8. Apem dan Melon

1449 Kata
“Apa kau tuli? Buka celanamu.” Untuk kesekian kalinya Rama kembali mengatakan hal serupa. Sudah tiga kali ia mengatakan kalimat itu tapi Jenie tetap diam menatapnya dengan wajah bodoh. Jenie masih mengumpulkan akal sehatnya. Ia terkejut dan tak percaya Rama menyuruhnya membuka celana. Apa yang mau pria itu lakukan? Jenie menyilangkan tangan di depan paha atasnya seakan menutupi asetnya yang berharga. “Apa yang mau kau lakukan?!” ucapnya penuh kewaspadaan. Rama melangkah maju membuat Jenie melangkah mundur hingga punggungnya menabrak pintu. Tap! Satu tangan Rama menekan pintu di belakang Jenie membuat posisi kabedon yang membuat Jenie dapat melihat wajah Rama dengan jelas. Ia bahkan dapat merasakan embusan nafas hangat Rama menerpa wajahnya. “Buka celanamu. Biar aku melihatnya.” Kaki Jenie terasa lemas dengan tubuh merinding. Apa Rama benar-benar ingin melakukan sesuatu padanya? Tapi ia belum siap. Rama kian mendekatkan wajahnya hingga hidung mancungnya nyaris bersentuhan dengan hidung kecil Jenie. Sontak hal itu kian membuat Jenie gugup dan takut hingga reflek menendang perut bagian bawah Rama menggunakan lutut. “Agh!” Rama membungkuk memegangi perut bagian bawahnya. Sekali lagi Jenie berhasil membuatnya mengerang kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!” teriak Rama seraya mendongak dan menatap Jenie dengan tatapan nyalang. “Harusnya aku yang tanya, kenapa kau menyuruhku membuka celana?! Kau pasti ingin macam-macam padaku, kan?!” teriak Jenie kemudian mengambil jarak dari Rama. Ia tidak mau tiba-tiba Rama merengkuhnya dan melakukan yang iya-iya. Rama berusaha menekan rasa ngilu di bawah sana. Jika terjadi sesuatu dengan saluran kencingnya, ia akan membuat Jenie membayar dengan harga mahal. “Aku hanya ingin melihat pahamu yang tersiram, memastikannya baik-baik saja!” ucap Rama dengan menahan desisan akibat ngilu yang diderita. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri jika paha Jenie baik-baik saja. Jika paha wanita itu terluka sedikit saja karena ulah Cecyl, ia tak akan tinggal diam. “Siapa juga yang sudi dengan wanita tidak menarik sepertimu? Ada banyak wanita yang lebih menarik darimu bersedia membuka lebar kakinya untukku!” imbuh Rama kembali. Hati Jenie tersayat. Apakah dirinya setidak menarik itu? “Kalau begitu, kenapa tidak suruh mereka saja menggantikan posisiku? Suruh saja mereka yang jadi calon istrimu!” balas Jenie yang kesal karena ucapan Rama. Meski dirinya memang tidak menarik, tak seharusnya pria itu mengatakannya secara langsung. Rama terdiam. Ada satu alasan yang membuatnya memilih Jenie dan ia tidak akan mengatakannya. Pada akhirnya Rama mengalah, daripada terus berdebat dengan Jenie yang tak mau kalah. Ia membalikkan badan dengan tangan berkacak pinggang disertai hela nafas panjang. “Buka di kamar mandi. Aku akan mencarikanmu baju ganti,” perintah Rama. Setelah mengatakan itu, ia membalikkan badan dan melangkah keluar kamar. Jika tidak ingat akting Jenie cukup bagus, mungkin ia sudah menendang Jenie dari lantai dua rumahnya dan mengatakan pada kakeknya calon istrinya itu bunuh diri. Jenie berdiri dalam diam menatap pintu yang mulai tertutup setelah Rama keluar. Kemudian makian dan sumpah serapahnya pun terdengar. “Awas saja! Aku sumpahi kau akan tergila-gila pada tubuh yang tidak menarik ini!” sungut Jenie kemudian berjalan ke kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, Jenie masih menggerutu sampai tiba-tiba ia ingat bahwa ia belum mandi. Melihat bak mandi Rama yang besar juga shower yang tergantung, Jenie menanggalkan pakaiannya satu persatu dan berniat mandi. Namun, saat membuka celananya, ia dibuat terkejut karen pahanya tampak memerah. Saat menekannya dengan jari pun terasa perih. “Awh, sssh. Padahal tadi tidak terasa sakit,” desisnya. Beberapa saat kemudian, bunyi shower terdengar kala Jenie mulai membersihkan diri. Di luar, Rama kembali tanpa membawa apapun. Tujuannya keluar kamar bukan untuk mencarikan Jenie baju ganti. Ia hanya ingin mendinginkan kepala sejenak. Rama berjalan menuju walk in closetnya yang berada di sisi kanan tempat tidur berniat mencarikan Jenie baju. Di sana tidak ada pakaian wanita tapi, Jenie bisa memakai pakaiannya daripada terus memakai celana kotor dan basah itu. Tak berapa lama setelah itu, Jenie menyembulkan kepala lewat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Ia mencari-cari Rama dan tak melihatnya di manapun. Mengarah pandangan ke ranjang, ia juga tidak melihat pakaian yang katanya Rama sediakan. “Ck, apa dia membohongiku?” gumam Jenie. “Achu!” Jenie bersin karena mulai kedinginan. Ia membutuhkan baju ganti sekarang tapi tak mungkin memakai kembali pakaiannya. Ia bahkan hampir muntah mencium jejak bau sup di celananya. Pintu terbuka lebih lebar saat Jenie memutuskan keluar dari kamar mandi. Ia memegang kuat ujung handuk yang terselip di tengah dadanya menahannya agar tidak jatuh. Ia juga menarik ke bawah handuk putih itu karena hampir tak menutupi segitiga bermudanya. “Apa dia tidak punya handuk yang lebih besar?” gerutunya. Jenie berjalan mengendap khawatir tiba-tiba Rama kembali. Ia tidak tahu jika Rama berada di walk in closet dalam kamar itu. Sampai akhirnya langkah Jenie terhenti di depan nakas samping tempat tidur tempat ia menaruh ponselnya sebelum memasuki kamar mandi. Ia ingin melihat jam tapi, tanpa sengaja ia menjatuhkan ponselnya. Tepat di saat itu Rama keluar dari walk in closet dengan membawa baju ganti untuk Jenie, tersampir di tangannya dan tiba-tiba jatuh saat matanya menangkap pemandangan menyilaukan. Ia melihat Jenie membungkuk mengambil sesuatu di lantai membuatnya melihat pemandangan yang menggoda syahwat. Jenie yang merasa mendengar sesuatu dan merasakan kehadiran orang lain, menoleh dan mendapati Rama berdiri tanpa melepas pandangan darinya. Seketika jeritannya pun terdengar memenuhi ruangan. *** “Aaaaa!” Teriakan Jenie teredam bantal. Ia berteriak dengan memeluk bantal Rama teringat apa yang terjadi sebelumnya. “Memalukan sekali! Memalukan sekali!” teriak Jenie dalam hati. Meski Rama bersikap biasa saja seperti tak terjadi apa-apa saat setelah ia menjerit kaget, tapi ia yakin asetnya telah ternoda oleh mata duda itu. Jenie perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Wajahnya tampak merah hingga telinga dengan bibir bergetar. Deri saja belum pernah melihat asetnya tapi asetnya kini telah ternoda oleh mata Rama. Jenie memejamkan mata dan kembali teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Setelah ia berteriak, Rama mengambil pakaian yang jatuh di dekat kakinya lalu memberikannya padanya. “Pakai