Setelah sarapan. Zhai berangkat ke kantor. Sedang Runi, dan Bik Amah sarapan. Pak Arsad sudah lebih dulu sarapan. Karena biasanya mengantar Zhai ke kantor. Hari ini Zhai membawa mobilnya sendiri ke kantor.
Zhai terus teringat cerita Runi tentang ibunya. Tidak pernah mengeluh apapun yang terjadi pada dirinya. Tidak pernah bertemu orang tuanya, padahal jarak kampung mereka tidak begitu jauh. Orang tuanya tidak mau menerima Runi sebagai cucunya. Karena terlahir tanpa ayah kandung.
Zhai tidak menyangka kalau hidup Arupita akan seperti itu. Sebagai gadis, Arupita nyaris sempurna. Bagaimana bisa punya hubungan dengan pria tua. Zhai penasaran siapa sebenarnya pria tua yang menghamili Arupita. Tidak ada tempat untuk bertanya hal itu. Karena Arupita menyembunyikan sampai menghembuskan nafas terakhir. Sungguh kuat Arupita memegang rahasia. Karena tidak ingin mengganggu rumah tangga pria itu. Zhai berusaha melupakan Arupita. Karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan.
Di dapur rumah Zhai.
"Kamu ingin masuk universitas mana?" Bik Amah bertanya pada Runi.
"Yang paling dekat dengan rumah ini saja. Agar hemat biaya," jawab Runi. Maksud Runi hemat biaya, bisa pergi ke kampus dengan jalan kaki saja. Tidak perlu ongkos naik taksi atau naik ojek.
"Tidak ada yang dekat dengan rumah ini. Kamu bisa naik motor?" Tanya Bik Amah.
"Tidak bisa. Kalau naik sepeda bisa." Runi menggelengkan kepala.
"Terlalu lelah kalau naik sepeda. Kamu harus belajar naik motor. Nanti dibikinkan SIM." Bik Amah ingin Runi belajar naik motor.
"Saya tidak berani." Kepala Runt mengeliling. Runi tidak berani mengendarai motor.
"Kenapa tidak berani?" Bik Amah bertanya penasaran. Pasti ada sesuatu yang membuat Runi tidak berani mengendarai motor.
"Teringat terus dengan korban kecelakaan.. Saya melihat bagaimana kondisinya. Sejak itu tidak berani belajar naik motor." Runi menceritakan kenapa takut menaiki motor. Karena pernah melihat, orang naik motor menjadi korban kecelakaan.
"Naik motor itu harus hati-hati. Kalau sudah hati-hati, tetap kecelakaan, itu sudah takdir. Sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi kalau takut belajar, akan menghambat kemajuan kamu nantinya." Bik Amah memberi pengertian kepada Runi. Agar jangan terlalu cemas. Agar tidak menghambat kemajuan Runi. Lebih mudah kalau bisa membawa motor sendiri.
"Nanti deh saya pikirkan, Bik. Untuk saat ini saya masih belum berani." Runi tetap menolak untuk belajar naik motor.
"Tidak apa apa. Ayo habiskan makan kamu. Setelah ini kita berangkat ke pasar. Lalu mencari informasi tentang perguruan tinggi yang mau kamu masuki. Nanti malam kita ke rumah Pak RT. Melaporkan kalau kamu tinggal di sini." Bik Amah tidak memaksa Roni, untuk belajar naik motor lagi. Bik Ameh yakin, nanti Roni akan mau belajar.
"Terima kasih banyak atas bantuannya, Bik." Runi nggak karena tidak didesak lagi.
"Ibu kamu adalah sepupuku. Meski saudara ibumu banyak yang menghindarinya, tapi aku menyayangi ibumu. Karena itu aku juga menyayangi kamu. Jangan segan menceritakan apapun kepadaku. Anggap saja aku ini sebagai ibu angkat mu." Bik Amah menatap Runi dengan lembut. Bik Amah merasa yang di hadapannya adalah Arupita, karena wajah Runi bagai pinang dibelah dua dengan ibunya.
"Terima kasih, Bik."
Mereka membereskan bekas makan. Lalu bersiap pergi ke pasar. Runi masih menggunakan pakaian milik Bik Amah. Sedikit kebesaran, tapi lebih baik daripada tidak memakai pakaian.
Mereka bertiga berangkat ke pasar. Pak Arsad yang mengantarkan dengan naik mobil Zaki. Zaki memiliki tiga mobil di rumahnya. Dua buah mobil yang sering Zaki gunakan. Satu mobil khusus untuk membawa Bik Amah pergi ke pasar untuk belanja. Jadi saat ini Pak Arsad membawa mobil yang biasa dipakai ke pasar.
Di sebuah rumah di Jakarta.
"Bagaimana bisa kalian kehilangan Runi. Kalian itu ada enam orang, masa tidak bisa menangkap seorang gadis yang tidak mengerti apa-apa." Tatapan tajam Pak Endi berikan kepada anak buahnya. Pimpinan anak buahnya adalah, Erik, adiknya sendiri.
"Dia seperti belut. Kadang muncul kadang menghilang. Padahal ini pertama kali dia ke Jakarta. Dia juga tidak tahu alamat yang akan dituju. Tidak mungkin dia pergi ke alamat itu, karena catatan alamatnya ada di tasnya yang kami ambil. Dia tidak punya uang, dia pasti kehausan dan kelaparan. Kami akan mencarinya lagi. Mungkin sekarang dia jadi gembel di jalanan." Erik mengatakan hal itu dengan yakin. Runi tidak pernah ke Jakarta. Pasti akan putus asa. Karena tidak memiliki apa-apa.
"Kalian harus menemukan dia. Cari sampai dapat. Juragan Tomo tidak ingin aku gantikan Runi dengan perempuan lain. Pokoknya harus Runi yang menjadi istrinya. Cari di sepanjang jalan, di mana kalian terakhir kali melihatnya." Perintah Pak Endi.
"Baik. Kami akan segera mencarinya lagi." Erik berdiri dari duduk, diikuti oleh lima temannya.
"Pergi sekarang." Perintah Pak Endi dengan suara keras.
"Baik. Kami pergi."
Enam orang suruhan Pak Endi bergegas keluar dari rumah. Lalu masuk ke mobil, dan pergi dari rumah itu.
Rumah itu milik Juragan Tono. Yang dipinjamkan kepada Pak Endi, karena harus mencari Runi. Pak Endi memiliki hutang yang cukup banyak kepada Juragan Tono. Ia meminjam uang itu untuk kebutuhan judi online. Kebun milik ibu Roni sudah ia jual semua. Pak Endi berani menjual kebun, karena tidak ada yang membela ibu Runi. Arupita seperti dibuang oleh keluarganya. Tidak ada yang menghiraukannya. Karena itu Pak Endi berani bertindak semaunya.
Saat ini, rumah Arupita juga sudah ia tawarkan untuk dijual. Tapi belum ada peminatnya. Rumah itu adalah pemberian orang tua Arupita saat menikah dengan Pak Yunus. Meski membenci Arupita, tapi orang tuanya memberikan rumah dan kebun untuk penghasilan anaknya. Walau setelah itu, tidak ada lagi hubungan antara orang tua dan anak. Aripita seperti dibuang begitu saja. Karena itulah Pak Endi berani menjual harta yang ditinggalkan oleh Arupita. Pak Endi yakin, Runi tidak mungkin berani kepadanya. Targetnya sekarang, harus mendapatkan Runi segera. Karena juragan Tono jatuh cinta kepada Runi. Runi akan dinikahi sebagai istri ketiga. Juragan Tono ingin anaknya berwajah India seperti Runi. Karena itulah, Juragan Tono yang usianya 40 tahun, tergila-gila pada Runi.
"Kamu pasti akan aku dapatkan, Runi. Tidak ada orang yang bisa melindungi kamu. Ibumu sudah mati, keluargamu tidak peduli. Kamu berada di bawah kuasaku!"
Pak Endi yakin, pasti Runi akan ia dapatkan. Dan hutangnya kepada juragan Tono dianggap lunas.
Sementara itu di kantor Zhai.
Zhai menerima tamu teman-teman kuliahnya. Ada dua pasang suami istri. Mereka adalah sahabatnya sejak kuliah. Redi dan Diah. Serta Husin dan Sinta.
"Aku salut padamu. Usaha kamu semakin maju. Produksi pabrik mu semakin beraneka ragam. Aku melihat gerobak yang menjual menu dari usahamu semakin banyak. Model kecil semangat besar, ternyata bisa membangkitkan usaha kecil menjadi usaha yang besar." Redi memuji usaha Zhai yang semakin besar
"Semua tergantung orangnya. Zhai pintar dalam promosi. Pintar mengatur situasi. Apa yang terlihat biasa saja, menjadi tampak istimewa di tangannya." Husin merasa bangga dengan pencapaian Zhai.
"Perjuangan pasti ada hasilnya. Kita jangan pernah berhenti melakukan inovasi. Kreativitas sangat penting dalam usaha kita. Jangan puas hanya dengan satu produk saja. Harus dicoba produk lain juga." Zhao menjelaskan kiatnya dalam membangun usaha. Usaha yang semakin bertambah aneka macam produksinya.
"Usaha kami terlihat lebih mentereng dari usahamu. Tapi aku yakin penghasilannya lebih besar penghasilan kamu." Redi juga memiliki perusahaan.
Mereka semua tertawa.
"Itu karena usaha aku bisa menjangkau sampai ke seluruh Indonesia. Dengan target pasar ekonomi menengah ke bawah. Selain itu ada juga yang dibuat untuk menengah ke atas. Dari hal itu produk kami menyentuh seluruh rakyat Indonesia. Sedang produk kamu hanya diminati oleh orang kaya saja." Zhai menjelaskan cara kerja di pabriknya. Mereka berusaha melayani target pasar seluruh tingkatan ekonomi.
"Benar. Skin care produksi Redi dan Diah harganya lumayan mahal. Untuk ekonomi menengah ke bawah pasti berpikir dulu untuk membeli." Sinta mengatakan hal itu, Karena produksi Redi dan Diah harganya ratusan ribu.
"Ya memang dibuat untuk menengah ke atas. Promosinya cukup mahal juga. Karena memakai public figure." Diah membenarkan ucapan Sinta.
"Kamu sudah kaya raya, tapi penampilanmu masih sama seperti dulu. Kemeja lengan panjang yang tangannya digulung, dan celana kain. Tidak terlihat seperti bos besar. Tapi wajah kamu, tidak terlihat bertambah tua. Masih sama seperti dulu." Husin menatap lekat wajah sahabatnya. Wajah Zhai tidak terlihat bertambah tua.
"Itu hanya perasaanmu saja. Tiap tahun aku juga seperti kalian bertambah umur, bertambah kerutan di wajah." Zhai tertawa pelan.
"Eh, apa kamu pernah bertemu dengan mantan istrimu?" Tanya Diah pada Zhai.
"Iya. Beberapa bulan ini kami kerap bertemu." Zhai menjawab dengan jujur.
"Apa dia operasi plastik y.a. Aku lihat hidungnya tambah mancung." Diah bergumam mengomentari tentang penampilan Levina.
"Iya benar. Aku kaget saat bertemu dengan dia. Perubahannya sangat tampak. Tidak mungkin hidungnya mancung begitu saja. Aku yakin dia operasi plastik." Sinta merasa yakin, Levina melakukan operasi plastik pada hidung. Karena hidung Levina terlihat lebih mancung dari sebelumnya.
"Kalau dia memiliki uang. Terserah dia ingin melakukan apa. Yang penting tidak merugikan kita," ujar Redi.
"Apa kamu tidak ada rencana balikan dengan dia?" Sinta bertanya kepada Zhai. Zhai belum menikah sampai sekarang, Sinta pikir, Zhai belum bisa move on dari Levina.
"Aku tidak percaya lagi pada wanita untuk membangun komitmen. Biarlah begini saja, hidup bebas tanpa ada yang mengatur."
"Apa kamu tidak ingin memiliki anak?" Tanya Husin.
"Iya, Zhai. Kamu sebatang kara di dunia ini. Apa kamu tidak ingin memiliki keturunan yang meneruskan nama kamu." Redi menatap wajah Zhai.
"Entahlah. Aku tidak ingin memikirkan hal itu. Aku sedang menikmati masa yang menyenangkan saat ini."
"Kalau kamu tidak membangun keluarga. Lalu kamu berusaha giat untuk siapa. Siapa yang akan mewariskan apa yang kamu punya saat ini." Tanya Husin.
Zhai belum memikirkan tentang hal itu. Ia memang gila kerja sejak SMP. Untuk saat ini tidak terpikirkan, apa yang menjadi pertanyaan Husin.
*