Zhai tidak pernah berpikir, ia bekerja keras, akan diwariskan kepada siapa semua hartanya. Sementara ia tidak memiliki siapa-siapa. Kakek dan neneknya sudah meninggal, begitu juga dengan ayah dan ibu angkatnya. Ia hidup sebatang kara. Tidak tahu kabar ibu yang melahirkannya, apalagi kabar pria yang menghamili ibunya. Zhai tidak ingin mencari mereka. Karena mereka yang meninggalkannya. Zhai menganggap mereka tidak pernah ada di dunia. Karena tidak pernah memikirkan kehidupannya.
"Kamu masih muda, Zhai. Kamu memiliki modal yang kuat untuk menarik wanita. Carilah wanita yang bisa kamu cintai dan mencintai kamu. Tidak semua wanita seperti Levina. Masih banyak wanita baik. Contohnya istriku ini, dia istri yang mau mengikuti aku jatuh dan bangun." Husin menggenggam telapak tangan Sinta. Cinta yang dijalin saat masih kuliah, begitu kuat sampai saat ini. Mereka sudah 10 tahun menikah, dan sudah memiliki dua orang anak. Yang pertama anak lelaki, usianya hampir 9 tahun. Yang kedua perempuan, usianya 6 tahun. Hidup mereka sudah sempurna sebagai rumah tangga dan keluarga. Mereka begitu saling pengertian, saling mendukung, tak pernah terlihat ada pertengkaran. Walaupun ada hanya perdebatan biasa saja.
"Iya, istriku juga wanita yang baik. Kami sudah 10 tahun berumah tangga, meski kadang ada pertengkaran, tapi harus dihadapi dengan pikiran dingin. Jangan sampai hati terbakar. Dan membuat bubar."
Redi dan Diah juga sudah menikah 10 tahun. Hanya lebih dulu 3 bulan daripada pernikahan Husin dan Sintia. Mereka juga memiliki anak dua. Yang pertama perempuan, usianya juga hampir 9 tahun, yang kedua laki-laki, usianya 7 tahun. Keluarga mereka hidup bahagia. Meski ada pertikaian kecil tapi tidak berimbas parah pada rumah tangga. Rumah tangga mereka tetap berjalan dengan bahagia sampai saat ini.
"Apa ada gadis yang mau dengan aku yang sudah tua begini?" Zhai tertawa menyebut dirinya sendiri sudah tua. Karena sebentar lagi usianya 40 tahun. Usia yang sudah cukup tua baginya.
"Kamu belum 40 tahun. Belum terlalu tua. Masih banyak gadis yang menyukai kamu. Kamu harus mulai memikirkan masa depan. Masa depan bukan hanya tentang harta. Tapi juga tentang keluarga. Hidup akan terasa sepi tanpa ada keluarga." Husin memberikan nasehat kepada sahabatnya. Husin tidak ingin sahabatnya hidup tanpa keluarga.
"Aku belum ingin memikirkannya." Kepala Zhai menggeleng.
"Kalau kamu berniat menikah, bingung mencari calonnya. Sampaikan saja kepada kami, nanti akan kami perkenalkan kepada beberapa wanita, yang menurut kami pantas untukmu." Sinta menyanggupi untuk mencarikan Zhai pasangan hidup.
"Kalian buka jasa Mak comblang ya?" Zhai tertawa mendengar ucapan Sinta.
Semua tertawa mendengar pertanyaan Zhai.
"Mak comblang khusus untuk kamu. Gratis!" Seru Sinta.
Mereka kembali tertawa bersama.
Mereka memang bersahabat sejak kuliah. Sampai sekarang setelah memiliki usaha. Mereka memang tidak setiap hari bertemu dan berkomunikasi. Namun selalu mengabari jika ada sesuatu. Zhai merasa nyaman bersahabat dengan empat orang ini. Para istri mendukung persahabatan para suami. Mereka sering pergi berenam saat Zhai masih bersama Levina. Sekarang mereka hanya pergi berlima. Sebulan sekali meluangkan waktu untuk bertemu dan makan bersama. Zhai mengenal anak-anak mereka. Anak-anak mereka memanggil Zhai dengan sebutan Koko. Karena tampilan Zhai yang terlihat muda dan memiliki darah Cina.
Sudah belasan tahun mereka bersahabat. Tidak pernah ada percekcokan dan pertengkaran. Mereka saling memberi dan saling menerima. Meski kedua sahabatnya sudah menikah, mereka tetap bersahabat, sekarang ditambah dengan kedua istri sahabatnya. Levina karena kesibukannya, tidak bisa dekat dengan keempat sahabat Zhai. Sedang sahabat Zhai, mereka memiliki usaha yang dikelola bersama suami dan istri. Jadi mereka selalu bersama-sama. Ada yang punya usaha dalam bidang kosmetik. Ada yang punya usaha di bidang pakaian. Dan Zhai sendiri di bidang makanan ringan dan minuman. Zhai berharap persahabatan mereka tidak akan pernah putus. Tetap akur selamanya, sampai kapanpun juga.
Sementara itu, Runi, Bik Amah, dan Pak Arsad tiba di pasar. Bik Amah mengambil uang yang ada di ATM, di depan pasar. Untuk membeli pakaian, dan sendal buat Runi. Lalu Bik Amah membawa Runi berkeliling pasar. Di sebuah toko pakaian mereka berhenti. Bik Amah ingin membelikan pakaian untuk di rumah tujuh lembar, dan tiga lembar pakaian yang bisa dibawa keluar. Untuk kuliah nanti, pakaian akan dibeli setelah akan masuk kuliah. Waktunya masih cukup lama.
Setelah selesai membeli pakaian dan sendal. Mereka pergi ke perguruan tinggi yang paling dekat dengan rumah mereka. Mereka mencari informasi tentang apa yang diperlukan saat ingin masuk kuliah. Mereka juga mencari informasi tentang jurusan apa saja yang tersedia. Setelah semua informasi didapat, mereka segera pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang. Runi terkejut melihat anak buah ayah tirinya, yang berkeliaran di jalan dengan naik motor. Jantung Roni berdebar. Runi yakin mereka sedang mencari dirinya. Jika mereka masih mencari di jalanan, berarti mereka tidak menyangka kalau ia sudah berada di tempat tujuan.
"Bik, itu orang suruhan ayah tiriku. Mereka pasti masih mencari ku. Mereka mungkin tidak menyangka kalau aku sudah sampai di tujuan. Karena alamat rumah tertinggal di dalam tas yang mereka rebut dariku." Runi menunjuk orang suruhan ayah tirinya.
"Oh. Banyak juga orang suruhan ayah tirimu. Apa yang membuat ibumu mau menikah dengan dia." Bik Amah merasa heran, kenapa ibu Runi mau menikah dengan Pak Endi. Jelas kelihatan kalau ternyata Pak Endi bukan orang baik. Karena bisa tega ingin menjodohkan Runi dengan juragan Tono. Sedang juragan Tono sudah memiliki dua istri.
"Keadaan kampung kurang aman bagi janda. Karena itu ibu menerima lamaran Pak Endi. Kelihatannya orangnya baik, gagah, dan ganteng. Tapi ternyata di balik kebaikannya, ada tujuan yang lain menikahi ibu. Dia menguasai semua harta ibu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu hanya diam saja. Yang terpikir oleh ibu hanya menyelamatkan aku dari pernikahan yang tidak aku inginkan." Suara Runi bergetar saat menceritakan itu. Kemudian air mata meleleh di kedua pipinya. Runi sedih teringat ibunya. Hidup mereka sangat bahagia, saat Pak Yunus masih ada. Tapi menderita saat hidup bersama Pak Endi. Hanya awalnya saja bahagia, kemudian Pak Endi keluar sifat aslinya. Hal yang membuat Runi dan ibunya menderita.
"Ibumu sangat mencintaimu. Karena itu mengatur segalanya sebelum tiada. Mungkin ibumu sudah tahu punya penyakit yang sulit disembuhkan. Karena itu mempersiapkan dengan baik masa depanmu." Bik Amah mengusap punggung Runi. Karena mereka berdua duduk di jok belakang. Pak Arsad duduk sendirian menyetir di depan.
"Iya. Andai ibu masih hidup, aku tidak akan pergi meninggalkan kampung itu. Aku akan menjaga ibu selamanya. Tidak apa jika aku harus bekerja keras." Runi tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, andai ibunya masih hidup. Tidak apa jika ia harus bekerja keras menafkahi ibunya. Karena selama ini ibunya yang sudah menafkahinya.
"Takdirmu ada di sini. Allah sudah mengatur semuanya. Ikhlaskan kepergian ibumu. Agar dia tenang di alam sana."
"Iya, Bi. Terima kasih."
*