“Okey, sempurna.”
Pria itu menghampiri Rama dan menunjukkan hasil jepretan kameranya.
“Bagaimana? Mau ambil pose lagi?” tanya pria itu.
“Tidak. Pakai yang itu saja.”
Pria itu mengangguk dan menjadi akhir sesi foto kali ini.
Setelah selesai fitting baju, Rama mengajak Jenie ke studio foto guna mengambil foto prewedding. Foto yang juga akan dipajang di undangan nanti.
“Sudah selesai?” tanya Jenie.
“Hm,” jawab Rama kemudian ke ruang ganti untuk mengganti pakaian.
Melihat itu, Jenie melakukan hal yang sama. Sebenarnya ia sangat lelah, tapi apa mau dikata, Rama membuatnya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Dirinya hanya bisa mengikuti kemauan pria itu, pria yang akan menikahinya dalam hitungan hari. Hitungan hari? Ya, karena mereka akan menikah satu Minggu lagi.
Jenie sempat dibuat tak percaya, bagaimana bisa menyiapkan pernikahan hanya dalam waktu satu Minggu? Tapi, Rama mengatakan telah mengurus semuanya. “Apapun bisa terjadi asal kau punya uang.” Kurang lebih seperti itu lah jawaban Rama.
“Hah ….” Jenie menghela nafas panjang teringat jawaban Rama itu. Apa orang kaya selalu menggunakan uang untuk melancarkan urusan apapun? batinnya.
Jenie menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang masih terpoles make up natural tapi membuatnya tampak berbeda ditambah rambutnya yang ditata sedemikian rupa. Ia bahkan sempat tak percaya saat melihat wajahnya sendiri setelah selesai dirias.
Jenie menyentuh wajahnya seakan tak percaya. Hari ini ia fitting gaun pernikahan kemudian foto prewedding. Harusnya pria yang menemaninya adalah Deri, sesuai dengan rencana pertunangan mereka beberapa Minggu yang lalu. Tapi, siapa kira, pria yang menemaninya adalah pria asing, pria yang tidak ia kenal sama sekali. Ia hanya sebatas tahu bahwa pria yang akan menjadi suaminya bernama Rama, itu pun bukan dari perkenalan seperti layaknya seseorang saling mengenal. Ia hanya tahu Rama seorang duda kaya, dari keluarga kaya tapi tidak tahu apa pekerjaan atau seperti apa masa lalunya.
“Jika sudah selesai, cepat keluar.”
Jenie tersentak mendengar suara Rama di luar. Ia pun bergegas hendak melepas gaun yang dipakainya. Namun, ia kesulitan saat berusaha membuka resleting gaun berwarna merah itu yang ada di punggungnya.
“Ish, kenapa sulit sekali?” keluh Jenie. Ia berhasil meraih ujung resleting tapi kesulitan menariknya ke bawah. Hingga beberapa menit berlalu ia masih belum bisa melepas gaunnya sementara tangannya sudah pegal.
“Apa kau ingin tinggal di sini?” ucap Rama kembali.
Mendengar itu, Jenie menyerah. Pada akhirnya ia meminta bantuan Rama. Dengan menyembulkan kepala lewat celah pintu yang sedikit terbuka ia meminta Rama masuk untuk membuka gaunnya.
“Bisa kau menolongku? Aku kesulitan melepas gaun ini?” ucap Jenie dengan berbisik. Saat memakai gaun itu ia dibantu MUA yang mendandaninya dan sekarang mereka sudah pulang.
Alis Rama tampak berkerut. Namun, pada akhirnya ia membantu Jenie.
Rama masuk ke ruang ganti lalu berdiri di belakang Jenie yang membelakanginya. Jenie pun menyibak rambutnya ke samping agar mempermudah Rama menarik resleting gaunnya. Meski ia malu tapi, tidak ada pilihan lain. Lagipula ia ingin semua segera selesai dan ia bisa segera pulang untuk beristirahat.
Rama memperhatikan punggung Jenie dalam diam selama beberapa saat. Gaun yang baru saja dibelinya di tempat Renata itu melekat sempurna di tubuh Jenie membuat perutnya tampak ramping.
Tangan Rama terulur meraih resleting gaun Jenie dan menariknya ke bawah perlahan hingga akhirnya berhenti di ujung resleting di perpotongan pinggang. Meski selesai melakukan tugasnya, ia tetap diam tanpa melepas capitan jarinya dari resleting. Sekelebat bayangan masa lalu pun terlintas.
“Terima kasih.”
Deg!
Jantung Rama bergetar. Ia seakan melihat kembali masa lalunya dengan Zia, mantan istrinya. Wanita itu mengucapkan terima kasih setelah dirinya membantu membuka resleting gaunnya dengan wajah tersenyum dan bersinar.
”Um … apa sudah selesai?”
Rama tersadar dari lamunan saat suara Jenie menginterupsi pendengaran. Ia segera membalikkan badan dan hendak keluar dari sana. Namun, sebelum itu ia mengatakan, “Cepatlah. Kita harus pulang.”
Setelah mengatakan itu Rama menutup pintu meninggalkan Jenie.
Jenie menatap pintu yang telah tertutup itu dalam diam dan merasa ada yang aneh. Namun, ia berusaha mengenyahkan pikiran itu dan bergegas ganti baju.
Tak berapa lama kemudian, Rama dan Jenie telah dalam perjalanan pulang. Tak ada yang bicara seperti mereka hanya orang asing. Hingga tiba di rumah pun, mereka sama sekali tak membuka pembicaraan. Entahlah, meski ada yang ingin Jenie tanyakan tapi, ia memilih diam. Ia masih memikirkan ucapan Rama saat di tempat Renata, saat pria itu melarangnya mengasihaninya.
“Apa ekspresi wajahku sangat mudah ditebak?” gumam Jenie menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia telah sampai kamarnya dan tengah membersihkan make up sebelum mandi dan beristirahat. “Kalau memang seperti itu ceritanya, dia memang kasihan,” gumamnya kembali teringat yang Renata katakan mengenai istrinya.
Keesokan harinya, Jenie bangun kesiangan. Padahal, ia berencana ke kantor dan mengundurkan diri sesuai perintah Rama. Dengan gugup Jenie turun dari tempat tidur, membersihkan diri selama 5 menit kemudian berniat bersiap. Namun, tepat saya ia keluar dari kamar mandi, Rama sudah ada di kamarnya dengan membawa beberapa lembar undangan.
Jenie menguatkan genggam tangan pada kuncian handuknya. Ia ingin marah, tapi nyalinya menciut melihat raut wajah Rama yang begitu datar.
“Kau boleh mengundang teman-temanmu,” ucap Rama seraya meletakkan undangan itu ke atas ranjang.
“A– apa? Itu … undangan kita? Ah, maksudku, undangan pernikahan kita? Tsk, tidak, maksudku–”
“Jangan banyak bicara. Kau tentu tidak lupa apa tugasmu hari ini. Cepatlah bersiap, aku akan mengantarmu ke sana.”
Setelah mengatakan itu, Rama melangkah pergi keluar dari kamar Jenie.
Jenie menyentil mulutnya sendiri. Ia merasa bersalah sudah menyebut pernikahan mereka meski itu benar, undangan itu memang undangan pernikahan mereka. Ia yang sebelumnya berdiri di depan pintu kamar mandi, melangkah mengambil selembar undangan pernikahannya dan memperhatikannya selama beberapa saat. Satu-satunya yang menjadi atensinya adalah, fotonya dan Rama. Di foto itu mereka tampak mesra, Rama bahkan terlihat begitu memuja dirinya.
“Dia pandai sekali berakting,” ucapnya. Saat pengambilan foto Rama dengan sempurna melakukan seperti arahan fotografer dan justru dirinya lah yang tampak kaku.
Tiba-tiba sebuah ide terbersit di pikiran Jenie menatap undangan di tangan. Sekarang ia tahu bagaimana cara membalas ibu Deri dan pria b******k itu. Ia memang tidak tahu siapa Rama sebenarnya, tapi ia sangat yakin Rama lebih kaya dari Deri bahkan pria itu tak ada apa-apanya meski seujung kuku pun. Sepertinya ia harus bersyukur dinikahi duda kaya seperti Rama meski itu hanya sandiwara tapi setidaknya, bisa digunakannya membalas Deri dan ibunya.
Beberapa saat kemudian, Jenie dan Rama telah sampai di kantor Jenie. Jenie segera turun dari mobil diikuti Rama di belakangnya.
“Kau mau ke mana?” tanya Jenie melihat Rama mengikutinya. Ia tak berpikir Rama akan mengantarnya ke dalam juga.
“Mengantarmu,” jawab Rama kemudian menggenggam tangan Jenie dan melangkah bersama memasuki lobi.
Jenie terkejut, ia menatap tautan tangannya dan menatap Rama bergantian. Ia ingin menolak, menyuruh Rama menunggu di mobil tapi percuma.
Tak lama kemudian, Jenie telah berada di HRD. Semua orang di sana terkejut dengan pengunduran dirinya yang tiba-tiba dan lebih terkejut karena alasannya akan menikah dengan Rama. Mendadak ruang HRD itu pun menjadi heboh karena kepala HRD mengenal siapa Rama sebenarnya.
“Aku tak mengira akan semudah ini,” ucap Jenie menatap surat pengunduran dirinya di tangan. Ia hanya menunggu dan semua orang telah menandatangani surat pengunduran dirinya.
“Apa ini juga karena uang?” tanya Jenie seraya menoleh menatap Rama dari samping.
Pasalnya, dulu temannya pernah mengundurkan diri dan dipersulit. Temannya itu harus mondar-mandir mendapatkan tanda tangan dari petinggi perusahaan seorang diri.
Rama mengedikkan bahu. “Aku tak akan mengeluarkan uang hanya untuk hal seperti ini,” jawabnya. “Kau tidak ingin mengundang teman-temanmu?”
Jenie menghentikan langkah. Sekarang ia masih berada di lantai 3 dan tempatnya bekerja berada di lantai 2. Ia punya kesempatan bertemu teman-temannya untuk pamit serta memberikan undangan.
“Jen, kau kah itu?”
Jenie menoleh dan mendapati satu rekan divisinya berjalan ke arahnya.
“Icha, apa yang kau lakukan di sini?”
“Ada yang harus kuurus di HRD. Kenapa kau tidak masuk tapi malah di sini? Dan tunggu dulu, dia … siapa?” Melirik Rama yang berdiri di samping Jenie.
Jenie tampak gugup jika harus memperkenalkan Rama. Haruskah ia mengatakannya?
“Calon suaminya.”
Wanita bernama Icha itu begitu terkejut mendengar jawaban Rama dan melihat pria itu merangkul bahu Jenie.
“Hah? Calon suami? Kau serius, Jenie?” tanya Icha yang tampak tak percaya dan memperhatikan Rama dari kepala hingga ujung kaki.
Jenie hanya diam. Ia tahu kabar ini pasti sangat mengejutkan bagi teman-temannya. Bukan karena pernikahannya yang telah di depan mata melainkan, semua orang tahu bahwa pacarnya adalah Deri, bukan Rama.
Rama mengambil beberapa undangan dari tas Jenie dan memberikannya pada Icha.
“Tolong berikan pada teman-temanmu. Kami sangat menunggu kehadiran kalian,” ucap Rama.
Icha menerima undangan itu di mana wajahnya masih tampak shock. Yang ia tahu, pacar Jenie adalah Deri, bukan pria tampan di hadapannya ini.
“Cha, aku duluan, ya. Sebenarnya aku ingin menemui teman-teman tapi, ada hal penting yang harus kulakukan setelah ini. Sampai jumpa.” Jenie bergegas menarik tangan Rama meninggalkan Icha yang masih bengong. Hingga Jenie dan Rama memasuk lift, Icha masih berdiri dalam diam menatap pintu lift yang tertutup juga undangan di tangan.
Jenie menghela nafas panjang dan menoleh pada Rama menuntut jawab. “Kenapa kau melakukannya?”
Dahi Rama sedikit berkerut. “Mengundang temanmu?” tanyanya.
Jenie mengangguk. “Semua orang tahu pacarku adalah Deri. Mereka pasti terkejut karena aku justru menikah denganmu!”
“Itu bukan urusanku. Aku tidak ingin kakek curiga jika tak ada seorangpun temanmu yang datang.”
Jenie menatap Rama nyalang. Namun, pada akhirnya ia membenturkan kepala pada dinding lift.
Tak lama setelahnya, keduanya telah berada dalam perjalanan sampai tiba-tiba Jenie meminta turun di jalan.
“Berhenti di sini. Aku ingin bertemu dengan seseorang.”
Rama melirik Jenie sekilas dan menghentikan mobil sesuai keinginannya.
“Tidak mau kuantar?” tawar Rama seakan ia tahu ke mana tujuan Jenie pergi.
Alis Jenie berkerut menatap Rama mendengar tawaran pria itu. Ia merasa hari ini Rama lebih ramah dari semalam. Semalam pria itu seperti manusia pemarah bermata tajam dan sekarang dia sedikit lebih lembut. Bahkan saat memberikan undangan pada Icha, pria itu tersenyum.
“Tidak perlu. Kurasa ini bukan urusanmu,” jawab Jenie membalas ucapan sarkas Rama sebelumnya.
Setelah mengatakan itu, Jenie turun dari mobil dan mencegat taksi dan tujuannya adalah, rumah Deri.