PART. 6 CERITA MASA LALU

1027 Kata
"Nama saya Arunita, dipanggil Runi. Kalau Arupita, itu nama ibu saya, Tuan." Runi menjelaskan tanpa bertanya, kenapa Zhai tahu nama ibunya. "Arupita Sarmila adalah ibumu?" Zhai sangat terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengan putri dari wanita yang pernah ia cintai semasa SMA. "Iya. Tuan kenal dengan ibu saya ya? Eh bagaimana mungkin, Tuan orang kota. Ibu saya orang desa." Runi bertanya, namun menjawab sendiri pertanyaannya itu. Runi tidak yakin kalau Zhai yang orang kota, mengenai ibunya yang selama ini tinggal di desa. "Saya juga berasal dari desa." Zhai mengucapkan nama desa tempat tinggalnya dengan kedua orang tua angkat "Itu desa tempat tinggal kakek dan nenek saya. Setelah menikah ibu saya pindah ke desa lain. Tidak pernah kembali lagi ke desa tempat tinggal nenek dan kakek saya." Runi lancar saja bercerita tentang ibunya. Tidak segan, meski Zhai majikannya. Dan mereka baru saja bertemu. "Ibumu menikah dengan siapa?" Pertanyaan yang lama terpendam akhirnya Zhai ungkapkan "Almarhum Pak Yunus. Usia ayah saya dua kali lipat usia ibu saya. Ayah tiri saya baik sekali. Tapi sayang usianya tidak panjang. Ayah saya meninggal saat usia saya sepuluh tahun. Kemudian almarhumah ibu saya menikah lagi dengan Pak Endi. Ayah tiri saya ingin menikahkan saya dengan juragan Tono. Ibu saya idak setuju, jadi menyuruh saya datang ke Jakarta menemui Bik Amah." Runi kembali bercerita dengan lancar tentang hidupnya. "Jadi kamu anak yatim piatu?" Tanya Zhai, karena tidak menyimak cerita awal Runi tadi. Yang mengatakan kalau suami pertama ibunya, adalah ayah tirinya. Bukan ayah kandung. "Saya tidak tahu apakah ayah saya masih hidup, atau sudah meninggal." Runi menggelengkan kepala. Teringat dengan ucapan ibunya, agar ia jangan mencari ayahnya. Jangan sampai kehadirannya merusak rumah tangga ayahnya. "Ayah kandung? Jadi Pak Yunus itu bukan ayah kandung kamu?" Zhai terkejut mendengarnya. Jadi siapa ayah kandung Runi. "Bukan. Tapi dia sangat menyayangi saya dan ibu." Mata Runi berkaca-kaca, teringat kedua orang yang menyayangi dan sangat ia sayangi. Pak Yunus seperti ayah kandung baginya. Jika ibunya tidak mengatakan, kalau Pak Yunus adalah ayah tiri, Runi tidak akan tahu hal itu. Karena perlakuan lembut dan penuh kasih sayang Pak Yunus kepadanya. "Ayah kandung kamu di mana?" Zhai melanjutkan mencari tahu tentang wanita yang pernah ia cintai. "Tidak tahu." Kepala Runi menggeleng. "Kenapa tidak tahu?" Rasa penasaran membuat Zhai melanjutkan pertanyaan. Pertanyaan yang sudah ada sejak hampir dua puluh tahun lalu. "Ibu saya tidak mau mengatakan siapa nama ayah kandung saya. Kata ibu jangan mengganggu kehidupan beliau. Jika kami bertemu, beliau pasti menyadari kalau saya adalah anak ibu. Karena wajah ibu dan saya seperti pinang dibelah dua." Runi mengatakan sesuai seperti yang ibunya sampaikan. "Oh." "Tuan kenal dengan ibu saya? Eh, Tuan bukan ayah saya kan. Kata Ibu, Ayah saya seumuran Pak Yunus. Jadi tidak mungkin Tuan adalah Ayah saya." Dengan berani Runi menatap wajah Zhai. Tidak ada rasa takut dalam diri Runi kepada Zhai. Karena wajah Zhai yang tampan. Persis artis Cina atau artis Korea. "Tuan orang Korea ya?" Runi memperhatikan mata sipit Zhai. "Tuan mirip aktor Cina yang saya suka. Itu yang main drama perempuannya alien." Runi terus menatap wajah Zhai. "Saya tidak kenal artis itu. Saat SMA saya dan ibu kamu satu kelas dari kelas satu sampai kelas tiga. Ibumu tidak datang ke sekolah lagi setelah ujian selesai. Saya hanya mendengar kalau ibumu menikah. Kemudian saya pergi ke Jakarta, dan tidak pernah mendengar kabar ibumu lagi." Zhai tidak tahu kenapa bisa mengobrol cukup lama dengan Runi. Padahal mereka baru saja bertemu. "Oh, Tuan temannya ibu. Kenapa cerita hidup saya jadi sambung menyambung seperti ini." Runi menggaruk kepalanya "Kapan ibu kamu meninggal?" Tanya Zhai ingin tahu kapan ibu Runi meninggal. "Baru seminggu yang lalu. Setelah pengajian tujuh hari ibu, saya pergi ke Jakarta." "Ibumu sakit apa?" Tanya Zhai semakin ingin tahu tentang Arupita. "Saya tidak tahu pasti, ibu sakit apa. Ibu tidak mengeluh sakit. Ibu itu wanita yang sangat kuat." Air mata jatuh di pipi Roni karena mengingat ibunya. Zhai menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan perlahan. Zhai tidak menyangka, begitu cepat Arupita pergi. Padahal usianya belum 40 tahun. Karena Arupita seumuran dengannya. Menatap Runi, seperti tidak ada bedanya dengan menatap Arupita. Mereka sangat mirip. Bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya, rambutnya, senyumnya, bola matanya, dan juga cara bicara. Runi dan Arupita seperti dua orang kembar. Sungguh ibu dan anak yang sangat mirip sekali. Arupita benar. Siapapun yang mengenal Arupita, pasti menganggap Runi sangat mirip dengan ibunya. "Tuan, masih ada yang ingin ditanyakan lagi?" Tanya Runi. "Tidak. Kamu boleh pergi sekarang." Zhai menggelengkan kepala. "Terima kasih, Tuan. Saya permisi." Runi berdiri dari duduknya. Lalu melanjutkan pekerjaan menyapu. Runi membersihkan rumah dari dapur, lalu ke ruang makan, kemudian ke ruang tengah. Sekarang ingin membersihkan ruang tamu dan teras. Walau rumah Zhai cukup luas, tapi Runi tidak mengeluh. Runi sudah terbiasa membersihkan rumahnya. Bik Amah masuk ke ruang tengah. "Tuan, sarapan sudah siap." Bik Amah memberitahu Zhai, kalau sarapan sudah siap. "Iya." Zhai bangkit, lalu melangkah ke ruang makan. Di atas meja sudah terhidang sarapan, dan minuman. Zhai duduk untuk menikmati sarapan. Pikirannya masih memikirkan tentang Arupita, cinta pertama yang sulit terlupakan. Saat SMA, Arupita yang cantik memang menjadi idola di sekolah. Sosok gadis yang nyaris sempurna dengan penampilan bak artis India. Arupita juga berasal dari keluarga kaya. Ayahnya juragan perkebunan. Kebunnya luas, karyawannya banyak. Orang kampung banyak yang mencari nafkah di kebunnya. Arupita tidak sombong. Selalu ramah kepada orang. Zhai tidak menyangka, kalau Arupita dihamili oleh pria, yang tidak mau di sebutkan orangnya. Zhai juga tidak menyangka, kalau Arupita akan secepat ini pergi dari dunia. Yang lebih tidak menyangka lagi, putri Arupita bekerja di rumahnya. Sebuah kebetulan yang sungguh tidak disangka. Zhai teringat kalau Runi akan kuliah. "Bik!" Zhai memanggil Bik Amah. "Iya, Tuan." Bik Amah keluar dari dapur. "Runi jadi mau kuliah?" Zhai menatap Bik Amah. "Insya Allah, Tuan." Bik Amah mengangguk. "Dia ingin kuliah di mana?" Zhai ingin tahu, Runi akan kuliah di mana. "Kami belum membicarakannya, Tuan. Insya Allah hari ini, Saya mau bawa dia ke pasar untuk membeli pakaian. Lalu mencari informasi tentang tempat kuliah yang terdekat dari sini." Bik Amah menceritakan rencananya bersama Runi hari ini. "Kalian pergi pakai mobil saja. Minta antar Pak Arsad." "Tuan tidak diantar ke kantor?" "Saya menyetir sendiri saja." "Terima kasih, Tuan." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN