Dari hari ke hari nampaknya Anna justru semakin menghindari JC. Semenjak kunjungan Jeanette Knightley ke ruang perawatan JC, gadis itu seolah membangun tembok tebal antara dirinya dengan JC.
Kunjungan dokter di pagi hari masih dilakukan oleh Dokter Annastacia ke ruang perawatan JC. Namun, hanya berlangsung singkat tanpa percakapan di luar anamnesa kondisi pasien bersama dokternya. Permintaan JC untuk mengunjunginya setiap sore juga tidak pernah dilakukan oleh Anna.
Hingga hari ketujuh pasca operasi, luka bekas jahitan di punggung JC memang sudah kering dan menutup. Kini pemuda itu sudah boleh duduk di kepala ranjang pasien, tidak harus berbaring telungkup lagi.
Pagi itu Anna melakukan visit pasien paginya sendiri karena dokter-dokter muda koas mengalami pergantian kepaniteraan. Rumah sakit sedang sangat sibuk jadi Anna tidak meminta perawat menemaninya berkunjung ke kamar-kamar perawatan pasien pasca bedah.
"Selamat pagi, Jason. Bagaimana kabarmu?" sapa Dokter Annastacia sembari memegang papan file data progres kesembuhan pasien di tangannya.
"Pagi, Anna. Kabarku tidak begitu baik karena kau terus menghindariku. Ada apa sebenarnya?" jawab JC dengan wajah serius.
Anna terdiam saling bersitatap dengan JC. Dia merasa tak nyaman membicarakan masalah pribadi di jam kerja. Dia pun berkata, "Kalau segalanya sudah pulih seperti semula. Aku akan berikan surat izin pulang dari rumah sakit hari ini juga, Jason."
Wajah JC dipenuhi kemarahan karena dia merasa diabaikan oleh Anna dengan terang-terangan. Dia pun bangkit dari bed pasien lalu mencekal lengan Anna. "Jangan menghindari pertanyaanku, Anna!" serunya.
"Jason ... kau membuatku takut," ucap Anna menepis tangan JC di lengannya.
Namun, JC tak ingin melepaskan Anna malahan menariknya ke dalam pelukannya. "Apa aku harus mengatakannya terang-terangan kepadamu kalau aku mencintaimu, Anna? Segala isyarat sudah kukirimkan kepadamu dan seolah percuma. Terbuat dari apa hatimu hingga tak dapat tersentuh oleh cinta?"
"Kau gombal, Jason. Hahaha. Syair lagu cintamu memang luar biasa, tapi cinta itu bukan sekedar kata-kata. Kau sudah memiliki Jeanette, jadi lepaskan aku sekarang," jawab Anna sembari tertawa kering.
"Astaga. Ya Tuhan! Wanita yang aku cintai meragukan perasaanku. Jean bukan siapa-siapaku, Anna. Dia pacar settingan dari managemen artist yang menaungi kami untuk menaikkan pamornya," ujar JC mengacak-acak rambutnya dengan nada tinggi seperti hilang kesabaran.
"Aku sudah bertunangan dengan Dokter John Baldere. Apa kau ingat pria yang kukenalkan di pesta Rosalyn Stuart?" jawab Anna seperti apa adanya agar JC tidak banyak berharap pada hubungan mereka.
JC terperangah seolah tak percaya dengan pendengarannya. "Katakan sekali lagi, Anna," pintanya.
"Aku sudah bertunangan dengan Dokter John Bardere. Lihatlah ini cincin di jari manisku," ulang Anna seraya mengangkat telapak tangannya dimana sebuah cincin emas dengan berlian tunggal berukuran 5 mm tersemat di jari manisnya.
Wajah JC berpaling dari hadapan Anna, perasaannya begitu terluka karena kenyataan status baru Anna yang sudah menjadi milik pria lain. Dia bertanya-tanya kapan mereka bertunangan, tetapi itu tidak penting karena hatinya sudah hancur saat ini.
"Baiklah, kita sudah mengerti posisi masing-masing bukan? Aku akan memproses izin kepulanganmu dari rumah sakit, Jason. Selamat tinggal," ujar Anna dengan nada datar. Sekalipun ada perasaan aneh yang terasa pedih di hatinya. Dia tidak tahu apakah dia juga memiliki perasaan lebih ke Jason Channing.
Anna melangkahkan kakinya keluar dari ruang perawatan JC dengan tegar. Dia tidak suka membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit. Bahkan, dengan John pun dia masih belum merasakan perasaan yang lebih dalam. Pekerjaannya sebagai dokter bedah masih menjadi prioritas dalam hidupnya.
Sesampainya di lantai lobi, Anna meminta bagian administrasi pasien untuk membuatkan surat izin pulang dari rumah sakit untuk Jason Channing. Dia merasa tidak akan pernah bertemu dengan popstar tampan itu lagi.
"Dokter Anna, Anda dibutuhkan di ER. Seorang pasien baru datang dengan cedera paha kanan yang mengalami perdarahan hebat," ujar perawat jaga ER hari itu, Suster Marry.
Dengan segera Anna berlari masuk ke lift ke lantai 1 tempat ER berada. Adrenalin dalam darahnya meningkat seiring dengan kasus gawat darurat yang dia terima.
"Serahkan data kondisi terkini pasien!" seru Dokter Annastacia dengan tegas.
Sebuah berkas map diserahkan ke tangan Anna. Dia segera membaca file itu dan melihat hasil xray bagian paha pasien. Itu fraktur terbuka di tulang Femur kanan. Sudut patahannya cukup bagus menurutnya untuk disambung kembali dengan plat titanium.
"Tolong siapkan kantong darah dengan golongan darah A rhesus +, pasien mengalami pendarahan hebat. Aku tak ingin ada syok hipovolemik di tengah melakukan operasi ortopedik," pesan Dokter Annastacia ke perawat jaga ER.
"Siapa dokter bedah ortopedik yang akan menangani kasus ini?" tanya Anna.
"Dokter Benedict Longheart," jawab Suster Marry.
"Baiklah, aku akan bersiap-siap," sahut Anna bergegas ke ruang persiapan OK.
Seusai memakai pakaian steril, disposible mask, head cap, dan sarung tangan latex, Anna pun masuk ke ruang OK 1. Seperti biasa semuanya tegang. Kali ini dia mendampingi Dokter Benedict Longheart sebagai kooperator bedah karena beliau spesialis ortopedi, sementara Anna dokter bedah umum.
"Selamat pagi, Dokter Ben. Sudah siap mulai?" sapa Anna dengan percaya diri.
"Pagi, Dokter Annastacia. Kita bekerjasama lagi, silakan mulai pembersihan luka dan incisi awalnya," jawab Dokter Benedict yang berusia 10 tahun di atas Anna.
Tangan Dokter Annastacia dengan cekatan membersihkan kontaminan di daerah luka mengangga di paha pasien yang merah berdarah-darah. Dia mencucinya dengan cairan NS steril. Ketika sudah bersih dari semua kontaminan, Anna mengikat pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan lalu memakai pisau scalpel untuk membuka lapisan kulit dan otot di bagian bawahnya dibantu oleh residen bedah yang menjepit lapisan demi lapisan dengan alis forceps.
"Dok, luka major-nya sudah ditemukan. Silakan dimulai rekonstruksi tulang Femur-nya," ujar Anna sembari bertukar tempat dengan Dokter Benedict.
Dokter Benedict segera memeriksa sudut patahan tulang paha itu lalu memposisikannya dengan benar seperti sebelum patah. Dia meminta Dokter Annastacia memegangi tulang itu sementara dia memasang plat titanium dan sekrup-sekrupnya ke permukaan tulang hingga rongga tengah tulang Femur itu agar tidak bergeser.
Alat screwdriver elektrik itu berdenging membuat seisi ruang OK merasa ngilu saat Dokter Benedict mengebor tulang pasiennya. Sedangkan, Anna dengan tenang melihat setiap prosesnya. Dia pun paham caranya, tetapi dia bukan spesialis ortopedi.
Mungkin berikutnya dia ingin bersekolah lagi, cabang spesialis bedah tulang cukup menarik minatnya. Pekerjaan spesialis ortopedik seperti tukang dengan gergaji, bor, dan alat-alat pertukangan dengan cara yang elegan.
Ketika semua sekrup telah terpasang rapi dengan plat platinum di sepanjang tulang Femur yang patah itu, Dokter Benedict meminta Dokter Annastacia menutup kembali lapisan otot dan kulit yang tadi dia incisi dengan jahitan rapi.
Itu hal yang sangat mudah bagi Anna, semuanya dalam kondisi steril agar tidak menimbulkan infeksi akibat kontaminasi. Setelah dicuci bersih dengan cairan NS steril, Anna memulai jahitannya. Dalam 20 menit semua jahitan dari dalam hingga kulit terluar selesai dia eksekusi.
"Done. Terima kasih Dokter Ben dan semuanya, operasinya berjalan lancar. Pantau kondisi pasien pasca operasi dan laporkan ke aku bila pasien telah siuman," ujar Dokter Annastacia dengan pesan standarnya seusai proses pembedahan.
"Well done, Dokter Anna. You did a great job!" puji Dokter Benedict.