6. Sandiwara Dimulai

1284 Kata
Jenie merasa canggung dan gugup. Namun, ia berusaha menutupi kecanggungannya itu dan berharap kakek Rama tidak curiga. “Jadi, siapa namamu? Tadi siang kita belum sempat berkenalan,” tanya Adam. Saat ini ia duduk berhadapan dengan Jenie yang duduk di samping Rama. “Na– namaku Jenie Rosa,” jawab Jenie. Meski berusaha menutupi rasa gugup, cemas dan canggungnya, nyatanya ia tidak benar-benar bisa melakukannya. “Wah, nama yang bagus. Apa orang tuamu penggemar pink black? Namamu seperti nama personel mereka. Hahahaha.” Kelakar tawa Adam menggelegar memenuhi ruang keluarga di rumahnya membuat Rama memijit pangkal hidungnya. “Dasar Pak tua ….” desah Rama. Jenie tampak terkejut melihat sikap kakek Rama. Ia tak mengira pria tua itu punya selera humor meski guyonannya itu sangat garing seperti kacang sangrai. Dan yang lebih mengejutkan, pak tua itu tahu girl band yang telah mendunia. Jenie tersenyum kaku membalas gurauan Adam tak tahu harus bersikap bagaimana mengimbangi kelakar tawanya. Perlahan tawa Adam mereda. Ia berdehem kemudian kembali mewawancarai Jenie. “Jadi, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan? Kau pasti sudah tahu kalau Rama sudah pernah menikah sebelumnya, bukan? Ah, bagaimana dan di mana kalian pertama bertemu?” Adam menanyakan banyak hal sekaligus. Entah karena penasaran atau mencoba mencari tahu sebuah kebenaran. Pasalnya, selama tiga tahun ini setelah istrinya meninggal, Rama tak pernah menunjukkan dekat dengan seorang wanita dan tiba-tiba saja memperkenalkan Jenie sebagai calon istrinya. Jenie dan Rama saling melempar lirikan seakan menunggu salah satu memberi jawaban. “A … maafkan aku, apa kau terlalu gugup menjawab pertanyaanku? Sebenarnya aku hanya penasaran bagaimana kalian bertemu karena selama ini setelah Zia meninggal, Rama tidak pernah menunjukkan dekat dengan wanita manapun,” ujar Adam kembali. Jenie tenggelam sejenak dalam pikirannya sendiri. Jadi, nama istri Rama dulu adalah Zia? batinnya. “Ah!” Jenie meringis dan segera menutup mulut meredam teriakan saat kakinya diinjak. Rama menginjak kakinya memberinya isyarat agar menjawab pertanyaan kakeknya. Jika ia yang menjawab, kakeknya mungkin akan curiga. “Ada apa, Jen?” tanya Adam. Jenie menurunkan tangan yang menutupi mulut dan tersenyum kaku. “Ti– tidak ada apa-apa, Kek. Aku hanya terkejut mendengar nama istri pertama Rama. Selama ini Rama tidak pernah mengatakannya padaku. Aku baru tahu bahwa Rama sudah pernah menikah belum lama ini saat aku menerima lamarannya. Andai saja aku tahu sebelumnya, mungkin aku akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Bukan masalah dengan statusnya hanya saja, aku khawatir Rama masih mencintai mendiang istrinya. Tapi, pada akhirnya Rama berhasil meyakinkan aku bahwa dia telah melupakan masa lalunya dan ingin memulai masa depan yang baru denganku.” Jenie mengatakan kalimat panjang itu tanpa melepas perhatian dari Rama. Ditatapnya Rama dalam seakan-akan semua yang dikatakannya adalah kenyataan dan tulus dari lubuk hatinya. Adam terdiam mengamati. Ia sempat mengira Jenie adalah wanita bayaran yang Rama suruh berpura-pura jadi calon istri. Tapi, melihat dan mendengar apa yang Jenie katakan, perlahan pikiran itu terkikis. Dahi Rama berkerut samar saat Jenie mengatakan kalimat panjang itu dengan terus menatapnya dengan tatapan alami. Ia tak mengira Jenie bisa bersandiwara sebagus itu. Dia bakat berakting, batinnya. Jenie menggenggam tangan Rama kemudian menghadap Adam dan kembali mengucap kalimat yang membuat Adam semakin terkejut dan tercengang. “Kami mungkin belum lama bertemu tapi, aku sangat yakin telah sepenuhnya jatuh hati pada cucu anda. Aku tidak punya apa-apa, kedua orang tuaku sudah meninggal, meski begitu aku berharap bisa bersama dengan Rama selamanya. Dan kuharap anda tidak keberatan bahkan merestui kami,” ucap Jenie dengan mata berkaca-kaca. Namun, raut wajahnya juga menunjukkan kesungguhan dan keberanian. “Katakan bahwa kau keberatan!” pekik Jenie dalam hati. Ia harap dengan begitu perjanjiannya dengan Rama selesai dengan alasan kakek Rama tidak menyetujui hubungan mereka. Adam terdiam, cukup lama sampai akhirnya baritonnya terdengar. “Sebenarnya aku senang saat Rama membawamu dan mengatakan sebagai calon istrinya. Jujur saja karena aku cemas Rama tak bisa melupakan Zia yang sekarang sudah tenang di