9. Membungkam Mantan

1617 Kata
Jenie menghampiri tasnya yang teronggok di lantai seperti benda tak berguna. Tas yang kemarin ia tinggalkan sebelum sempat memasukkan semua baju-bajunya. “Bagaimana bisa ini di sini?” tanyanya seraya menoleh pada Rama yang berdiri di belakangnya. “Aku menyuruh seseorang mengambilnya. Bawa ke kamarmu,” perintah Rama. Dahi Jenie berkerut samar. “Tunggu, apa maksudmu? Kamarku?” tanyanya. “Jangan pura-pura bodoh. Sudah kukatakan kau akan tinggal denganku mulai detik ini bahkan setelah menikah,” ucap Rama tanpa ekspresi berarti meski sekilas arah pandangnya mengarah pada atas perut Jenie teringat dia melon yang menggantung itu. Jenie tak bisa berkata-kata. Mereka sudah membicarakan ini sebelumnya hingga dengan pasrah dibawanya tasnya menuju kamar yang akan jadi kamarnya. Namun, ia menyadari sesuatu dan mencoba melihat isi tasnya. “Kenapa bajuku hanya ini?” tanyanya mendapati hanya ada dua potong baju dalam tas. “Itu sudah cukup. Setelah menikah aku akan membelikanmu,” jawab Rama. Jenie kembali hanya bisa diam. Apa dia benar-benar memenuhi kewajibannya sebagai suami nanti? batin Jenie. Rama membawa Jenie ke lantai atas dan menunjukkan kamar Jenie. “Mulai hari ini, ini kamarmu. Aku sudah menyuruh orang membersihkannya,” ujar Gama seraya membuka pintu kamar tersebut. Jenie memasuki kamar bernuansa putih itu dan mengedarkan pandangan. Luas kamar itu hampir sama dengan luas kamar Rama. “Ada satu hal lagi,” ucap Rama dan membuat Jenie menoleh padanya. “Mulai besok kau harus berhenti bekerja.” “A– apa? Berhenti bekerja? Kenapa aku harus melakukannya?” tanya Jenie bernada tak terima. Sebelumnya mereka tidak membahas mengenai masalah ini. “Aku tidak ingin ada orang lain di rumah ini dan menjadi celah sandiwara kita terbongkar. Kau harus berhenti bekerja dan mengurus rumah. Lagipula, akan sangat memalukan jika aku tetap membiarkanmu bekerja di perusahaan kecil itu,” jelas Rama. Mulut Jenie terbuka, terkejut dengan jawaban yang ia terima. Sama artinya dirinya hanya jadi babu di rumah Rama hanya saja, memiliki status sebagai istri. Rama melirik jam tangannya dan sudah saatnya ia pergi mengurus sesuatu. “Aku akan pergi. Terserah apa yang mau kau lakukan hari ini asal sebelum jam empat sore saat aku kembali, kau sudah ada di rumah dan menyiapkan aku makan malam.” Setelah mengatakan itu, Rama berbalik hendak meninggalkan kamar. Sampai tiba-tiba langkahnya terhenti saat suara Jenie terdengar. “Uang lima puluh juta itu, apakah aku boleh menggunakannya?” tanya Jenie dengan sedikit ragu. Rama terdiam sejenak kemudian menjawab, “Terserah. Uang itu milikmu.” Rama melanjutkan langkah setelah mengatakannya, pergi dari kamar meninggalkan Jenie yang terduduk di tepi ranjang. Jenie kembali mengedarkan pandangan dan merasa ini seperti mimpi. Bruk! Jenie menjatuhkan tubuhnya membuatnya berbaring menghadap langit kamar barunya. Untuk saat ini ia mengesampingkan kerugian yang didapatnya di kemudian hari karena saat ini yang ada di pikirannya adalah, menemui ibu Deri dan membungkamnya dengan uang yang ia miliki. Tak ingin berlama-lama, Jenie bangun dari ranjang, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap bertempur dengan ibu Deri. *** Suasana pusat perbelanjaan cukup ramai mengingat ini adalah hari Minggu. Saat ini Jenie telah berada di sana berniat membelikan ibu Deri sesuatu. Namun, sebelum itu ia akan mengubah penampilannya lebih dulu. Dan di sini lah Jenie sekarang, tampak memilih sepatu bermerek setelah sebelumnya membeli baju harga jutaan. “Honey, bagaimana menurutmu?” Tanpa sengaja Jenie mendengar suara seorang wanita. Namun, bukan itu yang membuatnya menoleh ke arah sumber suara melainkan karena mendengar suara Deri setelahnya. “Itu sangat cocok untukmu, Sayang. Sepatu apapun yang kau pakai, selalu membuatmu terlihat sempurna.” Bibir Jenie terkatup rapat mendengar dan melihat Deri mengatakan kalimat itu. Ia tak mengira akan dipertemukan dengan Deri di sana bersama wanita yang pasti memiliki hubungan dengannya. Dan wanita itu adalah, atasan Deri. Selama beberapa detik bibir Jenie bergetar. Harusnya ia menyadarinya sejak awal. Alasan Deri memutuskannya pastilah karena lebih memilih wanita itu. Dibanding wanita itu, tentu dirinya hanya seperti butiran pasir yang tidak berharga. Sekarang, ia telah menemukan titik terang yang membuatnya mengambil satu keputusan. Tanpa sengaja Deri melihat Jenie. Posisinya saat ini berada beberapa meter dari tempat Jeni berdiri dan ia melihat Jenie tampak melamun. Sudut bibir Deri terangkat menciptakan seringai tipis. “Saatnya balas dendam,” ucapnya dalam hati. “Sayang, bisa kau membantuku?” ucap Deri pada kekasihnya. “Ya? Ada apa, Honey?” “Kau lihat perempuan di sana?” Deri menunjuk arah belakang Lisa, nama kekasihnya. “Bisa kita mengerjainya? Dia adalah wanita gila yang tergila-gila padaku. Wanita yang pernah kuceritakan padamu waktu itu.” Lisa menoleh, mengarah pandangan pada tunjuk tangan sang kekasih dan mengamatinya dari kepala hingga kaki. “Wanita yang kelihatan kampungan itu?” tanyanya. Jenie memakai rok plisket motif bunga di bawah lutut yang dipadukan dengan tanktop hitam dan blazer warna merah anggur. Rambut panjangnya ia cepol satu dan sedikit berantakan karena ia pergi ke sana naik ojek. Mungkin itu lah yang membuat Lisa melihatnya kampungan terlebih dengan sandal jepit yang menghiasi kaki Jenie. Padahal, Jenie sengaja memakai outfit simpel karena berpikir akan langsung memakai baju baru yang ia beli dan segera menemui ibu Deri. “Apa sudah selesai?” Jenie tersentak dari lamunan. Lisa telah berdiri di sebelahnya dan bicara padanya. “Aku tanya, apa sudah selesai? Jika sudah, menyingkirlah. Aku mau melihat sepatu di depanmu,” ucap Lisa kembali. Jenie hanya diam kemudian menggeser kakinya memberi Lisa tempat. Lisa menatap Jenie sinis dan mengatakan, “Kalau tidak punya uang, jangan sok beli sepatu di sini. Beli saja di pasar loak.” Ulu hati Jenie seolah dicubit. Ia mendengar ucapan Lisa dengan jelas. “Sayang, sudah temukan pilihanmu yang lain?” Deri yang sebelumnya sengaja bersembunyi, kini menunjukkan diri. Ia menghampiri Lisa dan berpura-pura sama sekali tak melihat Jenie. “Tentu Honey, bukankah ini bagus?” Lisa mengambil sepatu yang terpajang di depan Jenie dan menunjukkannya. “Harganya juga sangat murah, cuma lima juta,” imbuhnya yang sengaja melirik Jenie dengan tatapan mengejek. “Sangat bagus, Sayang. Sangat cocok dengan kaki jenjangmu,” timpal Deri. Kemudian perhatiannya tertuju pada Jenie. “Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya berpura-pura terkejut melihat Jenie. “Honey, kau kenal?” sahut Lisa yang juga berpura-pura. Keduanya tengah beradu akting untuk mempermalukan Jenie. “Tentu saja. Kami adalah teman lama. Aku hanya terkejut melihatnya di tempat ini. Aku hanya heran, apa yang dia lakukan di sini? Gajinya saja tak akan bisa digunakan membeli sepasang sepatu di tempat ini ” Jenie hanya diam tertunduk merasakan sakit luar biasa di ulu hatinya. Ia merasa benar-benar tak lagi mengenal Deri. Apa hubungan mereka selama ini benar-benar tak berarti bagi pria itu? Atau, apa karena sudah menemukan wanita yang lebih darinya hingga Deri bersikap seperti itu? Deri bahkan tak mengakuinya sebagai seseorang yang pernah spesial di hatinya. Apakah sebenarnya dirinya memang tidak pernah dianggap spesial? “Oh, benarkah? Pantas saja sejak tadi kulihat dia hanya memandangi sepatu-sepatu di sini. Mungkin dia sangat ingin membelinya tapi tidak mampu.” Tatapan mengejek kian terpancar di wajah Lisa. Dirinya benar-benar berpikir Jenie adalah wanita gila yang mengejar kekasihnya dan ia akan memberinya pelajaran. Seringai Deri kian terukir bengis. Ia pun semakin yakin bahwa Jenie hanya membohonginya kemarin. “Hon, bagaimana jika membelikannya satu? Anggap saja sebagai hadiah. Kasian, kan, kalau sampai dia memilih jalan pintas demi sepatu ini?” ucap Lisa bernada sindiran. “Sayang, untuk apa? Simpan saja uangmu. Biar dia sadar kalau tidak bisa beli barang mahal, jangan berani masuk ke sini. Harusnya dia beli di pasar atau memulung di tempat sampah.” Tepat setelah Deri mengatakan itu, Jenie mengambil asal beberapa pasang sepatu dan membawanya ke tempat p********n. Sontak yang dilakukan Jenie itu membuat Deri terkejut. Ia pun mengikuti Jenie guna memastikan apakah wanita itu hanya berpura-pura membelinya atau benar-benar membayar semuanya. Dan ia pun dibuat terkejut karena Jenie membayar semuanya dan pergi begitu saja setelah membayar. “Berapa total sepatu yang wanita tadi beli?” tanya Deri pada penjaga kasir. “Ah, wanita yang baru saja keluar tadi? Beliau membeli lima pasang sepatu dengan total, tiga puluh juta rupiah.” Sebulir keringat menetes melewati pelipis Deri. Ia dibuat terkejut. Tiga puluh juta? Bagaimana bisa Jenie punya uang sebanyak itu? Ia juga sempat melihat Jenie membawa paperbag lain yang sepertinya dititipkan di tempat kasir. Itu artinya, Jenie telah membeli sesuatu juga sebelumnya. Gemeretak gigi Deri terdengar. Ia merasa kalah. Ia pun berpikir, mungkinkah pria kemarin yang memberi Jenie uang? Karena tak mungkin Jenie memiliki uang sebanyak itu hasil kerjanya sendiri. “Sialan!” Di sisi lain, Jenie berjalan cepat keluar dari pusat perbelanjaan. Ia yang emosi dengan terpaksa membeli beberapa sepatu untuk membungkam mulut Deri. Dan sekarang, ia menyesal. Tiba-tiba langkah Jeni terhenti di tempat parkir. Kedua tangannya yang membawa beberapa paperbag terkepal kuat meluapkan emosi. Prak! Jenie membanting paper bag di tangan tak peduli belanjaannya itu akan rusak. Ia marah, kecewa, dan begitu sakit hati hingga tak terasa tetes demi tetes air matanya pun jatuh. Jenie mengusap air matanya kasar dan meracau tak jelas. “Apa yang kau lakukan?! Jangan menangis! Air matamu terlalu berharga untuk menangisi lelaki b******k seperti Deri!” Meski mengatakan itu, tapi Jenie tak dapat membendung air matanya. Tangisannya pun semakin jelas terdengar. Din! Din! Suara klakson terdengar, memberi isyarat pada Jenie agar menyingkir dari jalanan. Namun, Jenie tetap tenggelam dalam kesedihan dan tetap berdiri di tempat bahkan sekarang berjongkok dan menyembunyikan wajahnya. Din! Din! Pemilik mobil itu kembali membunyikan klakson hingga beberapa kali dan barulah membuat Jenie bangun berdiri. “Tak bisakah kau diam?! Apa kau tak lihat ada wanita menangis di sini?!” teriak Jenie memarahi pengemudi mobil itu. Ia melotot dengan matanyanya yang sembab menatap ke arah pengemudi mobil yang masih stay di dalam mobilnya. Sampai tiba-tiba raut wajah marahnya memudar saat melihat jelas siapa pengemudi mobil tersebut yang kini menatap lurus ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN