Subuh Runi bangun. Lalu menatap sekeliling kamar. Kamar yang cukup luas untuknya. Ukuran 3 x 5 meter. Ada kamar mandi di dalam ruangan tidur. Ada satu lemari pakaian. Dan ada jendela yang menghadap ke taman di belakang rumah. Saat ini jendela di buka, hawa dingin masuk ke dalam ruangan.
Runi merasa bersyukur, karena masuk ke dalam mobil yang tepat. Mobil milik tuan yang akan menjadi majikannya. Runi juga tidak mengerti kenapa ia bisa membuka pintu mobil tersebut. Padahal menurut Tuan, pintu mobilnya dikunci semua. Dan saking lelahnya sampai tertidur di lantai mobil. Terbangun saat mobil berhenti setelah sampai di tujuan.
Runi merasa Allah maha baik. Mempertemukannya dengan orang yang ia cari. Runi berharap, ayah tirinya tidak berani mencari ke sini. Dan melepaskannya dari segala tuntutan. Runi merasa ayah tirinya tidak berhak atas dirinya. Ayah tirinya baru lima tahun menikah dengan ibunya. Runi merasa tidak dekat dengan ayah tirinya yang ini. Pak Endi memang lebih muda dari ayah tirinya yang sudah meninggal. Namun Pak Yunus adalah ayah tiri terbaik bagi Runi. Pak Yunus sangat menyayangi ibunya dan dirinya. Pak Yunus bekerja di kebun kakeknya. Pak Yunus tidak pernah menuntut apa-apa. Hanya menjalani hidupnya sesuai ketentuan yang Allah berikan kepadanya.
Pak Yunus lebih tua dua puluh tahun dari ibunya. Pria yang sudah 10 tahun menduda. Karena berpisah dari mantan istrinya. Pak Yunus tidak memiliki anak dengan istri pertama. Menikah dengan ibu Runi juga tidak memiliki anak. Bersedia menikahi Arpita untuk menjadi suami Arpita, karena Arpita hamil. Setelah menikah mereka pindah ke kampung lain. Di mana ada kebun kakek Runi juga di sana yang harus diurus Pak Yunus. Meski berawal tidak baik, tapi akhirnya Arpita luluh menerima Pak Yunus. Karena Pak Yunus memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Sampai akhirnya meninggal dunia karena sakit yang ia derita.
Akhirnya setelah ayahnya empat tahun meninggal, ibunya menikah lagi dengan Pak Endi yang juga bekerja di kebun milik kakek nya. Sifat Pak Erdi dan Pak Yunus sangat berbeda. Runi merasakan hal itu. Runi membujuk ibunya agar berpisah dengan Pak Endi. Entah kenapa ibunya menolak. Ibunya mengatakan menunggu waktu yang tepat. Ternyata waktu yang tepat itu, saat ibunya menghembuskan nafas terakhir. Memberikan Runi kesedihan yang mendalam. Namun sebelum meninggal, banyak pesan ibunya tinggalkan. Baik tentang ayah kandungnya, maupun tentang apa yang harus Runi lakukan. Ibunya mempersiapkan untuk menyusul bibinya ke Jakarta. Runi akan bekerja di tempat bibinya bekerja. Runi harus pergi jauh dari jangkauan ayah tirinya. Karena ayah tirinya memaksa Runi untuk menikah.
Karena itulah, begitu selesai pengajian tujuh hari meninggal ibunya. Runi langsung pergi dari rumah. Runi tidak peduli dengan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh ibunya. Yang penting ia selamat dari kejaran ayahnya. Ternyata lari dari ayahnya tidak segampang yang ia bayangkan. Ia di kejar sampai ke Jakarta. Meskipun dengan susah payah, dan harus kehilangan barang bawaannya, dengan izin Allah, Runi bisa tiba juga di rumah tempat tinggal bibinya degan cara tak terduga.
Runi bersyukur, meskipun hari kemarin menjalani hari yang sangat tegang. Tapi Allah sudah menolongnya, sehingga ia bisa sampai ke rumah ini. Walau dengan cara tak terduga. Seperti mendapat sebuah keajaiban. Sekarang ia pikirkan, bagaimana kalau ayah tirinya datang ke rumah ini. Dan memaksa ia untuk kembali ke kampung. Apakah ia mampu menolak. Runi berharap Allah memberikan jalan untuk nya, agar terbebas dari tuntutan ayah dirinya. Sejak menikah dengan ayah tirinya, kebun yang diwariskan kakeknya dulu kepada ibunya, dijual oleh Pak Endi. Pak Yunus mengurus dengan baik kebun itu, tapi Pak Endi justru menjualnya. Ibunya tidak bisa minta bantuan kepada keluarga. Karena sudah dibuang dari keluarga. Hanya Bibi Amah yang bersedia membantu.
Kini Runi tinggal menunggu apa yang akan terjadi. Runi berusaha untuk melupakan pikiran buruk di kepala.
Runi sudah salat subuh. Ia mengenakan pakaian dan mukena milik Bik Amah. Setelah itu Runi keluar dari kamar menuju dapur.
"Tiap pagi tugasmu, menyapu ruang tamu, ruang tengah, dan ruang makan. Bersihkan semua perabot yang ada. Setelah tuan sarapan, dan kita sarapan. Lalu tuan berangkat ke kantor. Kita pergi ke pasar. Kita ambil uang di ATM, itu uang yang dikirimkan ibumu beberapa bulan ini. Untuk membeli pakaian baru buat kamu."
"Baik, Bik."
"Runi, Tuan minta kamu menghadapnya." Pak Arsad memberitahu Runi, kalau Zhai ingin bicara dengan Runi.
"Menghadap di mana?"
"Di ruang tengah."
"Baik, Paman."
"Ayo, Paman antarkan."
Runi mengikuti langkah Pak Arsad untuk menemui Zhai.
Tiba di ruang tengah.
"Silakan duduk." Zhai minta Runi untuk duduk.
Runi ingin duduk di lantai.
"Duduk di atas." Zhai terkejut melihat Runi duduk di lantai. Di rumahnya pembantu tidak perlu berlaku seperti itu. Mereka hanya harus menghormati dan menghargainya, tanpa perilaku yang terlalu berlebihan.
"Duduk di sini, Runi." Pak Arsad menunjuk sofa.
Runi duduk di hadapan Zhai dengan kepala menunduk.
"Saya permisi, Tuan." Pak Arsad pamit.
"Iya."
Pak Arsad meninggalkan mereka berdua. Perasaan Runi berdebar.
"Kalau bicara dengan orang, angkat wajahmu."
Perlahan Runi mengangkat wajahnya. Zhao terkejut sekali menatap wajah Runi. Wajah yang tidak pernah ia lupakan.
"Arupita!"
*