sana. Aku kira dia hanya membohongiku karena tidak mau dijodohkan dengan Cecyl. Tapi, melihat keberanian dan kesungguhanmu, aku yakin kau benar-benar mencintai cucuku.” Adam mengusap setitik air mata di ujung matanya dan kembali mengatakan, “sebenarnya aku ingin Rama segera menikah agar aku bisa menimang cucu. Aku ini sudah tua, entah sampai kapan bisa menghirup udara. Dan sebelum itu terjadi aku ingin menimang cucu dari Rama.” Adam meraih tisu digunakannya membuang ingus. Ia tak kuasa menahan haru mengatakan tujuannya ingin Rama segera menikah. Wajah Jenie tampak pucat mendengar kata cucu. Ia menoleh kaku pada Rama dan menatapnya dengan tatapan suram. “Kalau begitu, kapan kalian menikah? Bulan depan? Minggu depan? Atau besok pagi?” tanya Adam antusias. Rasa haru yang sebelumnya membuat meneteskan air mata dan ingus seketika menghilang digantikan ekspresi bersemangat dan tak sabar. *** Jbles Rama menutup pintu dan menguncinya. Saat ini ia dan Jenie telah berada di kamarnya setelah sebelumnya berbicara dengan Adam. Harusnya mereka pulang tapi Adam memaksa mereka menginap. Ingin memikirkan sandiwara selanjutnya, Rama beralasan akan membersihkan diri lebih dulu. “Apa kakekmu memang seperti itu?” tanya Jenie yang berdiri di depan ranjang, bersedekap d**a dan menatap Rama seperti seorang rekan. “Kau sudah melihatnya sendiri,” jawab Rama seraya berjalan menuju sofa di sisi ruangan lalu duduk. Kadang ia harap kakeknya memiliki sifat dan sikap dingin tapi, kenyataannya sebaliknya. Alih-alih bersikap bijaksana dan dewasa, kakeknya kadang bersikap konyol. “Lalu apa katamu tadi? Kita menikahi Minggu depan? Kau pikir menikah seperti membeli permen?” Jenie mulai menunjukkan keluh kesahnya sampai tiba-tiba tanpa sengaja pandangannya jatuh pada sebuah foto di atas nakas samping tempat tidur Rama. Foto seorang wanita yang tampak begitu cantik dan duduk di atas kursi roda. “Apa itu istrinya?” batinnya. Saat hendak kembali menoleh pada Rama, ia telah dikejutkan dengan d**a bidang pria itu di hadapan. Ia sempat terkejut tapi keterkejutannya lenyap saat Rama menatapnya dengan tatapan begitu dingin dan mengatakan kalimat yang lebih menusuk dari tatapannya. “Jangan banyak protes dan bicara. Jika kau lupa, kau harus menuruti semua yang aku katakan dan perintahkan. Kau bahkan tidak berhak bertanya kenapa.” Tubuh Jenie menegang sesaat mendengar kalimat dingin yang terucap dari mulut Rama. Meski hatinya menyuruhnya membantah tapi, tubuhnya seakan menolak, mulutnya seakan terkunci untuk sekedar mengucap sepatah kata. Tatapan serta ucapan Rama membuatnya terlihat seperti monster yang siap memakannya kapan saja. Melihat Jenie tak berkutik, Rama mengambil jarak dan duduk di tepi ranjang kemudian mengambil ponsel dari saku celana. Bunyi pesan masuk terdengar dari ponsel Jenie. Ia merogoh saku celananya melihat siapa yang mengirimkan pesan. Matanya pun melebar melihat pesan yang tertera pada layar berisi notifikasi masuknya uang sebesar 50 juta ke rekeningnya. “Simpan uang itu. Kuanggap aktingmu tadi cukup bagus,” ucap Rama yang seketika membuat Jenie menoleh padanya. Jenie sempat tak percaya kemudian mengecek m-banking miliknya dan benar saja, saldo rekeningnya bertambah. Sebelumnya Rama membuat mulutnya terkatup rapat tapi setelahnya Rama memberinya hadiah yang mengejutkan. “Ka– kau serius? Uang ini untukku?” tanya Jenie dengan suara bergetar. Ia hanya karyawan biasa di perusahaan biasa, gajinya hanya gaji UMR yang digunakannya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Uang di rekeningnya tak pernah menyentuh angka 2 digit. Tentu saja melihat isi rekeningnya kini membengkak membuatnya seakan tak percaya. Rama menatap lurus pada mata Jenie yang melebar menatapnya. “Masih kurang? Jika kau menginginkan lebih, jadilah kucing penurut dan jangan banyak bicara.” Jenie kembali menatap layar ponselnya yang masih menunjukkan jumlah uang dalam rekeningnya. Ia sama sekali tak mendengarkan ucapan Rama karena yang ada dalam pikirannya sekarang adalah, ia akan menggunakan uang dari Rama itu untuk menyumpal mulut ibu Deri. Alis Rama tampak berkerut saat melihat senyum miring Jenie. Apa yang wanita itu pikirkan? batinnya. Namun, seketika ia bergidik saat melihat dan mendengar tawa Jenie. Jenie tertawa seperti pemeran antagonis dalam film-film. “Sinting.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN