napas tersengal-sengal sambil membawa map data pasien berwarna kuning. "Aku butuh bantuanmu dengan pasienku, apa kau kosong sekarang?" ujarnya.
Dokter Abigail Newton, seorang dokter wanita berkaca mata tipis yang berusia 35 tahun, dia senior Anna spesialis pediatrik. Berambut coklat, dengan mata lebar berwarna biru muda yang indah, dan bibir merah muda yang sedikit tebal dan berbelah nampak seksi. Tubuhnya tinggi dan ramping, dengan d**a yang berisi. Dia termasuk dokter wanita single yang banyak didekati koleganya di rumah sakit ini.
"Kasusnya apa, Abby? Aku akan senang membantumu, apakah emergency case?" tanya Anna dengan efektif, dia selalu cekatan dalam apapun.
"Hernia diafragmaticus, dia bocah laki-laki berusia 10 tahun. Terlibat perkelahian anak-anak dan cedera rongga thoracoabdomen, aku sudah melakukan xray dan hasilnya itu. Napasnya tidak baik, apa kau bisa menanganinya sekarang?" tanya Dokter Abigail Newton dengan penuh harap menatap wajah Anna.
"Bisa, aku ingin data lengkap pasien dan prosedur rutin pra operasi dilengkapi, mungkin kau bisa menghubungi bagian ER dan OK untuk membantumu mentransfer pasien itu ke mejaku, Abby. Aahh ... siapa nama bocah itu?" jawab Anna membatalkan niatnya untuk naik lift dan malahan berjalan beriringan dengan Abby ke ruang ER.
"Ian Jeremy Brandson, panggil saja Ian. Terima kasih, Anna. Kuharap dia akan segera tertolong, napasnya sudah agak berat dan sesak saat ini," ujar Dokter Abigail Newton menyerahkan map data pasien milik Ian kepada Suster Belina yang menjadi penanggung jawab ER shift pagi hingga siang.
"Wish me luck, Abby. Kuharap aku bisa mengerjakannya dengan cepat dan sukses. Bedah thoracoabdomen itu melelahkan dan menegangkan, ini kasus ketigaku di OK hari ini, kuharap yang terakhir hari ini," balas Anna seraya menyunggingkan senyum manis di bibirnya.
Suster Belina mengurusi berkas persetujuan bedah untuk ditandatangani pihak keluarga pasien serta menyiapkan kantong darah sesuai golongan darah calon pasien operasi Dokter Annastacia Brighton. Dia mengirimkan rekannya di ER untuk meminta petugas yang bertanggungjawab di ruang OK menyiapkan ruangan untuk operasi sekarang juga.
Setelah 15 menit berlalu, semua terkoordinasi dengan baik dan lengkap.
"Segalanya siap, Dokter Anna. Anda bisa ke ruang OK 1 sekarang," ujar Suster Belina. Meskipun wanita itu berusia 42 tahun, tetapi dia sangat energetik dan sangat dapat diandalkan untuk berada di garis depan pelayanan emergency rumah sakit itu.
"Terima kasih, Suster Belina. Aku berangkat ke sana sekarang," sahut Anna lalu bergegas menuju ke ruang OK 1. Dia siap untuk menjalani operasi besar hingga sekitar 3 jam ke depan.