Hening. Ailen menatap ke arah sang mama yang ada di depannya lekat. Sejak acara selesai, dia langsung naik ke lantai atas bersama dengan sang mama. Sedangkan papanya duduk di bawah bersama dengan Kenzo dan keluarganya. Entah apa yang dibicarakan, tetapi setahu Ailen, dia harus pergi dari rumah keluarganya hari ini juga.
Ailen menarik napas dalam dan membuang perlahan. Ada perasaan yang masih mengganjal dalam hatinya. Dengan tenang, dia bangkit dan melangkahkan kaki, menuju ke arah sang mama yang masih memasukkan satu per satu pakaian miliknya. Hingga dia yang sudah berada di belakang wanita itu pun menghentikan langkah dan mendekap lembut.
“Maafkan aku, Ma,” ucap Ailen dengan tulus. Dia masih merasa tidak enak dengan kedua orang tuanya. Mereka merawat Ailen dengan baik, memberikan pendidikan yang layak dan kehidupan yang baik. Sayangnya, Ailen malah membuat nama baik keluarganya menjadi tercoreng.
Bellona yang mendengar hal itu pun terdiam. Dia tidak langsung menyahut ucapan putrinya, tetapi dia juga tidak melanjutkan kegiatan. Raut wajahnya benar-benar sulit diartikan. Hingga dia meletakkan beberapa pasang pakaian ke dalam koper dan melepaskan dekapan. Tubuhnya membalik dan menatap ke arah Ailen berada.
“Ma, maafin Ailen. Ailen benar-benar minta maaf,” ucap Ailen lagi.
Bellona tersenyum tipis dan berganti menggenggam jemari putrinya lembut. “Kamu tidak perlu minta maaf, Sayang. Semua sudah terjadi. Mama juga sudah tidak marah dengan kamu. Lagi pula, sekarang Kenzo sudah menikahi kamu. Selain itu, ada hal yang harus lebih kamu perhatikan. Kandungan kamu. Jadi, kamu harus hidup dengan baik dan rawat bayi dalam kandungan kamu. Jangan terlalu banyak berpikir. Kalau kamu butuh bantuan mama, kamu bisa hubungi mama,” sahut Bellona dengan tenang.
Mendengar ucapan lembut sang mama, Ailen benar-benar dibuat tersentuh. Dia langsung berhambur, mendekap sang mama dengan cukup erat. Tangisnya benar-benar pecah saat itu juga. Dia membiarkan air matanya yang sejak tadi tertahan mengalir begitu saja. Riasan di wajahnya bahkan sudah diabaikan.
Bellona hanya diam, memilih mengelus punggung putrinya lembut. Dia tahu apa yang dirasakan putrinya kali ini. Menikah tanpa sebuah resepsi dan lamaran selayaknya pernikahan pada umumnya jelas membuat Ailen merasa terpukul. Apalagi dengan waktu pernikahan mereka yang begitu cepat. Hingga Bellona mengendurkan dekapan dan menatap ke arah putri semata wayangnya.
“Jangan menangis. Setelah ini, kamu harus ikut Kenzo ke rumahnya. Jadilah istri yang baik, Sayang,” ucap Bellona sembari mengusap air mata putrinya.
“Apa aku boleh pulang?” tanya Ailen di sela segukannya.
“Tentu saja, Sayang. Rumah ini terbuka untuk kamu,” jawab Bellona.
“Tapi ….” Ailen menghentikan ucapan, memasang raut wajah berpikir.
“Jangan pikirkan Papa. Papa juga sebenarnya tidak marah lagi dengan kamu. Hanya saja, Papa gengsi untuk bilang,” kata Bellona.
“Sudah, jangan banyak pikiran. Sekarang, lebih baik kita turun. Kenzo dan keluarganya pasti sudah menunggu,” lanjut Bellona ketika melihat putrinya akan kembali berucap. Dengan cepat, dia menutup koper dan menurunkannya.
Bellona menggenggam jemari putrinya dan keluar. Dengan tenang, keduanya menuruni satu per satu anak tangga. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Pasalnya, Ailen masih terpikirkan dengan nasibnya selanjutnya. Pernikahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya benar-benar membuat Ailen seakan berada di alam mimpi. Hingga keduanya berada di anak tangga terakhir dan segera menuju ke arah ruang tamu.
“Semuanya sudah siap,” ucap Bellona ketika sampai.
Kenzo dan keluarganya pun langsung bangkit. Ailen yang melihat semakin dibuat berdebar. Setelah ini, kehidupannya akan berbeda. Manik matanya mengamati orang tua Kenzo yang tampak bahagia dan menatapnya penuh kelembutan. Sayangnya, saat melihat Kenzo, Ailen merasakan hal berbeda.
Apa dia marah? Apa dia menyesal?
“Kalau begitu, kami pamit dulu. Lain kali, kami pasti akan ke sini lagi,” ucap Noah.
Bellona yang melihat Kenzo mengambil koper putrinya pun menahannya dan menatap lekat. “Sekarang Ailen sudah menjadi tanggung jawab kamu, Kenzo. Aku harap, kamu bisa memperlakukan dia dengan baik. Sayangi dia dan jaga dia. Jangan buat dia merasa sedih dan sakit,” ujar Bellona serius.
Kenzo yang mendengar pun hanya bergumam pelan dan menganggukkan kepala. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Dia malah melangkahkan kaki keluar. Ailen yang melihat pun menatap lekat dengan kening berkerut dalam.
Sebenarnya dia kenapa?
***
“Sekarang, ini adalah rumah kamu, Ailen. Jadi, jangan sungkan berada di sini,” ucap Santi—mama Kenzo.
Ailen yang mendengar hal itu pun hanya diam. Manik matanya mengalihkan pandangan, menatap ke arah rumah dengan dua lantai tersebut. Semua tersusun dengan sangat rapi dan indah. Barang-barang di dalamnya juga berada di tempat yang tepat. Hingga seorang anak kecil mendekat ke arah Santi, membuat pandangan Ailen beralih.
“Aku rasa kamu sudah pernah melihatnya. Jadi, anak ini adalah anak Kenzo. Namanya Meliviano. Kamu bisa memanggilnya Vian,” ucap Santi memperkenalkan.
Ailen tersenyum. Sejak kemarin, dia ingin menanyakan mengenai bocah kecil yang saat ini ada di depannya, tetapi selalu gagal. Mamanya tidak mengatakan apa pun dan papanya tidak mau berbicara dengannya. Sedangkan dengan Kenzo, Ailen takut untuk bertanya.
“Hai,” sapa Ailen dengan senyum lebar. Tangannya terulur, berharap putranya akan menyahut uluran tangannya.
Benar, kan? Melviano juga merupakan anak Ailen.
Melviano yang melihat terdiam sejenak dan mengulurkan tangan. Senyum di bibirnya terlihat begitu manis. Ailen sendiri menantikan saat tangan mungil itu menyentuh jemarinya, tetapi belum juga sampai, Kenzo sudah lebih dulu meraih jemari putranya. Dengan cepat, dia menarik Vian dan menatap lekat.
“Vian ikut dengan nenek dulu, ya. Ada hal yang harus papa bicarakan dengan kakak ini,” ucap Kenzo.
“Kenzo, kam—”
“Ma, bisa bawa Vian jalan-jalan dulu? Aku ada urusan dengan Ailen,” sela Kenzo cepat.
Santi yang mendengar hal itu terdiam sejenak, tetapi semenit kemudian dia membuang napas kasar dan berkata, “Jangan coba untuk melukai Ailen, Kenzo. Kalau kamu melakukannya, mama yang akan beri kamu pelajaran.” Setelah selesai mengatakannya, Santi langsung menggandeng Vian pergi.
Sedangkan Kenzo, dia menatap ke arah Ailen berada. “Ikut aku,” ucap Kenzo dengan tegas.
Ailen hanya diam dan menurut. Dia merasakan aura tidak bersahabat dari arah sang dosen. Dengan ragu, Ailen menatap punggung Kenzo yang ada di depannya. Jantungnya bahkan sudah bertalu dengan cukup keras, merasakan punggung tangan yang sudah membasah. Hingga mereka yang sudah berada di anak tangga terakhir pun segera menuju ke arah kamar.
Kenzo membuka pintu dan masuk. Manik matanya langsung disuguhi dengan kamar yang sudah dihias. Banyak kelopak mawar di atas ranjang. Ailen yang melihat pun terpana. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama karena Kenzo yang sudah menatapnya, membuat Ailen bungkam dan menelan saliva pelan.
“Aku mau kamu merahasiakan pernikahan kita, Ailen,” ucap Kenzo dengan tegas, membuat Ailen melebarkan kedua mata. “Aku tidak mau kalau sampai ada yang tahu mengenai hal ini, meskipun itu sahabat kamu. Jadi, kamu harus merahasiakan semuanya dari publik dan aku tidak akan memberikan toleransi kalau sampai hal itu terjadi,” lanjut Kenzo serius.