10. Fitting Baju Pernikahan

1849 Kata
Pandangan Rama menatap lurus pada kedua mata Jenie yang tampak terkejut melihatnya. Ia kembali membunyikan klakson membuat Jenie terjingkat. Saat Jenie tersadar dari keterkejutannya. Ia segera memungut barang-barangnya dan berniat menumpang. “Biarkan aku masuk,” pinta Jenie dengan mengetuk kaca jendela mobil Rama. Rama hanya meliriknya lewat ekor mata dan membiarkan Jenie memasuki mobilnya. Setelah menutup pintu, Jenie membuang belanjaannya ke kursi penumpang. “Ayo jalan,” kata Jenie dengan mengusap jejak air mata. Rama diam tak bergeming membuat Jenie menoleh ke arahnya. “Apa yang kau tunggu?!” sungut Jenie karena Rama tak segera menginjak gas. Rama melirik Jenie lewat ekor mata. Jika bukan dalam keadaan seperti ini, ia sudah menendang Jenie keluar dari mobilnya. “Dasar wanita tak tahu terima kasih,” umpatnya dalam hati. Tak berapa lama kemudian, Rama dan Jenie telah dalam perjalanan pulang di mana sejak mobil Rama keluar dari area pusat perbelanjaan, Jenie tak mengatakan apapun. “Sudah menghabiskan uangmu?” kata Rama tiba-tiba. Sebenarnya ia tahu apa yang terjadi pada Jenie tapi memilih diam. Ia tengah memilih cincin pernikahan dan tak sengaja melihat Jenie. Ia yang awalnya abai, pada akhirnya mengikuti Jenie melihat apa yang ingin wanita itu beli. Alhasil, ia melihat semua yang terjadi di toko sepatu. Duk! Duk! Jenie tak menjawab pertanyaan Rama dan membenturkan kepalanya pada kaca mobil yang masih berjalan. Pertanyaan Rama mengingatkannya pada tujuannya yang gagal karena terbawa emosi. Sekarang uangnya telah habis, hanya tersisa beberapa juta jadi tak mungkin digunakannya membungkam ibu Deri. “Apa aku bisa mengembalikan mereka dan mendapatkan uangku kembali?” tanya Jeni dengan menunjuk ke belakang pada barangnya di kursi penumpang. Matanya tampak basah menahan tangis. Rama melirik Jenie lewat ekor mata dan mengatakan, “Kurasa tidak.” Tubuh Jenie seketika lemas. Tentu saja, mana mungkin mereka mau membeli barang yang sudah ia beli? “Bisakah kau menjualkannya? Ke mana saja asal uangku kembali. Rugi satu atau dua persen juga tidak apa-apa,” pinta Jenie penuh harap. Ia masih berharap uang yang dikeluarkan untuk membeli sepatu-sepatu itu bisa kembali. Rama kembali melirik Jenie dan tersenyum mengejek. “Untuk apa menjualnya? Bukankah kau sendiri yang membelinya? Apa karena tanganmu begitu gatal melihat uang sebanyak itu di rekeningmu sampai-sampai tak bisa mengendalikan diri? Dan sekarang, kau menyesal.” Rama sengaja mengatakan itu, berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jenie tertohok. Sebelumnya Deri berhasil mencubit ulu hatinya dengan sangat sakit dan sekarang giliran pria yang saat ini duduk di sebelahnya di depan kemudi yang malakimannya. Selama ini ia tak pernah mengenal banyak pria, apakah semua pria memang begitu kurang ajar? Mulut mereka bahkan lebih tajam dari mulut emak-emak kompleks. Jenie tersenyum kecut di mana ia setengah tertunduk. “Ssh, kau benar. Tanganku memang sangat gatal dengan uang yang kau berikan. Kupikir dengan uang itu aku bisa membungkam ibunya Deri tapi, sepertinya itu mustahil sekarang.” Rama hanya diam tak lagi mengajak Jenie bicara hingga beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah. Rama tak ingin peduli apa terjadi pada Jenie atau apa yang Jenie lakukan. Meski ia sempat merasa kasihan saat Jeni bercerita tujuannya, atau saat Deri mempermalukannya, tapi ia tidak ingin wanita itu menjadi besar kepala jika ia melakukan sesuatu bahkan membantunya. Setibanya di rumah Jenie langsung menuju kamarnya di lantai 2. Ia masih meratapi kebodohan dan kecerobohannya membuatnya tak bisa menemui ibunda Deri. Jika bisa memutar waktu, ia tak akan bertindak bodoh hanya karena emosi. “Hah ….” Jenie menghela nafas panjang dan berat. Padi sudah jadi nasi, semua sudah terjadi dan dirinya hanya bisa meratapi nasib. Janie menjatuhkan tubuhnya ke ranjang membuatnya terlentang. Ia menatap langit kamar Rama dan berusaha berpikir positif. “Tenang, Jen. Kau masih bisa melakukannya nanti. Penyesalanmu tak akan berguna jadi sekarang, tarik nafas dalam … keluarkan … sekali lagi.” Jenie melakukan seperti yang ia ucapkan hingga beberapa kali. Akan tetapi, pada akhirnya ia kembali menghela nafas panjang. Tepat di saat itu Rama membuka pintu dan baritonnya pun terdengar membuat Jeni segera menegakkan punggung. “Kuharap kau tidak melupakan tugasmu.” Setelah mengatakan itu, Rama berbalik dan kembali menutup pintu. Jenie mendengus dan menggembungkan pipi. Ia masih ingin meratapi nasib dan kebodohannya. Namun, pada akhirnya ia bangun dari ranjang dan berjalan keluar kamar untuk memasak. Tak berapa lama kemudian, aroma lezat tercium. Rama yang tengah menghadap layar notebook dalam pangkuan, menoleh ke arah aroma lezat yang berasal dari dapur. Namun, ia kembali fokus pada tugas yang harus dikerjakan meski sebenarnya cukup penasaran makanan apa yang akan tersaji nanti di atas meja makan. Di dapur sendiri, Jenie tengah mencicipi sup daging buatannya. ”Hm, sampurna,” ucapnya kemudian mematikan kompor. Setelah acara masaknya selesai, ia menyiapkannya ke atas meja makan kemudian memanggil Rama mengajaknya makan bersama. “Aku sudah selesai. Kau mau makan sekarang?” tanya Jenie pada Rama yang saat ini duduk di sofa ruang tamu. Hanya gumaman tak jelas yang lolos dari mulut Rama membuat Jenie ke mengerutkan dahi. Melihat Rama masih tetap duduk, Jenie memilih kembali ke dapur dan menunggu. Meski hubungannya dengan Rama bisa dibilang tak begitu baik, tapi ia masih punya etika untuk menunggu Rama mengingat ini adalah rumahnya. Tak mungkin ia makan lebih dulu, bukan? Hingga 15 menit berlalu, Rama tak juga pergi ke dapur. Sontak, itu membuat Jenie kesal. Kuku Jenie menciptakan suara saat mengetuk meja sementara satu tangannya memangku rahang. Ia sudah sangat lapar, tapi Rama tak kunjung datang. Jenie kembali melirik jam dan hampir 20 menit berlalu sejak ia mengajak Rama makan. Brak! Dua tangan Jenie terkepal dan memukul meja. “Tahu begini aku tak akan sudi masak!” gerutunya. ia sudah seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang. Tepat di saat itu barulah Rama muncul. Rama berjalan tenang kemudian duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang Jenie duduki. Jenie menatap Rama ketus. Rasa hati ingin memaki tapi ia tidak punya hak. Rama menatap makanan di hadapan yang mulai dingin. Ada sup daging dan tumis sayur. “Hanya ada ini di kulkas. Aku tidak tahu apakah kau akan menyukainya atau tidak. Lagipula, supnya juga sudah dingin.” Jenie mengatakan itu dengan wajah masam di mana dengan sengaja menekan kalimat terakhirnya. Rama hanya diam seolah tak mendengar apa yang Jenie katakan. Kemudian ia mengambil sendok dan mencoba masakan Jenie. Sluurrp … glek Sup bening itu tertelan melewati tenggorokan. Rama mengecap lidah menikmati rasa yang tertinggal. Tidak buruk, batinnya. Setelahnya ia pun mulai menikmati makannya. Jenie sudah merasa was-was berpikir jika Rama tak menyukai masakannya. Tapi, melihat Rama mulai makan dengan tenang, ia akhirnya bernafas lega. “Setelah ini bersiaplah,” ucap Rama tiba-tiba setelah menyelesaikan acara makannya. Jenie yang masih menikmati hasil masakannya sendiri, nyaris tersedak mendengarnya. “Mau ke mana?” tanya Jenie. Namun, Rama hanya diam, bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Perempatan siku seolah muncul di kepala Jenie. “Hih! Apa-apaan dia itu?!” gerutunya kemudian kembali mengambil sesendok nasi dan daging dan melahapnya. Ia masih menggerutu dengan mulut penuh makanan, alhasil bibirnya pun tergigit membuatnya meringis sakit. “Aw, siapa yang sedang membicarakanku?” ucapnya yang percaya mitos jika bibir tergigit saat makan berarti seseorang tengah membicarakannya. Tak lama kemudian, Jenie telah bersiap setelah membersihkan bekas makannya dan Rama. Ia pun menemui Rama yang menunggunya di ruang tamu. “Aku sudah siap.” Rama memperhatikan Jenie dari rambut hingga ujung sepatu flat yang dipakainya. Entah apa yang ia pikirkan tapi, tatapannya membuat Jenie seolah ditelanjangi. Jenie bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri. Pikiran anehnya membuatnya teringat kejadian semalam. Setelah puas memandangi Jenie, Rama terlihat menghubungi seseorang dan bicara lewat telepon. Entah apa yang dibicarakannya, Jenie tak begitu mendengar. Namun, setelah panggilannya berakhir, Rama mengajaknya segera pergi. Kini Jenie dan Rama telah dalam perjalanan menuju suatu tempat yang tak Jenie ketahui. Tak ada pembicaraan sejak mereka keluar dari rumah. Jenie tetap diam begitu juga Rama. Merasa bosan, sesekali Jenie melirik Rama. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan tapi, ia tidak berani. Mereka baru mengenal kemarin, apa pantas menanyakan hal pribadi? Ia ingin tahu berapa usia Rama, kapan istrinya meninggal dan karena apa. Ia juga ingin tahu hubungannya dengan Shanti dan Cecyl, jika Shanti masih ada hubungan keluarga, kenapa mau menikahkan Rama dengan anaknya. Dan ada satu pertanyaan yang paling ingin ia tanyakan. Kenapa memilihnya. Sebenarnya ia sudah punya satu jawaban hanya saja, ia masih ragu. Harusnya Rama bisa dengan mudah membayar wanita manapun untuk bersandiwara. “Ayo turun.” Jenie terhenyak, tersadar dari lamunannya. Terlalu melamun memikirkan banyak hal membuatnya sampai tak sadar mobil Rama telah berhenti. Jenie turun dari mobil dan menatap bangunan tiga lantai di hadapan. “Apa yang kau tunggu?” ucap Rama saat ia telah berdiri di depan pintu sementara Jenie tetap berdiri di depan mobil seperti anak kecil yang kagum pada tempat yang baru pertama ia lihat. Mendengar itu, Jenie pun bergegas mengikuti Rama. Sesampainya di dalam, Rama menuntun Jenie menuju lantai dua setelah melewati resepsionis begitu saja. Sebenarnya Jenie sudah tahu tempat apa itu dan benar saja, setibanya di lantai 2, ia disuguhi pemandangan banyaknya gaun yang tertata rapi. “Oh, hai, Ram. Sudah datang?” Seorang wanita berjalan menghampiri Rama dan Jenie dengan membawa sebuah gaun pengantin berwarna putih. Kemudian perhatiannya tertuju pada Jenie yang berdiri di samping Rama. “Oh, jadi ini calon istrimu?” ucapnya kemudian berjalan memutari Jenie setelah Rama mengambil jarak darinya. “Selama ini tak pernah ada kabar, tiba-tiba saja memesan gaun pernikahan.” “Jangan banyak bicara. Lakukan saja apa yang kukatakan,” kata Rama. “Hish, dasar,” gerutu pemilik butik itu kemudian memanggil asistennya membantu Rama dan Jenie mencoba baju pernikahan. “Hei, apa kau benar-benar mau menikah dengan Rama?” tanya Renata, pemilik butik itu yang tengah membantu Jenie memakai gaun. “I– iya. Memangnya, kenapa?” jawab Jenie dengan ragu. “Oh, tidak apa-apa, sih. Aku hanya penasaran. Dia terakhir ke sini untuk memesan gaun saat akan menikah dengan istrinya. Tapi karena istrinya sakit, gaun itu batal dan mereka menikah di rumah sakit. Kudengar tak lama setelah itu istrinya meninggal. Kukira dia akan jadi duda selamanya karena setia pada istrinya. Tapi siapa kira, hari ini dia membawamu ke sini,” papar Renata. Tanpa Renata sadari sedari tadi Rama mencuri pandang ke arahnya dengan tatapan curiga. Sementara itu Jenie tampak terkejut mendengar penuturan Renata. Seketika ia pun merasa iba meski belum mendengar kisahnya lebih jelas. Ia mengarah pandangan pada Rama membuat pandangan mereka saling beribobok. Namun, hanya sekilas karena Jenie segera mengalihkan pandangan melihat pandangan Rama padanya tampak dingin dan tajam. Tatapan Rama seolah mengatakan, berhenti mengasihaniku. Rama berjalan mendekat, menghampiri Jenie yang telah selesai memakai gaunnya. Dipandanginya Jenie tanpa jeda membuat Jenie hanya bisa menundukkan kepala. “Sesuai keinginanmu, gaun sederhana tapi tetap terlihat elegan. Gaun ini juga sangat cocok, sangat pas pula di tubuhnya. Atau, apa kau mau mencoba yang lain? Aku masih punya beberapa pilihan,” ujar Renata. “Tidak,” jawab Rama tanpa mengalihkan pandangan dari Jenie. Jenie kian tak berani menatap Rama. Tatapan Rama bagaikan tatapan elang yang telah mengunci mangsa. Perlahan tangan Rama terangkat menyentuh wajah Jenie yang seketika membuatnya menegang. Pria itu setengah menunduk dan berbisik di telinga Jenie. “Berhenti menatapku seolah kau tahu sesuatu dan membuatmu kasihan padaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN