Ailen melangkahkan kaki secara perlahan, menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Tidak ada semangat sama sekali di wajahnya. Bahkan, dia mengabaikan teriknya matahari kali ini. Ailen hanya ingin menenangkan diri sendiri, melupakan semua yang sudah Kenzo lakukan dengannya. Pasalnya, entah kenapa, Ailen merasa jika Kenzo sangat membencinya.
Ailen menghentikan langkah dan membuang napas kasar. Rasanya kesal, berjalan dari kampus menuju ke arah halte yang sudah entah keberapa. Bukannya Ailen tidak sabar menunggu bus yang datang, tetapi dia merasa kecewa dengan tingkah Kenzo hari ini.
Menjauhkan dari Melviano dan melarangnya datang ke kampus hanya karena Ailen yang mual dan muntah. Apa sebegitu takutnya Kenzo sampai harus melakukan semua itu?
Ailen memejamkan mata, membiarkan air matanya kembali mengalir dengan deras. Hidupnya benar-benar terasa hancur. Pernikahan yang semula dianggap suatu kebahagiaan dan keajaiban, tiba-tiba saja terasa seperti sebuah musibah. Tidak ada cinta dan kasih sayang di dalamnya.
“Sampai kapan aku akan merasakan sakit seperti ini, Tuhan?” tanya Ailen dengan diri sendiri.
Namun, sesakit apa pun, Ailen tidak pernah terpikir untuk meninggalkan Kenzo. Entah kenapa, meski sering disakiti, Ailen yakin pria itu akan mencintainya. Mungkin suatu saat. Hingga Ailen kembali mengayunkan kaki. Tidak ada yang bisa dikerjakan olehnya. Jadi, Ailen memilih untuk kembali ke rumah. Sampai sebuah mobil berhenti di sebelahnya, membuat Ailen mengerutkan kening dalam.
“Siapa?” tanya Ailen dengan diri sendiri. Dia menatap tajam ke arah mobil di sebelahnya, memastikan jika dia kenal dengan sang pemilik. Sayangnya, Ailen tidak jga melihatnya, membuat dia yang awalnya penasaran menjadi tak acuh. Ailen mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkah, benar-benar tidak peduli dengan apa pun.
“Ailen.”
Ailen yang baru saja mengangkat kaki pun menghentikannya. Dia mengalihkan pandangan, menatap ke asal suara. Kedua matanya langsung melebar ketika melihat pria yang duduk di dalam mobil tersebut.
“Kak Rayn,” panggil Ailen.
“Ayo masuk,” ajak Rayn, pria berkacamata dan berlesung pipi.
Ailen menganggukkan kepala dan menghapus air matanya kasar. Kedua sudut bibirnya pun langsung tertarik, membentuk senyum manis. Sebisa mungkin, dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya. Biarkan saja dia terlihat bahagia, mesti dalam hatinya, tidak ada kebahagiaan yang menyelimuti. Banyak tekanan yang membuat Ailen harus berusaha keras mengkhianati hatinya.
“Kamu dari mana? Kenapa sampai di sini?” tanya Rayn ketika Ailen sampai di dalam mobil.
“Dari kampus, Kak. Terus tadi mau nyari angkutan umum,” jawab Ailen, meraih sabuk pengaman dan mengenakannya.
“Mobil kamu kemana? Terus, kamu mau kemana emangnya?” Rayn menatap kembali wanita yang duduk di sebelahnya.
“Aku mau pul ….” Ailen menghentikan ucapan. Tidak mungkin dia mengatakan pulang. Pasalnya, rumahnya dan Kenzo benar-benar berbeda arah. Rayn akan curiga kalau Ailen mengatakan hal itu.
“Ailen, kenapa diam?” tanya Rayn, menatap ke arah Ailen semakin lekat.
“Ailen, kamu baru selesai menangis?”
Hah? Ailen yang sempat melamun dan memikirkan jawaban pun langsung tersentak kaget. Dia menatap ke arah Rayn heran. Kenapa pria itu bisa tahu kalau dia baru saja selesai menangis?
“Apa ada yang menyakiti kamu?” tanya Rayn sembari mengulurkan tangan dan menghapus air mata di sudut mata Ailen.
Ailen yang melihat tingkah Rayn pun langsung menghapus air matanya dan tersenyum canggung. Entah kenapa, dia tidak suka Rayn melakukan hal itu. Meski sudah lama mengenal pria itu, tetap saja rasanya aneh.
“Ini bukan air mata, Kak. Tadi aku di luar dan panas. Jadi, keringatnya sampai mana-mana,” ucap Ailen dengan cepat.
Jelas Rayn tidak percaya. Dia menatap ke arah Ailen curiga, tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak. Ailen tidak mau mengatakan dengannya. Itu artinya, gadis tersebut tidak ingin ada yang tahu mengenai masalahnya. Jadi, Rayn memilih menatap ke jalanan di depannya dan membuang napas kasar.
“Berhubung hari ini kamu tidak ada kerjaan dan kuliahnya sudah selesai, aku mau mengajak kamu ke suatu tempat,” ucap Rayn penuh semangat.
“Kemana?” tanya Ailen ragu.
“Makan. Aku lapar, Ailen.”
***
“Kak, kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Ailen ketika Rayn menghentikan mobil.
“Aku lapar dan ingin makan. Jadi, aku mampir ke sini. Sekalian mengobrol dengan kamu,” jawab Rayn dengan tenang.
Jujur, Ailen tidak cukup nyaman jika harus datang ke café kali ini. Meski berada di ujung kota dan terasa sejuk, tetap saja rasanya aneh karena suasananya yang sepi di siang hari. Tidak banyak yang datang ke tempat kali. Biasanya, para remaja datang di malam hari.
“Ayo keluar,” ajak Rayn.
Ailen menganggukkan kepala. Mereka sudah sampai di tempat ini. Jadi, mau tidak mau Ailen harus menurut. Dengan tenang, dia melepas sabuk pengaman dan keluar. Kakinya melangkah, bersama dengan Rayn yang masih setia di sampingnya. Dulu, dia datang ke tempat itu bersama dengan Aruna.
“Selamat datang, Kakak,” sapa sang kasir.
Ailen dan Rayn hanya tersenyum lebar. Mereka langsung memilih menu, menyebutkan makanan dan minuman yang dipesan. Hingga mereka yang sudah selesai pun menuju ke arah bilik yang sudah diberitahukan.
“Kamu tidak merasa keberatan kan aku ajak makan ke sini?” tanya Rayn, menatap ke arah Ailen.
Ailen menggelengkan kepala dengan bibir tersenyum tipis. Meski sebenarnya dia keberatan, tetap saja dia mengatakan tidak. Bagaimanapun dia harus menjaga perasaan Rayn. Selain itu, tidak mungkin juga kan kalau pria itu akan berbuat aneh dengannya?
“Aku sudah lama ingin ke sini, Ailen. Jadi, pas ada kamu, aku semakin senang karena akhirnya ada teman,” ucap Rayn kembali,
“Dulu, aku ke sini dengan Aruna,” sahut Ailen. Rasanya senang mengingat dia dan Aruna yang berebut tempat duduk dengan pengunjung lainnya. Sahabatnya itu juga sangat menyukai tempat ini. Sayangnya hari ini Aruna sedang ada urusan dan tidak bisa datang bersama dengannya.
“Kalau begitu, kamu tidak asing dengan tempat ini, ya? Terus, makanan apa yang kamu suka di sini?” tanya Rayn, menatap ke arah Ailen semangat,
Ailen yang baru saja duduk pun menatap ke arah Rayn, siap menjawab pertanyaan pria itu. Namun, baru saja membuka mulut, Ailen terdiam. Manik matanya menatap ke arah pendopo yang ada di depannya. Kedua matanya menatap lekat, memperhatikan dengan cukup seksama. Dia takut jika penglihatannya salah, tetapi semuanya benar. Ailen tidak salah melihat, membuat kedua tangannya mengepal dengan sempurna.
“Bukannya itu Pak Kenzo? Kenapa dia ke sini dengan Bu Ciara? Apa mereka berkencan?” tanya Rayn, seakan meminta pendapat.
Ailen mengalihkan pandangan, menatap ke arah lain dan membuang napas perlahan. Kamu harus tahan, Ailen. Kamu tidak boleh lemah, batin Ailen, mencoba menahan air mata yang siap jatuh. Sayangnya, hal itu tetap saja tidak berguna. Air matanya tetap menggenang di pelupuk mata, membuat Ailen mendongakkan kepala. Hingga makanan yang mereka pesan datang, membuat Ailen yang semula menahan tangis, kali ini menahan perut yang terasa mual.
“Aku ke kamar mandi dulu, Kak,” ucap Ailen ketika merasa tidak tahan.