14. Hari Pernikahan

1711 Kata
Suasana meriah terlihat di ballroom sebuah hotel berbintang di pusat kota dan di sana, di atas panggung yang berhiaskan dekorasi pernikahan yang memukau mata, berdiri Rama dan Jenie yang tengah berdansa. Keduanya telah resmi menjadi pasangan suami istri beberapa jam yang lalu setelah ijab terucap dari mulut Rama dan sahutan kata ‘sah’ terucap dari mulut para saksi. “Tersenyumlah,” perintah Rama. Kedua tangannya melingkari pinggang Jenie di mana sorot matanya menatap lurus pada kedua netranya. “Kau pikir sejak tadi aku menangis? Gigiku bahkan hampir kering karena terus tersenyum,” kata Jenie tanpa menurunkan sudut bibirnya yang terangkat. Kedua tangannya mengalung di leher Rama dan sama seperti Rama, pandang matanya menatap lurus wajah tampan suaminya itu. “Agh!” Rama meringis kala Jenie menginjak kakinya untuk kesekian kali. Namun, ia tetap memasang wajah memuja pada Jenie. “Maaf. Ini pertama kalinya aku berdansa,” ucap Jenie. “sampai kapan kita akan menjadi pusat perhatian mereka? Aku merasa seperti ditelanjangi,” imbuhnya. Sebenarnya ia benar-benar gugup tapi, ia tidak bisa menolak keinginan Rama bahwa mereka harus berdansa. “Sekarang, daripada kakiku semakin bengkak,” jawab Rama dan mengakhiri sesi dansa mereka. Suara riuh pun terdengar dari para tamu undangan. Mereka semua larut dalam kebahagiaan yang terpancar dari wajah pengantin baru itu. Senyuman palsu Rama dan Jenie mampu membuat mereka terbius dan tertipu. Setelah menyudahi dansa mereka, keduanya duduk di pelaminan bak raja dan ratu yang menjadi pusat perhatian. Lantunan musik pun terdengar menghibur para tamu yang datang. Jenie mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang. Di antara banyaknya para tamu ia sama sekali tak menemukan Deri dan ibunya. “Mencari mantan kekasihmu?” bisik Rama tepat di telinga Jenie dan seketika membuat Jenie menoleh. Jenie sedikit menarik kepala ke belakang karena wajah Rama begitu dekat. Meski sebelumnya telah memandangi wajah Rama cukup lama saat berdansa, tetap saja ia masih sedikit gugup ketika pandang mata mereka bertemu. “Apa mereka datang saat kita akad?” tanya Jenie. Saat akad dilaksanakan, ia sama sekali tak memperhatikan siapa saja orang yang ada di sekelilingnya. Otaknya seperti direset ulang dan membuatnya kehilangan sebagian memori otaknya. Rama menatap Jenie dengan pandangan tak terbaca. Apa wanita yang sekarang telah menjabat sebagai istrinya itu sudah pikun? Atau, karena benar-benar bodoh? Padahal ia sudah mengatakan, akad dilaksanakan tertutup dan hanya disaksikan keluarga terdekatnya. Jadi sangat tidak mungkin ada Deri dan ibunya. Rama menarik dagu Jenie membuatnya setengah mendongak di mana wajah mereka begitu dekat. Jenie bahkan dapat merasakan embusan nafas Rama yang hangat. “Kau ingin tahu di mana mereka? Mereka ada di luar, sedang mempermalukan diri mereka sendiri,” ucap Rama kemudian mendaratkan bibirnya di bibir Jenie yang sedikit terbuka. Mata Jenie melebar saat bibir Rama menekan bibirnya. Hanya beberapa detik tapi mampu membuatnya berhenti bernafas. Ibu jari Rama mengusap bibir Jenie kemudian ia kembali menghadap ke depan pada seluruh tamu undangan yang tengah menikmati lantunan musik dari band lokal ternama yang menjadi pengisi acara. Senyuman Rama terus merekah hingga matanya menyipit sementara Jenie masih terpaku tak melepas pandangan dari Rama sedikitpun. Itu memang bukan ciuman pertama tapi, rasanya mampu membuatnya kehilangan akal sehat. Rama menoleh tanpa menghapus wajah palsu yang ditunjukkan pada semua orang. “Jangan bersikap seperti itu ciuman pertama kita,” tegurnya melihat bagaimana reaksi Jenie. Jenie mengambil hand bouquet-nya kemudian mengangkatnya di depan wajah saat ia menarik kerah jas Rama yang membuatnya menunduk. Kini posisi wajah keduanya setengah tertutupi hand bouquet seakan hand bouquet itu menjadi pelindung dipertemukannya bibir mereka dari mata semua orang. Meski, kenyataannya tidak. Tujuan Jenie melakukan itu hanya untuk bertanya sekaligus mendukung sandiwara Rama sebelumnya. “Apa maksudmu mereka di luar?” Di tempat lain, tepatnya di tempat keamanan hotel, Deri duduk bersama ibunya dan dikelilingi beberapa pria bertubuh kekar. Pria-pria itu bukan pihak keamanan hotel melainkan anak buah Rama yang bertugas menangani Deri dan ibunya. Sebelumnya Deri dan ibunya datang sebagai tamu undangan. Akan tetapi, Deri mulai membuat keributan saat telah berada di ruang acara. Pria itu menyebar rumor pada para tamu undangan bahwa Jenie merupakan pacarnya dan direbut oleh Rama. Salma pun ikut andil dengan mendramatisir, membuat seolah Jenie adalah wanita yang buruk. Menyelingkuhi anaknya karena mendapatkan lelaki lain yang lebih kaya. Deri sengaja membuat keributan itu untuk mempermalukan Jenie bahkan telah menyusun rencana itu sejak beberapa hari lalu. Setelah ia menyebar rumor dengan menjual kesedihannya, ia akan keluar sebagai korban saat Jenie dan Rama keluar menyambut para tamu undangan. Deri pikir rencananya akan berjalan mulus, playing victim yang akan menghancurkan Jenie. Namun, tidak. Belum sempat membodohi semua orang dengan menjual kesedihan palsu, ia dan ibunya telah diseret ke tempat mereka berada sekarang. “Der, apa yang harus kita lakukan? Cepat lakukan sesuatu,” rengek Salma dengan suara pelan. Sebelumnya ia menunjukkan kegarangan, melawan pria-pria bertubuh tegap dan kekar itu tapi pada akhirnya ia dibuat terbungkam saat salah seorang dari mereka mengatakan akan menjebloskannya ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. “Diam, Bu. Aku sedang berpikir,” ucap Deri. Ia menatap keempat pria yang berdiri di depannya dan berpikir tak mungkin ia melawan mereka dengan kekerasan. Yang ada, ia pasti mati duluan. Sementara menyogok mereka juga sama sekali tidak mungkin. Bayaran Rama pasti lebih menggiurkan daripada sekedar mendapat uang untuk melepaskannya. Rama sudah menyiapkan semuanya termasuk mengatasi masalah Deri dan ibunya. Ia tahu saat Jenie mendatangi rumah Salma waktu itu dan berpikir berjaga-jaga saat hari H untuk antisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bahkan di antara tamu undangan yang hadir, ada pula orang-orang suruhannya. Tiba-tiba seseorang datang, muncul dari tengah di antara empat orang yang berdiri di depan Deri. Pria itu tersenyum hingga matanya menyipit. Namun, justru membuat Deri meneteskan keringat dingin. “Selamat malam. Perkenalkan, namaku Mulya Dwipangga dan aku, adalah kuasa hukum tuan Rama.” Wajah Deri menjadi pucat, menelan ludah pun terasa sulit karena tenggorokan yang seketika kering. Dirinya mungkin bisa melawan dengan memberikan bukti-bukti bahwa ucapannya adalah fakta, Jenie masih jadi kekasihnya belum lama ini. Akan tetapi, ia tidak bodoh, berpikir bisa melawan kuasa hukum Rama di pengadilan nanti. Sudah sangat jelas, semut sepertinya tak akan menang melawan gajah. Sementara itu, Salma mulai ketakutan. Ia merasa seperti seekor tikus yang berhadapan dengan banyak singa. Tangannya pun sampai gemetaran. “Saya dengar anda menyebar rumor di antara para tamu undangan. Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah ini anda?” Kuasa hukum Rama bernama Mulya itu menunjukkan sebuah gambar pada Deri yang membuat mata Deri melebar sepenuhnya. Gambar yang Mulya tunjukkan adalah foto dirinya dan Lisa yang tengah menghabiskan waktu berdua. Mata Mulya yang sipit semakin sipit saat senyuman mengandung makna terus terukir. Deri mungkin bisa menunjukkan bukti bahwa rumor yang disebarkannya benar tapi, dirinya juga bisa membongkar kebusukan Deri dan menjadikannya senjata. *** “Jen, apa kau sudah lelah? Sebaiknya istirahatlah dulu ke kamar,” ujar Adam melihat Jenie tampak kelelahan setelah menyalami para tamu. Meski masih ada cukup banyak tamu di sana, ia tidak ingin terjadi sesuatu pada Jenie karena berpikir Jenie tengah hamil. Jenie berusaha mengukirkan senyuman meski rasanya, sudut bibirnya sudah lelah tersenyum palsu sepanjang hari hingga malam. “Tidak apa, Kek. Lagipula, acaranya belum selesai.” “Ish, tapi kesehatanmu dan calon cucu buyutku lebih penting,” tegur Adam. Ia kemudian menyuruh Rama mengantar Jenie ke kamar yang sudah disediakan. “Rama, cepat antar istrimu istirahat.” Rama melirik Jenie sekilas kemudian menurut, mengantar Jenie ke kamar. “Pipiku sampai ngilu karena terus tersenyum,” keluh Jenie. Saat ini ia dan Rama tengah berjalan menuju kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Rama hanya diam dengan raut wajah tak terbaca. Senyuman yang ditunjukkannya pada semua orang beberapa waktu yang lalu, kini lenyap. “Apa kau akan kembali ke sana?” tanya Jenie setelah langkah Rama terhenti di depan pintu sebuah kamar. “Kau ingin aku tetap di sini dan melakukan malam pertama denganmu?” jawab Rama yang seketika membuat Jenie bergidik. Rama menyeringai tipis kemudian mendorong Jenie hingga punggungnya bertemu pintu. Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat di telinga Jenie. “Kunci pintunya. Atau aku akan memyusulmu saat kau terlelap.” Setelah mengatakan itu, Rama mengambil jarak kemudian membalikkan badan dan melangkah kembali ke tempat acara. Sementara itu Jenie menatap kepergian Rama dalam diam. Jantungnya masih berdebar sejak Rama berbisik di telinga. Bukan bisikan Rama yang membuat jantungnya berdebar hingga tubuhnya meremang melainkan cara pria itu melakukannya. Apa pria itu sengaja ingin menggodanya? batin Jenie yang kini memasang wajah kesal. “Dasar, apa-apaan itu? Bilang langsung kan bisa, tidak perlu berbisik di telinga,” gerutunya kemudian masuk ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar, Jenie langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk hingga tubuhnya memantul. Ia benar-benar lelah. Jenie menatap langit ruangan dalam diam memikirkan kejadian hari ini. Tak pernah terbayang dalam hidupnya ia akan menikah hari ini dengan pria yang tidak ia cintai. Baiklah, pria itu tampan, kaya, tapi, tak semudah itu membuatnya jatuh cinta terlebih dirinya belum lama dikecewakan oleh Deri. Jenie memejamkan mata sejenak. Ia harap ia tidak akan jatuh cinta pada Rama. Setelah sandiwara merek berakhir, ia akan memulai kehidupan barunya di tempat lain. Meninggalkan kenangan bersama Deri selama ini juga kenangan status sebagai istri Rama. Jenie bangun menegakkan punggungnya kemudian meregangkan tangan ke atas. Padahal hanya berdiri dan tersenyum pada semua orang tapi, tubuhnya seakan mau remuk. Tiba-tiba perhatian Jenie jatuh pada segelas air dan sepotong kue di atas meja kecil samping ranjang. Ia pun berpikir itu pasti disediakan untuknya. “Aku memang belum makan apapun dari tadi siang,” gumam Jenie kemudian segera menikmati kue juga meminum air putih itu hingga tinggal separuh. Jenie menutup mulut saat bersendawa kecil setelah memakan kue tersebut. Kini perutnya telah terisi meski belum membuatnya kenyang sama sekali. Tiba-tiba Jenie merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Kepalanya tiba-tiba pening tak lama setelah ia menikmati kue coklat tadi. “Sssh, kenapa kepalaku pusing sekali? Sepertinya, aku harus segera tidur,” gumam Jenie. Padahal ia tengah memikirkan kejadian hari ini dan apa yang akan terjadi besok. Ia berniat menjeda sejenak untuk istirahat karena baru saja mengisi perut. Tapi, pening yang mendera dan rasa tak nyaman pada tubuhnya pada akhirnya memaksanya segera memejamkan mata. Tak lama kemudian, pintu kamar Jenie terbuka dan masuklah seorang pria yang berjalan mengendap menghampiri Jenie yang terlelap di atas ranjang. Jenie lupa mengunci pintu seperti pesan Rama. Pria itu memperhatikan Jenie dalam diam kemudian seringai lapar nan bengisnya pun tercipta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN