Sakit dan takut. Itulah yang dirasakan Ailen kali ini. Dia takut jika ancaman Kenzo dengannya akan terjadi, tetapi di lain sisi dia juga merasa sedih karena perlakuan Kenzo. Kenapa pria itu harus melakukannya? Menyakiti hatinya berulang kali. Bahkan, sejak pria itu pergi, Ailen tidak beralih sama sekali. Dia hanya duduk di sofa, menatap kelopak bunga yang tersusun dengan indah di atas ranjang.
Seharusnya ini malam pertama pernikahanku dengan Kenzo, kan? Ailen yang sempat berpikir hal itu pun tersenyum miris. Dia yang menganggap jika pernikahannya adalah solusi terbaik, kali ini mulia menyesal. Pasalnya, Kenzo tetaplah Kenzo. Pria itu tetap bersikap dingin dengannya. Tidak ada kelembutan dan kehangatan yang pria itu tunjukkan.
Ailen menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia harus bisa mengendalikan hatinya yang sudah tidak karuan. Manik matanya beralih, menatap ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
“Kenapa Pak Kenzo belum pulang? Dia pergi kemana?” tanya Ailen dengan raut wajah cemas. Pasalnya, sejak tadi, dia juga tidak mendengar suara mobil keluar dari rumah.
Ailen yang penasaran pun turun dari sofa dan bangkit. Dia takut kalau Kenzo melakukan hal yang akan membahayakan diri sendiri. Pasalnya, tidak hanya Ailen, Kenzo pun pasti merasakan tekanan yang cukup besar karena harus menikah dengannya. Ailen mencoba memaklumi hal itu, meski Kenzo sangat mengabaikannya. Hingga Ailen yang hampir dekat dengan pintu menghentikan langkah, tepat ketika Kenzo membuka pintu kamar.
“Pak,” panggil Ailen lirih.
Kenzo masih mendengar, tetapi memilih diam dan tidak menjawab. Raut wajahnya tetap terlihat datar dan menatap Ailen sinis. Dengan tenang, dia melangkahkan kaki, menuju ke arah lemari. Ailen yang berada di sana pun hanya diam dan mengamati.
“Bapak kenapa mengambil selimut?” tanya Ailen dan mendekat ke arah Kenzo. Padahal di ranjang sudah ada selimut. Jadi, untuk apa selimut pria itu?
Kenzo membalik tubuh dan menatap ke arah Ailen berada. “Kamu pikir untuk apa?”
Ailen yang ditanya balik mengerutkan kening dalam. Maksudnya apa?
“Aku tidak mungkin tinggal di kamar yang sama dengan kamu, Ailen. Aku tidak ingin kembali masuk dalam jebakan kamu. Jadi, selama kita menikah, jangan harap aku akan tingga di kamar dan ranjang yang sama,” ucap Kenzo dengan nada ketus. Dia segera melangkahkan kaki dan menuju ke arah pintu.
Ailen cukup terpukul mendengar hal itu. Dia pikir Kenzo sudah tidak membencinya, meski tidak bertindak baik untuknya. Tapi, siapa sangka jika pria itu masih saja sama. Kenzo menganggapnya w************n dan menjijikan, membuat air mata Ailen turun dengan sendirinya.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Ailen segera menghapus air matanya dan melangkahkan kaki lebar. Dia harus menjelaskan semuanya dengan Kenzo. Dia tidak mau jika pria itu terus menganggapnya sebagai w************n. Padahal, Ailen hanya menyelamatkan Kenzo dari jebakan Ciara, tetapi siapa sangka jika mereka malah berada di atas ranjang. Ailen sendiri tidak tahu jika serbuk yang dimasukkan adalah obat perangsang.
Ailen yang sudah berada di depan pintu pun membuka perlahan. Rasanya beruntung karena Kenzo tidak menutup pintu sepenuhnya. Tapi, baru saja melihat isi ruangan itu, Ailen dibuat terdiam. Manik matanya menatap sekitar, membuat raut wajahnya berubah menjadi pucat. Air matanya pun turun dengan sendirinya. Perlahan, Ailen memundurkan langkah dan berlari ke arah tangga.
***
Ailen membuka mata secara perlahan. Sejenak, dia hanya diam dan mengerjapkan mata, berusaha memulihkan kesadaran sepenuhnya. Tangannya memijat pelipis, merasakan bagian kepala yang terasa berat.
“Astaga, kenapa kepalaku pusing,” gumam Ailen. Dia kembali menutup mata, mengingat kembali pusat sakitnya pagi ini. Ailen cukup ingat. Dia yang menangis semalaman karena melihat foto pernikahan Kenzo yang masih terpasang rapi di setiap dinding kamar. Ailen tidak tahu itu ruangan apa, tetapi dia bisa melihat jelas setiap kenangan Kenzo dan mantan istrinya. Pasalnya, Ailen bisa melihat senyum lebar di bibir Kenzo saat pria itu mengenakan jas dan berdampingan dengan wanita cantik.
Ailen yang mengingat semuanya hanya mampu tersenyum miris. Seisi ruangan hanya berisikan sebuah kenangan. Sedangkan foto pernikahan mereka hari ini, tidak terpasang sama sekali. Ailen juga masih cukup ingat dengan ekspresi Kenzo saat mereka melakukan pemotretan setelah pernikahan.
Ailen menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dadanya mulai terasa sesak setiap kali mengingat hal itu. Hingga rasa mual kembali menjalar, membuat Ailen langsung menyingkap selimut dan berlari ke arah kamar mandi. Di sana, Ailen mengeluarkan semua isi dalam perut. Padahal, beberapa hari ini dia tidak merasakan mual sama sekali.
Ailen membasuh mulut dengan air. Tangannya meraih tisu di sebelah dan mengusap bibir. Setelahnya, Ailen menatap cermin besar yang ada di depannya. Di sana, terlihat mata Ailen yang begitu sembab. Mungkin efek dia yang menangis semalaman.
“Ailen, kamu sudah bangun?”
Ailen yang mendengar hal itu pun langsung mengalihkan pandangan. Dengan tenang, dia melangkah ke arah pintu kamar dan membukanya. Di sana, sudah terlihat Santi yang tersenyum manis dan berdandan cantik.
“Kamu baru bangun?” tanya Santi lagi.
“Iya … Tante.” Ailen sempat menghentikan ucapan, bingung harus memanggil wanita di depannya dengan sebutan apa.
Santi malah tersenyum lebar dan mengelus pipi Ailen lembut. Dia berkata, “Jangan panggil tante, Sayang. Panggil saja Mama. Kan sekarang kamu juga sudah menjadi anak mama.”
Mama. Ailen tersenyum tipis. Andai Kenzo bisa memperlakukannya sebaik mamanya. Ailen yakin, dia pasti akan menjadi wanita paling bahagia di dunia.
“Kalau begitu, mama tunggu di bawah. Kita sarapan bersama,” ucap Sintia kembali.
“Iya, Ma,” jawab Ailen.
Santi menganggukkan kepala dan melangkah pergi. Ailen yang melihat pun segera masuk dan mengambil pakaian yang masih berada di koper. Semalam, Ailen hanya sibuk menangis dan lupa merapikan pakaian. Hingga dia mengambil pakaian asal dan menuju ke arah kamar mandi.
Lima belas menit, Ailen selesai mandi dan sudah menggunakan pakaian. Tanpa menunggu lama, dia segera menuju ke arah pintu kamar dan keluar. Rasanya tidak enak karena mereka semua sudah menunggu lama. Bahkan, Ailen sendiri tidak menggunakan make up sama sekali.
“Maaf, aku terlambat,” ucap Ailen, benar-benar tidak enak hati. Pasalnya, di sana ada kedua orang tua Kenzo yang ikut menunggunya.
Noah dan Santi tersenyum manis.
“Tidak apa. Sekarang kita makan saja. Setelah itu, kamu bisa ikut mama mengantarkan Vian ke sekolah,” ucap Santi dengan senyum lebar dan raut wajah ceria.
“Tidak perlu. Biar aku saja yang mengantarkannya. Mama pulang saja ke rumah,” sahut Kenzo cepat.
Ailen yang mendengar hal itu pun langsung mengalihkan pandangan dan menatap ke arah Kenzo. Pria itu tetap menunjukkan ekspresi yang sama. Datar dan dingin.
Sebenarnya kenapa?