ini,” ucap Rama datar kemudian perhatiannya tertuju pada paha Jenie. Melihat arah pandang Rama membuat Jenie menutupi kue apemnya dengan kedua tangan. “Duduk,” perintah Rama. “A– apa?” Rama menarik tangan Jenie dan mendudukkannya di tepi ranjang. Jenie yang masih shock pun hanya bisa menurut tanpa melakukan perlawanan. Saat ini posisinya tidak menguntungkan. Tubuh telanjangnya hanya terbalut handuk yang bisa Rama tarik kapan saja dan akan mengekspos tubuhnya yang berharga. Rama mengeluarkan salep dari saku celananya. Salep yang sudah ia siapkan jika paha Jenie terluka. “Pakai ini,” perintah Rama seraya memberikan salep itu pada Jenie. Tangan kiri Jenie berusaha menutupi asetnya. Posisinya yang duduk membuat handuknya terangkat menyebabkan asetnya kian tereskspos. Sementara tangan kanannya berada di depan dadanya, menutupi sembulan dadanya yang tak tertutupi sempurna oleh handuk. Jenie menurunkan tangan dari depan dadanya untuk menerima salep yang Rama berikan. Namun, apa yang dilakukannya menyebabkan hal fatal karena kuncian handuknya terlepas membuat handuknya melorot. Sontak, dua melon kembarnya pun terekspos. Jenie menggeleng keras kala ingatan itu terlintas dengan sangat jelas. Sepertinya, ini adalah hari terburuk dan tersial yang ia alami. Tak ingin terus mengingat kejadian memalukan itu, Jenie memejamkan mata berharap segera terlelap. Di luar, Rama duduk di sofa dan mengarah pandangan pada pintu kamarnya di mana Jenie berada. Untuk malam ini ia membiarkan Jenie tidur di kamarnya sementara ia tidur di sofa. Sebenarnya masih ada satu kamar, tapi ia belum membersihkannya. Ia akan menyuruh orang untuk membersihkannya besok dan akan menjadi kamar Jenie setelah mereka menikah. Tiba-tiba ingatan apa yang terjadi sebelumnya terlintas, di mana ia melihat dua aset Jenie yang menggantung dengan jelas juga aset bawahnya yang sempat membuatnya menegang. Tak ingin pikiran kotor menyerang, Rama memutuskan segera memejamkan mata untuk beristirahat. Satu hari ini terasa begitu lama dengan banyak kejadian yang terjadi. Ia bahkan merasa lebih lelah dari biasanya. Rama kembali membuka mata. Ia tidak bisa tidur. Bukan karena memikirkan dua aset Jenie yang dilihatnya melainkan teringat mendiang istrinya dan membuatnya merasa bersalah. Keesokan harinya, Jenie bangun dengan tubuh lebih segar dari biasanya. Tidurnya terasa begitu nyaman dan nyenyak. Kasur Rama begitu nyaman dengan selimut tebal yang hangat. Kedua tangan Jenie terangkat melakukan peregangan. Rasanya, ia ingin tidur di kasur Rama selamanya. “Keluar dan beresi barang-barangmu.” Jenie tersentak kaget saat Rama membuka pintu kamar dan menyuruhnya keluar. Tunggu dulu, beresi barang? batinnya. Namun, belum sempat bertanya, Rama lebih dulu pergi. Jenie mendengus, turun dari ranjang kemudian menyusul Rama keluar. Namun, langkahnya terhenti saat menyadari baju Rama masih melekat di tubuhnya. Rama memberinya kemeja kebesaran dan celana pendek yang mengingatkan Jenie pada kejadian semalam. Jenie menggeleng cepat, ia harus mengenyahkan pikiran itu untuk kembali melanjutkan hidup. Lagipula, kelihatannya Rama juga tidak peduli. Jenie mengembuskan nafas kasar dan melanjutkan langkah sampai akhirnya ia dibuat terkejut setelah sampai di ruang tamu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN