12. Balas Dendam dengan Elegan

1300 Kata
Jenie menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan hingga beberapa kali kemudian mengetuk pintu rumah Deri. Ia sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan Salma, mantan calon ibu mertuanya. Tak lama kemudian pintu terbuka menunjukkan Salma yang sedikit terkejut melihat siapa tamu yang datang. “Selamat pagi,” ucap Jenie dengan senyum manis menghiasi bibir meski dalam hati ia mengumpat memaki wanita yang berdiri di hadapan. “Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” kata Salma dengan raut wajah sinis dan Jenie sudah terbiasa dengan itu. Belum sempat Jenie menjawab, ucapan sarkas Salma terdengar. Wanita itu bersedekap d**a, menunjukkan sikap angkuhnya dan melontarkan kata-kata pedas. “Apa kau ke sini untuk mengemis kembali pada anakku? Cih, jangan bermimpi. Deri sudah menemukan wanita yang tepat yang pantas bersanding dengannya, bukan wanita seperti dirimu. Harusnya kau sadar, kau tak pantas bersanding dengan Deri anakku.” Sudut bibir Jenie tetap terangkat meski wanita paruh baya itu berkata demikian. Ia bahkan seakan sengaja membiarkan Salma mengeluarkan unek-uneknya mengenai dirinya selama ini. Dahi Salma tampak berkerut melihat reaksi Jenie. Jenie tetap tenang bahkan tak melunturkan senyuman dan hal itu membuatnya dongkol. “Lalu apa yang kau tunggu? Apa kau begitu bodoh sampai tak tahu maksud ucapanku? Mau sampai mati pun kau berdiri di sini aku tak akan membiarkanmu kembali pada Deri. Deri sudah bersama wanita yang lebih segala-galanya darimu. Harusnya kau sadar dan malu, dari segi manapun kau tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Hanya lelaki bodoh yang mau dengan wanita miskin dan yatim piatu sepertimu.” Rahang Jenie mengeras mendengar kata yatim piatu. Meski itu benar adanya, dirinya memang sudah tidak punya orang tua tapi, tak sepantasnya Salma berkata demikian hanya untuk menghancurkan mentalnya. “Ah, kudengar kau menyelingkuhi anakku? Cih, hanya orang bodoh yang percaya. Deri mau denganmu saja sudah syukur. Mana mungkin ada lelaki lain yang sudi denganmu kalau tahu kau hanya anak yatim piatu yang tak punya apa-apa? Apalagi lelaki itu orang berada. Itu sangat-sangat tidak mungkin,” ejek Salma teringat ucapan Deri kemarin. Ia tetap tak percaya Jenie punya selingkuhan bahkan dari kalangan orang berada. Jenie tetap mengukirkan senyuman meski rahangnya semakin mengeras. “Sudah selesai?” kata Jenie. Jika bukan karena Salma wanita yang lebih tua darinya, mungkin ia sudah menyumpal mulut wanita itu dengan sepatu. “Aku memang yatim piatu dan kurasa, tidak ada yang salah dengan hal itu. Setiap orang punya takdir masing-masing dan mungkin takdirku adalah menjadi yatim piatu sejak aku kecil. Anda harus bersyukur putra anda tidak mengalaminya, sampai sekarang orang tuanya masih ada. Tapi, kuharap anda tidak melupakan sesuatu. Sesuatu yang hidup pasti akan mati.” Mata Salma melotot mendengar kata terakhir yang terucap dari mulut Jenie. Namun, belum sempat makian keluar dari mulut hendak membalas ucapan Jenie, sebuah undangan terulur. “Kuharap anda dan putra anda hadir,” ucap Jenie seraya memberikan undangan pernikahannya. Kerutan di dahi Salma kian jelas terlihat. Menatap undangan yang Jenie berikan, ia mengambilnya dari tangan Jenie dengan kasar. “Aku bersyukur Deri memutuskan hubungan kami kemarin karena aku tidak perlu melakukannya. Selama ini aku merasa bersalah sudah selingkuh dengan pria yang lebih segalanya dari Deri tapi sekarang aku merasa terbebas dari beban karena dia yang minta putus duluan.” Jenie mengatakan kalimat itu dengan tenang bahkan dihiasi senyuman hingga matanya menyipit. Sementara itu Salma masih menatap undangan di tangan, memperhatikan foto Jenie dan calon suaminya yang terpampang jelas. “Kurasa, aku harus segera pergi. Terima kasih sudah meluangkan sedikit waktu anda, kuharap anda dan putra anda bisa menghadiri hari bahagia kami. Ah, tapi sebelum itu, ada yang harus kusampaikan. Anda tahu pepatah bahwa di atas langit masih ada langit, bukan? Anda menyuruh putra anda berpisah denganku demi wanita yang derajatnya di atasku tapi sekarang, aku justru mendapat lelaki yang derajatnya jauh, dan jauh lebih tinggi dari derajat anakmu bahkan wanita itu,” ujar Jenie congkak bahkan sengaja mengukirkan seringai mengejek. Mata Salma kembali melotot melihat tatapan dan seringai mengejek juga menghina yang Jenie tunjukkan. Kemarahannya pun meluap-luap hingga meremas undangan di tangan dan melemparnya pada Jenie yang membalikkan badan hendak melangkah pergi dari sana. “Dasar jalang! Kau pikir dengan undangan ini bisa membuatku menyesal menyuruh Deri meninggalkan wanita sepertimu? Sama sekali tidak! Bagiku kau tetap sampah yang tak ada artinya!” teriak Salma dengan wajah merah karena emosi meluap. Ia tak terima Jenie menghinanya, menginjak-injak harga dirinya. Jenie tetap diam, kemudian setengah membalikkan badan menatap Salma. “Sampah di matamu, tapi berlian di mata calon suamiku,” ucapnya seraya kembali melempar seringai mengejek kemudian membalikkan badan dan melanjutkan langkah. Kepala Salma seakan berapi, wajahnya merah padam, tangannya terkepal kuat. Rasa hati ingin mencabik mulut Jenie merasa dirinya benar-benar direndahkan. “Awas kau, wanita sialan,” geram Salma. Sementara itu, Jenie melangkah dengan tenang meninggalkan kediaman Deri. Ia merasa puas, sangat-sangat puas berhasil membuat Salma naik pitam. Karena dengan begitu, artinya ia berhasil membuat Salma merasa direndahkan, sama seperti dirinya yang Deri rendahkan dengan menyebutnya sampah. Kembali pada Salma, ia memungut undangan yang ia lempar sebelumnya melihat siapa sebenarnya sosok calon suami Jenie hingga Jenie begitu sombong. “Rama Narendra,” gumam Salma kemudian masuk ke dalam rumah mengambil ponselnya. Jika calon suami Jenie benar-benar orang kaya, harusnya namanya ada di pencarian mengingat bagaimana Jenie begitu sombong seakan calon suaminya seorang konglomerat ternama. “Kita lihat sekaya apa calon suamimu hingga kau begitu sombong, anak yatim,” gumam Salma kemudian mulai mengetikkan nama Rama pada kolom pencarian di internet. Hanya dalam hitungan detik, layar ponsel Salma menunjukkan beberapa hasil dari apa yang ia cari. Terdapat beberapa artikel yang memuat berita mengenai Rama Narendra dan itu membuat Salma benar-benar terkejut hingga tangannya gemetar. Jika sampai nama calon suami Jenie muncul tentu saja pria itu bukan pria sembarangan. Salma menelan ludah. Ia yakin nama Rama yang tertera pada layar, bukan Rama calon suami Jenie. Namun, ia dibuat menganga saat membuka salah satu artikel yang membahas biodata Rama Narendra. Rama Narendra merupakan cucu salah satu pengusaha ritel terbesar di Indonesia. Sementara Rama sendiri merupakan pemilik Ramajaya Finance, sebuah perusahaan penyediaan pembiayaan konsumen yang telah mengoperasikan lebih dari 300 jaringan usaha di seluruh Indonesia. Salma menjatuhkan ponselnya, ia seperti terkena serangan jantung melihat profil dan biodata Rama, Rama Narendra calon suami Jenie. Tak dapat menerima kenyataan, ia pun pingsan tak sadarkan diri. *** Jenie memijit kepala mendengar ponselnya yang terus berdering. Tak ingin terus terganggu, Jenie memilih mematikan ponselnya. “Hah … semua ini gara-gara Rama. Mereka semua jadi menerorku,” keluh Jenie. Sejak jam makan siang, ponselnya tak berhenti berbunyi karena pesan dari teman-temannya bahkan dari nomor tak dikenal dan semuanya menanyakan kebenaran kabar pernikahannya dengan Rama. Jenie melirik jam dinding dan Rama masih belum kembali. Ia segera pulang setelah memberi Salma pelajaran. Ia juga langsung memasak untuk makan siang. Bukan semata menjalankan tugas sebagai calon istri yang baik, tapi karena ia lapar. Jenie menatap hasil masakannya yang telah tersaji di atas meja makan. “Apa aku makan duluan saja?” batinnya karena sudah sangat kelaparan. Tapi, ingat jika semua yang dimasaknya adalah milik Rama, ia merasa tidak enak jika makan duluan. Jenie mengusap perutnya yang terus berbunyi dan bergumam, “Sabar ya, Nak. Kita tunggu pria itu pulang baru aku bisa mengisimu.” Prak! Suara benda jatuh membuat Jenie menoleh ke sumber suara dan mendapati Adam berdiri di ambang pintu dapur. Ia terkejut, terlebih melihat bagaimana pria tua itu menatapnya. “Ka– kakek?” Adam tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari Jenie kemudian berjalan perlahan menghampiri Jenie dengan langkah tampak kaku seakan baru saja mendapat kabar mengejutkan. “Je– Jenie … jadi … kakek akan jadi kakek buyut?” tanya Adam terbata. Ia melihat saat Jenie mengusap perutnya dan mendengar samar gumamannya. Ia pun berpikir Jenie tengah hamil anak Rama dan ia akan segera jadi seorang kakek buyut. Mata Jenie melebar dengan wajah tampak pucat. Entah kenapa, perasaannya mulai tidak enak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN