5. Perjanjian

1648 Kata
Suara kertas robek itu terdengar jelas di telinga Rama dan seakan memenuhi ruangan. Ia tak mengira Jenie merobek surat perjanjian yang ia buat. Namun, ia dibuat terheran saat Jenie mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Baiklah, aku setuju. Aku setuju kita menikah tapi, kau juga harus menuruti keinginanku. Jadi, isi surat perjanjian itu harus diubah.” Alis Rama berkerut tajam. Ia sempat mengira Jenie menolak tapi rupanya, wanita itu juga menginginkan sebuah kesepakatan yang pastinya menguntungkan baginya, “Bagaimana jika aku menolak?” kata Rama sama seperti saat Jenie mengatakan kalimat serupa. “Aku akan mengatakan pada kakek dan dua wanita itu bahwa kita hanya bersandiwara.” Tiba-tiba sudut bibir Rama terangkat. Ia tak mengira wanita seperti Jenie berani mengancamnya. Ia bersedekap d**a dan menatap Jenie dengan tatapan mengejek. “Kau yakin dapat menemui mereka? Kau tidak tahu siapa mereka bahkan tidak tahu siapa aku.” Jantung Jenie mencelos diikuti tubuhnya yang terasa kaku. Bagaimana bisa dirinya melupakan hal itu? Dirinya terlalu percaya diri bahwa Rama membutuhkannya hingga membuatnya berpikir kerja sama mereka bisa saling menguntungkan. Ia juga bisa memanfaatkan Rama karena dirinya juga memegang kartu As pria itu. Tapi, ucapan pria itu barusan seketika menyadarkannya. Tangan Jenie mulai gemetaran dengan keringat dingin yang timbul. Meski ingat wajah ketiga orang tadi siang, tapi ia sama sekali tak tahu siapa mereka. Andai saja tahu nama mereka salah satu saja, mungkin dirinya bisa mencari tahu mereka dan mengancam Rama. Ekspresi mengejek yang Rama tunjukkan kini menjadi ekspresi dingin. Tak akan ia biarkan Jenie yang memegang kendali atas rencananya. Jenie hanyalah alat dan akan ia buat seperti itu sampai rencana dan tujuannya tercapai. Beberapa saat kemudian, Jenie terus saja menghela nafas berat. Saat ini ia tengah dalam perjalanan bersama Rama. Pada akhirnya Jenie menandatangani perjanjian bermaterai yang Rama buat kembali. Mungkin setelah ini ia akan bertemu lagi dengan ketiga orang tadi pagi tapi percuma, ia sudah terlanjur menandatangani surat perjanjian dengan Rama dan jika ia melanggar isi surat perjanjian itu, sama artinya ia mengakhiri hidup. Jenie menyandarkan kepala pada jok dan memijit kepala teringat isi surat perjanjian tersebut. Pertama, pernikahan mereka adalah pernikahan resmi dan Jenie harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri sungguhan begitu juga sebaliknya kecuali dalam urusan ranjang. Sebagai istri Jenie juga harus menuruti dan melakukan semua perintah dan apapun yang Rama perintahkan. Kedua, apapun yang terjadi pernikahan mereka harus bertahan tidak kurang dari 6 bulan. Ketiga, jika ada pihak lain yang tahu mengenai perjanjian tersebut, maka pihak yang membocorkan harus membayar sebesar 1M. Keempat, jika salah satu pihak melanggar ketiga perjanjian tersebut, harus membayar ganti rugi 2M. Jenie memijit kepalanya yang berdenyut sakit. Bisa dibilang, isi surat perjanjian itu berat sebelah dan pastinya berat di-dirinya. Bagaimana tidak? Jika mereka bercerai, dirinya akan berstatus janda sementara bukan masalah bagi Rama jika ia berstatus duda karena sekarang pun statusnya adalah seorang duda. Jika Rama yang melanggar perjanjian, dirinya punya uang untuk membayar sementara dirinya? Jangankan memiliki uang sebanyak itu, melihat uang sebanyak itu saja dirinya belum pernah. Tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam pikiran Jenie kemudian melirik Rama yang tampak fokus pada kemudi. Kalau begitu, ia buat saja Rama melanggar perjanjian tersebut maka ia akan punya banyak uang. Tapi, bagaimana ia melakukannya? Rama tentu tak akan melanggar perjanjian yang dibuat olehnya sendiri. “Hah ….” Jenie kembali menghela nafas bahkan lebih berat dari sebelumnya. Semakin memikirkan masalahnya membuat kepalanya semakin berdenyut ngilu. “Tenang, Jen. Pikirkan semuanya pelan-pelan dan dengan kepala dingin maka semua akan baik-baik saja,” ucap Jenie dalam hati seraya menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan hingga beberapa kali. Rama melirik Jenie lewat ekor mata dan berpikir, entah apa yang wanita itu pikirkan. Namun, apapun yang wanita itu pikirkan dan lakukan, ia tak akan membiarkan wanita itu merusak rencananya. “Kita akan menemui kakekku. Bersikap lah senormal mungkin sebagai calon istriku. Jawab apa yang perlu kau jawab dan diam jika tidak perlu,” ujar Rama tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang lengang. “Bagaimana jika kakekmu curiga dan tahu kita hanya bersandiwara?” “Sesuai perjanjian nomor tiga, kau harus memberiku satu milyar.” “A– apa? Ta– tapi kan aku tidak–” “Entah bagaimana caramu tidak ada yang boleh tahu bahwa kita hanya bersandiwara.” “Itu tidak adil! Bagaimana jika kakekmu atau orang lain tahu darimu? Maksudku, mungkin kau keceplosan atau bersikap mencurigakan. Itu, kan bukan salahku!” “Itu tidak akan terjadi. Diamlah dan persiapkan dirimu.” Setelah mengatakan itu Rama mempercepat laju mobilnya menuju rumah kakeknya. Hingga tak lama kemudian, mobilnya memasuki area halaman rumah besar. Jenie masih duduk di mobil saat Rama telah turun. Ia tengah mempersiapkan diri dan berharap semua akan baik-baik saja. “Ya Tuhan, padahal ini hanya sandiwara tapi aku sudah seperti akan bertemu calon mertua sungguhan,” desah Jenie seraya membuka pintu mobil. Setelah kedua kakinya memijak tanah keluar dari mobil, hela nafas kembali terdengar. ”Tentu saja, bagaimana tidak?! Kau mempertaruhkan masa depanmu hanya untuk menyelamatkan harga dirimu dari Deri!” teriaknya dalam hati dengan mata terpejam dan tangan terkepal kuat. “Hentikan sikap anehmu. Cepat ikuti aku,” tegur Rama melihat kelakuan Jenie. Jenie mendelik sekilas kemudian menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan lalu tersenyum manis pada duda itu yang telah berjalan lebih dulu. “Baiklah. Tunggu aku, Sayang!” Rama seketika bergidik mendengar Jenie memanggilnya sayang. Bukan hanya itu, Jenie bahkan merangkulnya dan menyandarkan kepala di bahunya seraya terus merekahkan senyuman manja yang membuatnya serasa ingin muntah. Dahi Jenie berkerut saat melihat tatapan jijik Rama padanya. “Apa,” tanyanya. Ia dapat melihat tatapan Rama seperti benar-benar jijik padahal yang dilakukannya adalah bagian dari sandiwara mereka. Rama merasa risih hingga merinding. Ia berusaha melepas rangkulan Jenie tapi, suara kakeknya membuatnya menghentikan niat. “Waaah! Akhirnya kalian datang juga!” Adam tampak antusias menyambut Rama dan Jenie. Ia sudah menunggu sedari tadi saat Rama mengatakan akan membawa Jenie ke rumah. Pria yang tampak lebih muda dari usianya meski rambutnya telah memutih itu segera menghampiri Rama dan Jenie dengan wajah sumringah. “Lalu apa yang kalian lakukan di sini? Ayo masuk, ayo cepat masuk,” titah Adam menggiring Rama dan Jenie masuk ke dalam rumah. Di tempat lain, tepatnya di rumah Deri, seorang wanita paruh baya tampak sibuk menyimak layar ponselnya di mana layar ponselnya itu menunjukkan banyak gambar perhiasan. “Waaah, ini cantik sekali! Ah, tidak-tidak, ini lebih cantik! Haduh, pilih yang mana, ya? Hm, bagaimana kalau pilih semua? Deri kan sekarang sudah naik jabatan jadi gajinya lebih tinggi, dia pasti mau membelikanku ini. Ah, bagaimana kalau aku minta saja pada Lisa? Dia pasti akan membelikannya untukku.” Wanita berusia 40 tahunan itu tampak heboh dan kebingungan memilih perhiasan yang ia inginkan. Sampai tiba-tiba suara Deri membuatnya mengalihkan perhatian dari benda persegi di tangan. “Bu! Ibu di mana? Bu!” panggil Deri saat memasuki rumah. “Ibu di sini, Der!” sahut Salma, ibunda Deri. Ia yang sebelumnya duduk santai di ruang tengah, segera berjalan ke depan menyusul Deri. “Ibu di sini, Nak, ada apa? Kenapa pulang-pulang teriak-teriak panggil ibu?” tanyanya saat telah berhadapan dengan Deri. “Jenie, Bu! Jenie! Dia benar-benar sudah mempermainkan aku!” adu Deri dengan emosi meluap. “Apa? Apa maksudmu? Jelaskan pada ibu, Sayang?” Salma menangkup wajah Deri untuk menenangkannya. Melihat dan mendengar ucapan Deri membuatnya penasaran apa yang telah terjadi. “Jenie, Bu! Jenie! Ternyata selama ini dia selingkuh di belakangku!” ujar Deri dengan nafas naik turun tak terkendali. “Apa? Wanita itu selingkuh? Bagaimana bisa dia berani menyelingkuhi anak ibu?!” geram Salma setelah sebelumnya tampak terkejut mendengar ucapan sang putra. “Iya, Bu, dia selingkuh! Dan apa ibu tahu siapa selingkuhannya? Selingkuhannya orang yang lebih dariku. Dia lebih tampan dariku dan kelihatannya orang kaya!” Deri membalikkan badan dan memukul dinding dengan kepalan tangan meluapkan kemarahan. Entah apa yang membuatnya marah. Apakah karena diselingkuhi, atau merasa kalah dari selingkuhan Jenie. “Apa? Mana mungkin, Der? Mana mungkin wanita yatim piatu itu bisa selingkuh dengan lelaki yang lebih darimu? Lelaki mana yang mau dengan wanita miskin sepertinya? Kau pasti salah, Der,” kata Salma yang sama sekali tak percaya. Di matanya Jenie hanya wanita sederhana yang sama sekali tidak menarik apalagi wanita itu sudah tidak punya orang tua. Ia tak percaya Jenie bisa punya selingkuhan bahkan selingkuhannya orang kaya. Deri kembali menghadap menatap ibunya dan mengatakan apa yang terjadi di restoran tadi siang. “Jadi itu yang sebenarnya terjadi? Dan kau percaya begitu saja? Ya, Tuhan, Der, bagaimana bisa kau percaya begitu saja? Bisa saja Jenie hanya bersandiwara, menyuruh pria itu berpura-pura. Kenapa kau percaya dengan mudah? Memangnya selama ini dia kelihatan selingkuh di belakangmu?” wejang Salma. Ia benar-benar tak yakin Jenie bisa menggaet pria seperti yang anaknya katakan. Pria tampan dan kaya? Rasanya tak mungkin ada pria seperti itu yang mau dengan Jenie Deri terdiam dan mengingat-ingat. Selama ini tidak ada yang aneh dari sikap Jenie. Wanita itu selalu menunjukkan perhatian bahkan saat beberapa Minggu lalu membahas pertunangan, Jenie begitu antusias dan tampak sangat senang. Apa mungkin yang ibunya katakan benar? Bisa saja Jenie hanya berpura-pura karena tak mau kalah begitu saja setelah ia meminta putus dengan cara kasar. “Nah, sekarang coba pikirkan lagi, apa mungkin Jenie bisa selingkuh darimu? Ibu lihat selama ini dia tergila-gila padamu,” tutur Salma kembali. Deri yang sedari tadi tenggelam dalam pikiran, akhirnya mengangguk mengerti. “Ibu benar,” ucapnya. Ia setuju dengan ucapan ibunya yang terdengar masuk akal. Salma tersenyum congkak, bersedekap d**a dan mengatakan, “Nah, jadi kau tidak perlu memikirkannya, Der. Justru jika perlu, permalukan dia lagi karena berani menipumu. Ibu yakin, sangat-sangat yakin dia hanya pura-pura. Coba saja kau hubungi dia dan pura-pura menyesal, dia pasti akan menjilat ludahnya dan mengaku.” Deri tampak berpikir hingga akhirnya mengukirkan seringai tipis. Ibunya benar, ia akan memastikan apakah benar Jenie selingkuh dengan pria kaya itu atau hanya menipunya. Jika mantan kekasihnya itu terbukti menipunya, ia akan mempermalukannya seumur hidup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN