Rama memijit pangkal hidungnya dan berjalan mondar-mandir. Saat dirinya pulang, ia telah disambut pelukan Adam disertai tangis haru.
“Ma– maafkan aku. Aku sama sekali tidak tahu kenapa kakek bisa berpikir seperti itu,” ucap Jenie yang duduk di sofa. Matanya berkaca-kaca menahan tangis takut jika Rama memarahinya.
Adam telah pulang beberapa saat yang lalu sebelum Rama dan Jenie sempat memberinya penjelasan. Jenie sama sekali tak diberi celah waktu untuk mengatakan bahwa ia tidak hamil begitu juga Rama. Kakeknya itu terus saja mengoceh dan berandai-andai bahkan menelepon temannya dan mengatakan bahwa ia akan segera jadi kakek buyut. Pria tua itu tampak begitu senang seperti seorang anak kecil yang akan dibelikan mainan yang diinginkan.
Rama menghentikan langkah di depan Jenie dan menatap Jenie dengan pandangan tak terbaca. Padahal, ia berencana membuat alasan perceraian mereka nanti adalah Jenie yang tidak bisa hamil. Tapi, sekarang kakeknya justru salah paham.
Jenie tertunduk dengan saling memainkan kedua ibu jarinya. “Aku hanya mengusap perutku yang lapar dan tiba-tiba sudah ada kakek,” ucapnya.
“Kalau begitu kau harus hamil.”
Seketika Jenie mendongak, menatap Rama dengan mata melebar dan mulut menganga.
“Kecuali jika kau bisa menjelaskan pada kakek bahwa dia hanya salah paham,” ucap Rama kembali.
Jantung Jenie mencelos. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak saat Rama mengatakan kalimat pertama.
Sebenarnya Rama bisa mengatakannya, menjelaskan pada kakeknya tapi, ia tidak bisa melakukannya saat melihat kakaknya begitu antusias. Wajah senang dan haru kakeknya membuatnya tak sanggup mengecewakannya. Tapi, ia juga tak mungkin membuat salah paham kakeknya menjadi nyata. Tak mungkin benar-benar membuat Jenie hamil anaknya.
“Baiklah.” Jenie memejamkan mata sejenak saat mengatakannya kemudian menatap Rama penuh keyakinan. “Aku akan menjelaskan pada kakek bahwa beliau hanya salah paham.”
Akan tetapi, semua tak semudah yang ia kira. Keesokan harinya ia datang ke rumah Adam berniat memberi penjelasan, mengatakan bahwa Adam hanya salah paham. Namun, saat bertemu dengan pria itu, kata-kata yang telah ia rangkai dan susun rapi bahkan sampai berlatih semalaman di depan cermin, hilang tak bersisa dalam memori otaknya.
”Ish, harusnya kau membiarkan Jenie tetap di rumah. Dia ini sedang hamil, tidak boleh capek-capek. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya di jalan? Terjadi sesuatu yang mengancam calon buyutku?” tegur Adam memarahi Rama. Padahal Rama dan Jenie baru tiba dan baru mendudukkan bokongnya di sofa tapi, kakeknya langsung memberinya wejangan.
“Jenie yang memintaku mengantar ke sini. Dia bilang ada yang ingin disampaikan,” ucap Rama kemudian bangkit berdiri. “Ada yang harus Rama urus untuk pernikahan. Aku akan menjemput Jenie setelah urusanku selesai.”
Setelah mengatakan itu, Rama segera pergi tak ingin melihat kekecewaan kakeknya dengan mata kepala sendiri saat Jenie mengatakan yang sebenarnya.
Jenie menatap kepergian Rama dengan pandangan tak terbaca. Dalam hati ia menangis dan berteriak, “Jangan tinggalkan aku ….”
“Haih, kakek hampir lupa jika kalian akan menikah. Kakek terlalu senang mengenai kehamilanmu, Jen. Tapi tenang saja, Rama akan mengurus semuanya. Kau tidak perlu memikirkan pernikahanmu, pikirkan saja calon cucu buyutku,” ujar Adam. Matanya menyipit membuat kerutan di wajah kian tampak jelas. Wajahnya tampak cerah, menunjukkan suasana hatinya yang membuncah.
Jenie menelan ludah susah payah. Bagaimana bisa ia mengatakan kebenarannya pada Adam melihat pria tua itu begitu bahagia? Bagaimana jika ia berkata jujur dan Adam terkena serangan jantung? Tapi, ia harus tetap mengatakannya sebelum terlambat, sebelum Adam semakin menaruh harap.
Jenie menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan kemudian bersiap bicara meski bibirnya bergetar. “Ka– kakek, begini, se– sebenarnya aku ….”
“Apa? Kau hamil?!”
Belum sempat Jenie mengatakannya, suara lantang Shanti terdengar. Wanita itu berjalan menuruni anak tangga diikuti Cecyl di belakangnya. Sebelumnya Cecyl mendengar pembicaraan Adam dan segera mengadu pada ibunya. Ia yang sengaja berniat menguping saat Rama dan Jenie datang, begitu terkejut mendengar Jenie hamil.
“Apa benar wanita ini hamil, Yah?” tanya Shanti setelah kakinya memijak lantai bawah. Ia menatap Adam menuntut jawab kemudian menatap Jenie dengan tatapan nyalang.
“Kenapa kau terkejut begitu, Shan? Apa salahnya? Lagipula mereka sebentar lagi menikah,” jawab Adam.
“Apa? Ayah tanya apa salahnya? Memangnya ayah yakin anak yang dikandungnya anak Rama? Ayah tidak curiga? Selama ini Rama tak pernah menunjukkan kedekatan dengan wanita manapun dan tiba-tiba saja mengenalkannya sebagai calon istri dan sekarang dia hamil?” tukas Shanti bernada emosi. Wajahnya pun menunjukkan kemarahan yang tak dapat terbendung.
“Justru karena itu. Mungkin selama ini Rama sengaja menyembunyikan hubungan mereka. Tapi karena mereka kebablasan, Rama mengenalkannya pada kita dan segera melangsungkan pernikahan,” sanggah Adam yang lebih mempercayai Rama dan Jenie.
Shanti menatap ayahnya dengan pandangan tak percaya. Ia tak mengerti kenapa ayahnya bisa begitu mempercayai Rama juga Jenie padahal baru mengenal wanita itu.
Cecyl mendekati Jenie dan berkata, “Bisa kita bicara?”
Jenie menatap Cecyl dan tampak berpikir. Ia sama sekali tak berniat berurusan dengan wanita itu mengingat apa yang dilakukannya kemarin.
“Aku ingin minta maaf atas kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak sengaja,” ucap Cecyl yang kembali menunjukkan wajah palsu. Wajahnya seakan menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah.
Tatapan Adam memincing tajam ke arah Cecyl. Teringat apa yang Cecyl lakukan kemarin membuatnya waspada.
“Tujuanmu hanya untuk minta maaf, bukan? Kau sudah mengatakannya, tidak perlu mengajaknya bicara hanya berdua,” tegur Adam.
Tubuh Cecyl tampak kaku mendengar teguran kakeknya. Sepertinya, ia tak bisa lagi membodohi kakeknya itu.
Cecyl tertunduk dan kembali berdiri di samping ibunya. Jika ia membantah kakeknya, akan lebih sulit membuat kakeknya menaruh simpati padanya.
“Dan kau, Shan, berhenti mengganggu hubungan Rama dan Jenie. Kau harus menerima kenyataan bahwa Rama tidak menyukai putrimu. Jadi katakan pada Cecyl agar berhenti mengejar Rama. Lagipula, Rama dan Cecyl masih sepupu meski bukan kandung. Jika mereka menikah, apa kata orang-orang? Saat ini Jenie tengah mengandung calon cucu buyutku. Jika terjadi apa-apa pada mereka, kalian adalah orang pertama yang kujadikan tersangka.”
Tangan Shanti mengepal kuat, gemeretak giginya terdengar samar. Tak ingin lepas kendali atas kemarahannya, Shanti memilih pergi kembali ke kamar diikuti Cecyl.
Arah pandang Jenie mengikuti langkah Shanti dan Cecyl yang menaiki anak tangga hingga akhirnya tak terlihat. Dari sikap dan ucapan Adam, sangat jelas pria tua itu memihak padanya dan hal itu kian membuatnya tak berani mengatakan kebenaran.
“Hah … dasar, ibu dan anak sama saja,” gumam Adam kemudian perhatiannya kembali tertuju pada Jenie.
“Maaf kau harus melihatnya, Jenie. Kau tentu tahu kalau Cecyl menyukai Rama jadi kakek harus waspada. Maksud kakek, kakek khawatir Cecyl melakukan sesuatu padamu seperti kemarin. Oh, bagaimana dengan kakimu? Sebenarnya kedatangan kakek kemarin untuk melihat keadaanmu tapi karena kakek mendapat kejutan, kakek sampai lupa. Kakimu baik-baik saja, kan? Apa meninggalkan jejak luka? Apa kau mau operasi untuk menutup bekas lukanya? Ah, tapi kau sedang hamil, apa boleh operasi plastik?”
Jenie menatap Adam dalam diam di mana wajahnya menunjukkan rasa kekaguman. Mungkin Adam bersikap demikian karena mengira ia hamil tapi, ia senang karena merasa diperhatikan. Ia tidak pernah merasakan yang namanya kasih sayang dari seorang kakek. Ia bahkan kehilangan kasih sayang orang tuanya saat masih kecil. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih SD. Dan setelah itu ia tinggal dengan bibinya dengan kehidupan sederhana. Meski begitu bibinya berhasil menjadikannya seorang mahasiswa. Namun, wanita yang berjasa dalam hidup Jenie itu tak sempat melihat Jenie sukses. Bibinya itu meninggal tak lama setelah Jenie lulus kuliah.
Tak terasa setetes air mata jatuh membasahi pipi Jenie. Perhatian yang Adam berikan mengingatkannya pada almarhum kedua orang tuanya dan bibinya.
“Jen, kenapa kau menangis? Apa ada yang salah dengan ucapan kakek? Atau, apa Cecyl melakukan sesuatu padamu?” tanya Adam yang tampak cemas. Ia bahkan sampai bangkit dari duduknya dan menghampiri Jenie.
Jenie mengusap air matanya dan menggeleng. “Tidak, tidak keduanya, Kek. Aku hanya merasa … merasa senang masih ada yang memperhatikan aku selain mendiang ayah, ibu dan bibiku. Perhatian yang kakek berikan mengingatkan aku pada mereka,” ujar Jenie jujur.
Adam tertegun. Ia terkejut dengan ucapan Jenie.
“Kek, aku hanya yatim piatu, tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Kenapa kakek menerimaku?” tanya Jenie menatap Adam dengan mata tampak basah.
Adam yang sebelumnya berdiri, duduk di samping Jenie dengan kedua tangan meremas pelan bahunya. “Karena Rama memilihmu. Aku selalu yakin dengan pilihan Rama.”
“Tapi, kakek dari keluarga terpandang, apa kakek tidak malu cucu kakek menikah dengan wanita biasa sepertiku?” tanya Jenie kembali. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan Salma yang terus menyebutnya yatim piatu seakan statusnya itu begitu rendah.
“Malu? Kenapa kakek harus malu? Bagi kakek, asal Rama bahagia, itu sudah cukup. Sejak Zia meninggal, kakek hampir tak pernah melihatnya tersenyum. Kakek pikir dia tidak bisa melupakan Zia dan itu membuat kakek cemas. Kakek tahu dia mencintai Zia tapi kakek ingin dia tetap melanjutkan hidupnya. Jadi kakek senang saat dia membawamu,” jawab Adam. “dan Kakek lebih senang saat tahu akan punya cucu buyut. Hah … rasanya kakek tak sabar ingin segera melihat cucu buyut kakek. Kakek pikir tidak akan bisa melihat Rama menikah lagi bahkan punya anak. Tapi sekarang, kakek senang karena sebentar lagi kakek akan me iman cucu buyut,” lanjutnya seraya memeluk Jenie. “Terima kasih, Jen. Terima kasih sudah mewujudkan keinginan kakek.”
Jenie hanya diam dalam pelukan kakek Adam. Rasanya, ia tak bisa berkata yang sebenarnya bahwa ia tidak hamil.
Beberapa saat setelahnya, Jenie dan Rama telah dalam perjalanan pulang. Rama menjemput Jenie tak lama setelah ia pergi. Ia kira Jenie telah menjelaskan pada kakeknya tapi, ternyata tidak.
“Ya sudah, hamil saja.”
Seketika Jenie menoleh, mendelik menatap Rama. Sementara itu Rama tetap fokus pada kemudi, pada jalanan yang mulai padat. Ia kesal karena Jenie semakin membuat kakeknya berharap.
“Kau pikir hamil semudah membuat agar-agar? Tinggal direbus sampai mendidih dan diaduk,” sungut Jenie dengan menekuk wajah. Ia ingin Rama membantunya menjelaskan pada Adam tapi, nada suara pria itu terdengar menyalahkannya.
Rama melirik Jenie sekilas. Sepertinya ia tidak bisa membiarkan Jenie me selesaikan masalah ini. Sepertinya, ia juga harus turun tangan agar kesalahpahaman ini tak berbuntut panjang.
Di tempat lain, Deri menatap undangan di tangan. Ia tak percaya calon suami Jenie seorang konglomerat. Ia tak percaya Jenie bisa mendapatkan pria yang ratusan kali jauh di atasnya.
Deri meremas undangan di tangan. Ia tak rela Jenie bahagia. Akan ia buat pernikahan Jenie dan Rama gagal dan hancur.