Tiba di rumah dengan selamat. Runi langsung mencoba pakaian dan sendal yang dibeli. Semuanya pas di tubuh Runi. Runi bahagia sekali mempunyai baju dan sendal baru.
"Apa kamu ingin potong rambut? Rambutmu panjang sekali. Sampai ke pinggang." Bik Amah menatap rambut Runi yang panjang sampai ke pinggang. Rambutnya dikepang satu oleh Runi. Menurut bibi, zaman sekarang jarang ada wanita yang rambutnya sepanjang itu. Agak ribet dalam mengurusnya.
"Tidak, Bik. Hanya aku potong untuk merapikan saja. Tapi tidak akan pernah aku potong pendek. Ibu lebih suka aku rambut panjang seperti ini. Persis sama seperti rambut ibu juga. Sama dengan rambut nenek. Itu kata ibu, karena aku tidak pernah bertemu dengan nenek dan kakek. Aku tidak tahu bagaimana wajah mereka. Aku juga tidak tahu apakah nenek dan kakek masih hidup atau sudah meninggal. Karena selama ini, aku merasa tidak punya keluarga. Ibu melarang aku mencari nenek dan kakek. Karena merasa sudah menganggap kami bukan lagi keluarga." Runi bicara panjang lebar. Bik Amah teringat ibu Runi juga begitu kalau bicara. Runi benar-benar jelmaan ibunya. Mereka seperti saudara kembar. Sayang sekali ibu Runi cepat sekali pergi. Meninggalkan dunia ini. Padahal ibu Runi, wanita yang sangat kuat. Bisa menanggung saat diasingkan keluarganya. Hanya hidup dengan suami dan putrinya.
"Sabar, Runi. Kamu harus lapang d**a menghadapi semua ini. Meski mereka menolak kamu bagian dari keluarga, tapi darah tidak akan berdusta. Ada darah mereka mengalir di tubuhmu. Kamu harus ikhlas menerima semuanya. Agar perasaanmu lega. Jangan pernah ada dendam kepada siapapun, yang sudah melukai perasaan kamu dan ibumu. Ikhlaskan saja apa yang terjadi. Yakinkan diri kebahagiaan akan menghampiri." Bik Amah membesarkan perasaan Tuni. Agar jangan merasa sedih atas apa yang sudah terjadi. Keluarga tetaplah keluarga, meski mereka menganggap tidak ada.
"Iya, Bik." Runi berusaha tersenyum. Saat ini Runi hanya ingin memenuhi keinginan ibunya.
"Ayo, kita masak untuk makan siang." Bik Amah mengajak Runi masuk ke dapur. Untuk memasak makan siang. Mereka akan memasak yang sederhana saja. Karena yang makan hanya mereka. Zhai tidak pernah pulang makan siang.
"Tuan pulang makan siang?" Tanya Runi ingin tahu, apakah Zhai kan pulang makan siang.
"Tidak pernah. Tuan itu hanya sarapan dan makan malam di rumah. Makan malam juga jarang di rumah. Karena biasanya makan keluar bersama temannya." Bik Amah menceritakan apa yang dilakukan Zhai saat waktunya makan.
"Tuan katanya berasal dari kampung nenek dan kakek." Runi mengatakan apa yang diceritakan Zhai padanya.
"Iya. Makam orang tua angkatnya ada di sana. Kehidupan tuan lebih keras daripada kamu. Dia tidak mengenal ibu dan ayahnya. Sejak bayi diasuh oleh nenek dan Kakek. Setelah lulus SD, diangkat anak oleh saudara neneknya, karena mereka tidak memiliki anak. Hidup tuan penuh perjuangan, sampai akhirnya meraih kesuksesan." Cerita Bik Amah tentang masa kecil Zhai hingga sekarang. Bik Amah tahu perjuangan Zhai.
"Tuan belum menikah ya?" Tanya Runi. Karena tidak melihat ada gambar pernikahan di rumah Zhai.
"Enam tahun lalu tuan menikah. Hanya bertahan tiga tahun. Sudah berpisah tiga tahun." Bik Amah mengungkapkan tentang perjalanan rumah tangga Zhai.
"Oh. Apa tidak ingin menikah lagi?" Runi penasaran kenapa Zhai tahan menduda cukup lama.
"Belum datang jodohnya. Kalau sudah datang pasti dia menikah." Bik Amah yakin akan hal itu. Pria tampan seperti Zhai, pasti akan datang jodohnya. Walau harus menunggu lama.
"Semoga cepat datang jodohnya. Jadi di rumah ini bisa rame kalau ada anak tuan. Tidak sepi seperti ini." Runi merasakan kesepian di rumah Zhai. Karena tidak bisa keluar rumah untuk mengenal tetangga. Tidak seperti di kampung, tiap sore pergi ke lapangan, menonton orang latihan bola voli. Runi juga ikut bermain bola voli. Anak-anak ramai juga bermain di sekitar lapangan. Ada yang main bola, main sepeda. Keseruan yang mungkin tidak akan ia temukan di kota.
"Iya. Kadang aku merasa bosan juga seperti ini setiap hari. Bukan bosan karena banyak pekerjaan, tapi bosan karena tidak ada pekerjaan." Bik Amah mengungkapkan rasa bosan, karena rumah sepi. Jika pekerjaan selesai, tidak ada yang dilakukan selain tidur.
"Malah untung dong, Bik. Tidak harus lelah karena banyak pekerjaan. Ada teman tuan yang sering datang ke sini tidak, Bik?" Runi ingin tahu hal itu. Apakah Zhai orang yang biasa bergaul. Atau justru orang yang lebih suka sendirian.
"Ada. Tuan cukup banyak temannya. Jadi kadang ada yang mampir ke rumah."
Zhai memang orang yang senang menjalin pertemanan. Apalagi jika pertemanan bisa menjadikan peluang bisnis.
"Berarti tuan gaul."
"Namanya pengusaha makanan. Mulai usahanya dari berjualan di pinggir jalan. Pasti banyak kenalan dan langganan. Tuan tidak berubah dari dulu. Masih seperti itu saja penampilan nya. Satu yang bibit tidak suka dari Tuan, jadi suka main perempuan setelah bercerai. Walaupun tidak pernah membawa perempuan-perempuan itu ke rumah ini."
"Kenapa tidak pernah dibawa ke rumah?" Nada penasaran terdengar dari suara Runi. Runi bingung ke mana Zhai membawa perempuan itu, kalau tidak dibawa ke rumah.
"Aku tidak tahu. Kalau teman biasa saja biasanya dibawa ke rumah. Kalau teman perempuan yang seperti itu, mereka ketemuan di tempat luar saja." Bik Amah bercerita dengan suara pelan.
"Teman perempuan seperti itu yang bagaimana?" Runi tidak mengerti, dengan perempuan macam apa yang disebutkan oleh Bik Amah.
"Teman perempuan yang hanya untuk bersenang-senang." Bik Amah menjelaskan.
"Bersenang-senang bagaimana?" Runi semakin bingung.
"Tuan itu duda. Tidak punya istri. Tapi ingin menyalurkan hasrat biologisnya. Ya harus dengan perempuan-perempuan seperti itu." Bik Amah menjelaskan lebih terang lagi.
"Hah! Maksudnya itu bagaimana?" Runi masih bingung.
"Ya, begitu."
"Begitu bagaimana, Bibi. Saya penasaran."
"Bagitu. Berhubungan tanpa ikatan."
"Berhubungan tanpa ikatan. Maksudnya tidak menikah?" Tanya Runi.
"Iya."
"Apa salahnya berhubungan tanpa ikatan. Yang penting tidak melakukan hubungan suami istri."
"Kamu tidak mencerna ucapan bibi. Kalau tuan bersama perempuan itu untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Berarti mereka berhubungan suami istri?"
"Hah!" Runi melongo. Runi tidak percaya Zhai yang terlihat sebagai pria baik-baik. Melakukan sesuatu yang melanggar agama seperti itu.
Tiba-tiba tubuhnya bergidik. Runi tidak bisa membayangkan apa yang Zhai lakukan dengan para wanita itu. Sebuah hubungan tanpa status pernikahan adalah zina.
"Aduh. Berarti tuan banyak punya anak dari para wanita itu." Runi membayangkan berapa orang anak Zhai dari para wanita yang bersamanya.
"Tidak. Karena hanya untuk kesenangan, mereka melakukannya tentu dengan pencegahan. Kamu tidak pernah mendengar hal seperti ini?"
"Di kampung mana ada yang seperti itu, Bik. Biasanya terjadi pada orang yang saling mencintai tapi belum bisa menikah. Entah karena tidak dapat restu orang tua, atau belum punya biaya untuk menikah. Tapi untuk kesenangan aku tidak pernah mendengar hal seperti itu. Itu kan zina, dosa besar. Hih, kenapa Tuan melakukan itu. Padahal dia kaya raya, tampan dan gagah sekali, tidak mungkin tidak direstui oleh calon mertua. Tuan pasti gampang kalau ingin mencari istri."
"Tuan punya pertimbangan sendiri, sehingga setelah bercerai belum ingin mencari istri. Kita tidak bisa ikut campur terlalu dalam. Kita hanya bawahan yang punya hak untuk melihat saja, tidak punya hak untuk mengatur dia."
"Tapi dia melakukan dosa. Apa kita tidak boleh memberitahu dia. Kalau kita menyayangi dia, kita harus mencegah dia berbuat dosa. Tentu kita tidak ingin dia masuk neraka."
"Dalam pekerjaan, kita punya hal yang tidak bisa kita langgar. Kita tidak boleh mengatur kehidupan pribadi majikan. Walau Bibi sangat mengharapkan yang terbaik untuk Tuan. Bini hanya bisa mendoakan. Semoga terbuka hati Tuan, agar dapat hidayah, dan mulai melakukan kewajiban sebagai orang beragama."
"Tuan punya segalanya. Gagah, ganteng, pintar, kaya raya. Apa dia tidak ingin bersyukur dengan apa yang dia miliki saat ini. Apa dia tidak ingin meminta, agar semua ini menjadi miliknya selamanya. Harusnya Tuan bersyukur, bukannya mencari kesenangan yang mendatangkan dosa."
"Harusnya begitu. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita tidak bisa mengatur hidupnya. Hanya bisa mendoakan saja. Semoga terbuka hatinya, dan semoga mendapat hidayah dari Allah."
"Ih ternyata kelakuan Tuan lebih parah daripada ayah tiriku. Main perempuan hanya untuk kesenangan. Gemes aku mendengarnya."
"Tapi Tuan tidak memaksakan. Dia mencari yang mau sama mau saja."
"Mau sama mau, atau dipaksa itu sama-sama dosa zina, Bibi. Berarti pengetahuan Tuan tentang hak agama Nol sama sekali, sehingga tidak tahu kalau hal itu dosa."
"Sudahlah kita jangan membicarakan Tuan lagi. Selesaikan memasak, makan, lalu istirahat. Nanti sore kamu harus menyetrika baju tuan. Kamu bisa menyetrika kan?"
"Bisa. Setiap minggu saya menyetrika."
"Alhamdulillah."
*