“Belajar yang pintar dan jangan nakal di sekolah ya, Sayang,” ucap Santi sembari mengusap puncak kepala cucu tunggalnya.
Melviano yang mendengar pun menganggukkan kepala. Bibirnya tersenyum manis, menunjukkan pipinya yang kian menggembul. Pandangannya mulai beralih, menatap ke arah Ailen yang berada tidak jauh darinya.
Ailen yang ditatap sedemikian dalam pun hanya mampu tersenyum tipis. Dia bingung harus melakukan apa dengan bocah di depannya. Ailen bingung, darimana dia harus mendekati putra sambungnya itu. Ada perasaan takut kalau nantinya bocah kecil itu tidak menerimanya.
“Ailen, sini,” ucap Santi dengan lembut.
Ailen tidak langsung melakukan apa yang sang mertua lakukan. Dia masih berpikir, tetapi hal itu hanya sejenak karena setelahnya dia mulai melangkahkan kaki. Ailen memang tidak pernah dekat dengan anak kecil. Dia juga tidak pernah berusaha untuk dekat, tetapi kali ini Ailen bertekad untuk dekat dengan Vian.
“Sayang, salim dulu dengan—”
“Kakak.”
Santi dan Ailen yang mendengar itu pun langsung mengalihkan pandangan. Di belakang mereka, terlihat Kenzo yang baru saja datang dan memasang raut wajah dingin. Tidak ada kehangatan sama sekali dari diri pria itu, membuat Ailen yang ada di sebelah Santi langsung terdiam.
Kakak? Apa aku tidak pantas mendapat gelar seorang ibu? Ailen benar-benar ingin menangis melihat tingkah Kenzo. Pria itu masih saja membencinya, tetapi sebisa mungkin Ailen menahan.
“Kenzo, kamu tidak bisa begini. Bagaimanapun, sekarang Ailen sud—”
“Akan jauh lebih baik dia memanggilnya kakak, Ma,” sela Kenzo dengan cepat. “Kalau begitu, aku antar Vian ke sekolah dulu. Aku juga harus ke kampus,” lanjut Kenzo, tepat ketika sang mama ingin menyanggah ucapannya.
Santi yang mendengar pun hanya diam, tidak jadi mendebat putra tunggalnya. Bukannya tidak peduli, tetapi Santi tahu, cucunya harus berangkat ke sekolah. Manik matanya menatap Kenzo yang sudah menarik Melviano ke dalam mobil.
Sedangkan Ailen, dia hanya diam. Manik matanya menatap ke arah Kenzo yang melangkah dengan tenang. Air matanya menggenang di pelupuk mata, menyadari alasan Kenzo melarang Vian memanggilnya mama. Ya, semua orang akan tahu mengenai pernikahan mereka kalau sampai ada yang mendengar bocah kecil itu dengan sebutan mama.
“Kamu yang kuat ya, Ailen. Nanti mama akan tegur dia,” ucap Santi.
Ailen yang mendengar pun langsung tersentak kaget. Dia menatap ke arah Santi dan menarik kedua sudut bibir. Sebisa mungkin, Ailen tetap bersikap biasa. Dia tidak mungkin menunjukkan kesedihannya di depan sang mertua.
“Sekarang lebih baik kita masuk. Kamu juga harus ke kampus, kan?” ujar Santi.
Ailen hanya menganggukkan kepala. Dia masih menahan perasaan sedih yang semakin menjalar. Hatinya benar-benar berusaha keras untuk bersikap biasa. Bahkan, perutnya mulai terasa sedikit mual.
“Ailen, kamu sudah memeriksakan kandungan ke dokter?” tanya Santi.
“Belum,” jawab Ailen singkat.
“Nanti, sepulang dari kampus, kamu ke rumah sakit, ya. Kamu periksakan dengan dokter. Ajak sekalian Kenzo. Kan kalian di kampus yang sama,” ucap Santi, membuat Ailen terdiam.
Mengajak Kenzo? Ailen hanya tersenyum simpul. Tidak mungkin dia mengatakan jika Kenzo tidak mau pernikahan mereka diketahui siapa pun. Ailen masih cukup tahu dan memiliki rasa takut. Dia tidak akan membuat masalah dengan mengatakan apa yang seharusnya menjadi rahasia mereka.
“Ailen, kamu mendengar mama, kan?”
Ailen tersentak kecil dan menganggukkan kepala. “Iya, Ma. Nanti Ailen ke rumah sakit,” jawab Ailen.
Tapi aku tidak akan membawa anakmu, Ma, batin Ailen.
***
“Terima kasih, Pak,” ucap Ailen sembari mengulurkan uang ke arah sang sopir.
Ailen membuka pintu dan keluar. Hari ini dia harus berangkat ke kampus menggunakan taksi. Mobil miliknya masih di rumah kedua orang tuanya dan Ailen belum berani untuk pulang. Dia takut kalau nantinya mendapatkan amukan dari sang papa. Pasalnya, mobil yang dinaiki bukanlah hasil jerih payahnya, tetapi uang dari sang papa.
Ailen melangkah lebar, menuju ke arah bangunan di depannya. Hari ini ada seminar yang harus dihadiri. Meski sebenarnya, Ailen tidak ingin datang karena ada Kenzo di dalamnya. Tapi karena kampus mewajibkan, Ailen mau tidak mau harus hadir.
Ailen segera menuju ke ruangan dimana acara akan segera dimulai. Namun, belum juga sampai di depan pintu, langkahnya mulai memelan. Manik mata yang semula menunjukkan semangat, secara perlahan mulai meredup. Wajahnya pun berubah menjadi sendu, menatap ke arah pasangan di depannya.
Sakit. Ailen kembali dihantam kenyataan ketika melihat kedekatan Kenzo dan Ciara yang terpampang jelas di depannya. Kedua tangannya mengepal sempurna, menunjukkan otot di lengan yang tampak jelas. Terlebih, Kenzo hanya diam saja ketika wanita di depannya mengusap sisa makanan di ujung bibir pria itu, membuat perasaan panas dalam hatinya kembali menjalar.
“Ailen, kamu kenapa Cuma berdiri?”
Ailen yang terkejut langsung tersentak kaget. Dia menatap ke asal suara dan mendapati Aruna sudah berada di sebelahnya. Entah sejak kapan gadis itu sudah datang.
“Kamu kenapa melihat mereka? Kamu cemburu?” tanya Aruna, menatap ke arah Ailen dan Kenzo secara bergantian.
Jelas aku cemburu. Aku yang istrinya tidak pernah bisa sedekat itu dengan suamiku sendiri, tapi wanita lain malah begitu dekat, batin Ailen. Namun, dia tidak mengatakan isi hatinya sama sekali. Ailen hanya mampu memendamnya seorang diri.
“Sudah, jangan dilihatin. Bagaimanapun mereka itu dosen kita. Jadi, aku harap kamu jangan terlalu menghalu ingin bersama Pak Kenzo. Kamu gak akan bisa memilikinya. Lebih baik sekarang kita masuk dan ikut acaranya,” ucap Aruna kembali.
Tapi aku sudah memilikinya. Hanya saja, tidak dengan hatinya. Hatinya masih bertaut dengan rumah yang lain, batin Ailen.
Ailen melangkahkan kaki, siap masuk. Namun, baru beberapa langkah, Ailen kembali berhenti. Dia masih diam, seakan memikirkan sesuatu. Sampai tiba-tiba, dia melepaskan genggaman di tangannya dan berlari.
“Ailen, kamu mau kemana?” tanya Aruna berteriak.
Namun, Ailen tidak menjawab sama sekali. Wanita itu masih terus berlari, mengabaikan usia kandungan yang masih muda. Kedua tangannya pun menutup mulut rapat, mengabaikan tatapan para mahasiswa lain yang kebetulan lewat di sebelahnya.
Ailen yang sudah sampai di kamar mandi pun langsung menuju ke arah wastafel, mengeluarkan semua isi dalam perut. Kedua tangannya bertumpu dengan pinggiran wastafel, berusaha untuk menopang tubuhnya yang semakin melemas. Pasalnya, semua yang dimakan pagi tadi langsung keluar begitu saja. Hingga tiba-tiba, seseorang memijat lehernya.
Ailen diam, memilih fokus untuk menenangkan perutnya yang masih mual. Cukup lama seseorang di belakangnya memijat, membuat Ailen merasa cukup baik. Dia yang sudah selesai pun membersihkan wastafel dan juga mulut. Sebelah tangannya terulur, mengambil tisu di sebelahnya.
“Terima kasih, Aruna,” ucap Ailen ketika seseorang di belakangnya mengambilkan tisu.
Namun, tidak ada jawaban. Ailen yang sudah merasa membaik pun menegakkan tubuh dan membalik badan. Tepat saat itu, kedua matanya melebar, melihat siapa yang ada di belakangnya.
“Pak Kenzo,” gumam Ailen.
Apa hatinya mulai terketuk dan peduli denganku? Ailen yang memikirkan hal itu pun tersenyum tipis. Meski pagi tadi hatinya disakiti cukup dalam, tetapi kali ini semua luka itu pun seakan sembuh secara perlahan.
“Aku rasa, lebih baik kamu pulang, Ailen. Aku tidak mau ada yang curiga dengan kandungan kamu. Kalau ada yang tahu mengenai hal ini, mereka pasti akan menanyakan siapa ayah untuk anak kamu dan aku tidak mau mereka tahu.”