7. Celana Basah

1336 Kata
“Hahahaha! Hahahaha!” Jenie terus tertawa, mendongak menatap langit kamar Rama dengan kedua tangan setengah terangkat dan jari-jari terbuka. Ia tengah membayangkan ibu Deri mengemis memintanya kembali pada anaknya. “Maafkan aku, Jenie. Kumohon kembalilah pada Deri, dia sebenarnya sangat mencintaimu.” “Iya, Jen. Kumohon terima aku lagi. Sebenarnya aku masih mencintaimu. Ibuku yang menyuruhku memutuskanmu.” Duk! “Awh! Sssh! Apa yang kau lakukan?!” Jenie memegangi kepalanya yang menjadi korban jitakan Rama. Ia tengah membayangkan Deri dan ibunya berlutut, memohon dan mengemis agar mereka kembali bersama. Tapi, tiba-tiba Rama menghancurkan bayangan indahnya itu. “Aku hanya ingin memastikan jika kau masih waras. Jika tidak, aku akan membawamu ke rumah sakit jiwa sekarang,” kata Rama kemudian berjalan menuju kamar mandi. Jenie menggembungkan pipi dengan mulut mengerucut. Melihat Rama telah menghilang di balik pintu kamar mandi, gerutuan serta makian terlontar dari mulut. “Dasar. Tidak bisa lihat aku senang.” Jenie masih mengusap kepala kemudian menatap layar ponselnya dengan senyuman merekah. Namun, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Ia sadar uang itu bukan uangnya. Rama memang memberikannya sebagai hadiah sandiwara tapi bisa saja pria itu memintanya kembali nanti terlebih jika sandiwara mereka terbongkar. Akan tetapi, ingatan hinaan yang Deri ucapkan membuatnya mengesampingkan pikiran itu. Peduli apa jika setelah ini Rama meminta uangnya kembali, ia akan menggunakannya untuk membalas Deri dan ibunya. Meski ia masih mencintai Deri tapi, akan ia buktikan bahwa ia punya harga diri. Tak berapa lama kemudian, Rama keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawahnya. Handuk itu melilit di perut dan menutupi sebatas paha. Jenie yang melihatnya hampir tak berkedip. Siapa kira di balik pakaian rapi yang Rama kenakan tersembunyi tubuh atletis yang menggoda iman. Plak! Jenie menampar pipinya sendiri kemudian segera membalikkan badan. “Apa yang kau lakukan, Jen! Sadar! Sadar!” teriak Jenie dalam hati. Dirinya bukan wanita mata keranjang, ia juga wanita setia yang saat ini masih mencintai Deri tapi, ia wanita normal. Wajah rupawan dengan tubuh sempurna, siapa yang tidak khilaf ingin menikmatinya? Rama yang hendak mengambil pakaian di lemari, menoleh ke belakang dan melihat sikap aneh Jenie yang seperti tengah menggerutu. Sebelah alisnya pun meninggi dan segera kembali ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. “Kuharap dia tidak benar-benar gila,” batinnya. Beberapa saat setelahnya, Rama dan Jenie telah duduk di kursi meja makan bersama Adam untuk menikmati makan malam. Jenie terlihat lebih rileks dari pertama kali ia menginjakkan kaki di sana. “Kau tidak mandi, Jen?” tanya Adam melihat Jenie masih mengenakan pakaian yang sama sebelumnya padahal Rama sudah berganti baju. “Aku … tidak bawa baju ganti, Kek,” jawab Jenie dengan senyum kaku. “Kenapa kau tidak suruh pakai baju mendiang Zia, Ram?” tegur Adam. Jenie melirik Rama yang menghentikan gerak tangannya saat hendak memasukkan makanan ke dalam mulut. Rama menaruh kembali sesendok makan malamnya ke piring dan mengatakan, “Baju orang yang sudah meninggal tidak boleh dipakai orang yang masih hidup. Aku akan membelikannya baju sendiri nanti.” “Tapi–” Suara Adam terhenti saat suara lain menginterupsi pendengaran. “Wah, wah, ada tamu rupanya.” Rama, Jenie dan Adam mengarah pandangan ke sumber suara dan mendapati Shanti dan Cecyl berjalan menghampiri mereka kemudian duduk. Shanti duduk di samping Adam dan Cecyl duduk di samping Jenie. Kini Jenie diapit Rama di sebelah kiri dan Cecyl di sebelah kanan. “Dari mana saja kalian, baru pulang,” tanya Adam dengan baritonnya yang dingin. Jenie dapat melihatnya, melihat perubahan sikap Adam saat Shanti dan Cecy bergabung. “Pemotretan, Ayah. Ayah tahu sendiri aku selalu menemani Cecyl saat pemotretan. Kuharap ayah tidak lupa kalau Cecyl model terkenal,” jawab Shanti yang dengan sengaja menekan kalimat terakhirnya di mana sorot matanya tertuju lurus pada Jenie. Setelahnya tak ada lagi yang membuka suara saat pelayan di rumah Adam mempersiapkan piring untuk Shanti dan Cecyl. Dua wanita itu tinggal di sana bersama Adam sementara Rama telah memiliki rumah sendiri meski kadang ia menginap di sana. “Ram, kau yakin wanita ini bisa makan-makanan ini? Bisa-bisa dia sakit perut karena tidak pernah makan makanan lezat dan mewah seperti ini,” sindir Shanti disertai senyum mengejek. Jenie hanya tertunduk saat Shanti mengucapkan kalimat itu. Awalnya ia merasa takut pada Shanti dan Cecyl di pertemuan pertama tadi siang tapi sekarang ia merasa kesal. Shanti sudah seperti ibu mertua yang jahat seperti dalam cerita n****+. “Shanti, jaga ucapanmu,” tegur Adam. Tepat setelah itu suara jerit pelan Jenie terdengar diikuti ia yang bangkit dari duduknya saat Cecyl menumpahkan sup ke arah pahanya membuat celananya basah. Untung saja sup itu hampir dingin membuat paha Jenie selamat dari luka melepuh. Jika sup itu masih panas, entah apa yang terjadi karena Cecyl seperti sengaja menumpahkan satu mangkok sup itu ke arahnya. “Oh, ya Tuhan, maafkan aku,” ucap Cecyl dengan ekspresi bersalah dibuat-buat. Namun, setelahnya seringainya terukir jelas dan Jenie dapat melihatnya. “Cecyl!” bentak Adam. Ia seakan tahu bahwa Cecyl sengaja. Sementara itu Jenie berusaha membersihkan isian sup yang menempel di celananya menggunakan tisu. Derit kursi terdengar saat Rama bangkit dari duduknya. Ia segera menarik tangan Jenie untuk pergi dari sana. “Aku pulang,” ucapnya. “Ram! Rama!” cegah Adam. Namun, percuma, Rama justru mempercepat langkahnya. “Sudah lah, Yah. Biarkan mereka pergi. Wanita itu saja yang berlebihan padahal supnya sudah dingin,” kata Shanti kemudian menikmati sup yang sama setelah meniupnya. “Kau dan anakmu sama saja!” bentak Adam kemudian memilih pergi. Sekarang, hanya tinggal Shanti dan Cecyl yang ada di sana juga pelayan rumah yang tengah membersihkan lantai bekas sup yang tumpah. “Sepertinya kita harus menyelidikinya, Bu,” ucap Cecyl yang telah mengubah tempat duduknya. Kini ia duduk di samping ibunya. Shanyi tampak tenang menikmati supnya kemudian mengatakan, “Tidak perlu. Buat saja wanita itu memilih mundur. Entah benar wanita itu punya hubungan dengan Rama atau tidak, tugas kita hanya membuat pernikahan mereka tidak terjadi dan membuat Rama menikahimu.” Cecyl mengangguk setuju. “Ck, harusnya tadi supnya panas. Pasti akan lebih seru.” Di sisi lain, Rama dan Jenie tengah dalam perjalanan menuju rumah Rama. Awalnya ia ingin membawa Jenie ke rumah sakit tapi wanita itu menolak. Jenie tidak ingin tubuhnya dijamah banyak orang lagipula sup itu tidak panas, jadi tidak akan melukainya meski ia merasa risih karena celananya basah. “Apa medusa itu benar-benar model?” tanya Jenie tiba-tiba. Ia telah memikirkannya saat Shanti menyebut putrinya model terkenal. Bukan tanpa sebab, melainkan ia tidak mengenalnya. Jika terkenal, harusnya wajahnya ada di mana-mana, kan? Rama melirik Jenie sekilas dan tak berniat menjawab. Medusa? batinnya. Jenie menoleh dan mendapati Rama hanya diam membuatnya menekuk wajah. Tak lama kemudian mobil Rama memasuki area sebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar tapi terlihat elegan, model minimalis lantai dua yang memukau mata Jenie. “Rumah siapa ini?” tanya Jenie setelah turun dari mobil. “Rumahku,” jawab Rama singkat kemudian berjalan memasuki rumah. Jenie masih berdiri di depan rumah Rama memperhatikan rumah bercat perpaduan putih dan abu itu. Rumah itu sama seperti rumah impiannya. Ia berencana memiliki rumah seperti itu saat sudah menikah dengan Deri nanti. Tapi, rencana itu pupus karena Deri mengajaknya putus. “Hah ….” Jenie menghela nafas berat. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. “Sampai kapan kau di luar?” Jenie tersentak mendengar suara Rama. Pria itu berdiri di ambang pintu dan menatapnya datar dengan kedua tangan masuk saku celana. Ia pun akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah. “Ikut aku,” titah Rama dan melangkah lebih dulu setelah menutup dan mengunci pintu. Jenie yang tak menaruh curiga, mengikuti di belakangnya hingga akhirnya mereka memasuki sebuah kamar yang tak lain adalah kamar Rama. Jenie mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Kamar bernuansa abu yang tampak bersih dan rapi juga bersemerbak bau mint sama seperti bau parfum Rama. “Buka celanamu.” Deg! Jenie tersentak kaget tersadar dari rasa kagum memandangi ruangan. Ia menoleh menatap Rama dengan wajah bodoh seakan meminta Rama mengulangi ucapan. “Buka celanamu,” perintah Rama kembali dengan tegas bahkan terdengar memaksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN