Plak!
Jenie menepis tangan Rama membuat ponselnya jatuh. Dirinya benar-benar cemas dan takut jika Rama benar-benar menelepon Deri.
Rama melirik ponselnya yang tergeletak di bawah kakinya. “Dasar pengecut,” gumamnya.
“Memangnya siapa kau sebenarnya? Bagaimana bisa kau punya nomor Deri?!”
Rama hanya diam. Sebenarnya, ia bukan menghubungi Deri. Dari mana dia tahu nomor Deri? Mereka tidak saling kenal. Sebenarnya ia menghubungi seseorang untuk diperintahkannya mencari tahu soal Deri sekaligus mengancam Jenie. Dan siapa kira, ancaman palsunya benar-benar membuat Jenie takut. Sekarang, ia punya cara jitu membuat Jenie tunduk.
“Bukan hal sulit bagiku mengetahui identitas seseorang termasuk dirimu. Jadi, berhenti berteriak dan lakukan saja apa yang aku katakan.”
Jenie menatap Rama dengan mulut terbuka. Haruskah ia percaya? Namun, sikap Rama memaksanya harus mempercayainya.
“Sekarang, tunjukkan di mana rumahmu.”
Pada akhirnya Jenie mengalah. Ia yang sebelumnya memberontak, kini mulai menurut.
“Lurus saja. Nanti ada pertigaan belok kanan,” ucap Jenie yang kini tertunduk lesu seakan dunianya telah hancur.
Rama melirik Jenie sekilas. Ia tak mengira sangat mudah membuat Jenie bertekuk lutut.
Tak berapa lama kemudian, mobil Rama memasuki jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Ia mengikuti petunjuk sesuai yang Jenie berikan.
“Kau tidak memberiku jalan yang salah, kan?” tanya Rama penuh selidik melihat tidak ada rumah yang ia lewati.
“Berhenti,” ucap Jenie. “Rumahku ada di ujung jalan.”
Mendengar itu Rama membuka kunci pintu dan Jenie pun turun diikuti dirinya.
“Jika boleh tahu, untuk apa kau harus tahu rumahku?” tanya Jenie yang kini berdiri di depan mobil Rama dengan Rama yang berdiri di depannya.
“Jangan banyak bicara dan katakan saja di mana rumah–”
Belum sempat Rama menyelesaikan ucapan, erangan kesakitan lolos dari mulut saat secara tiba-tiba Jenie menendang selangkangannya.
Rama menekuk lutut membuatnya berlutut dengan kedua tangan memegangi asetnya yang menjadi korban tendangan.
“Rasakan itu! Mentang-mentang kau membantuku maka aku harus menurutimu? Jangan bermimpi!” ucap Jenie kemudian segera berlari pergi. Ia sudah merencanakan ini sejak Rama menanyakan alamat rumahnya. Tak ingin terlibat masalah semakin jauh dengan Rama, ia memutuskan membohonginya. Ia harap setelah ini masalah mereka selesai.
“Aargh! Awas kau!” geram Rama dengan desisan menahan ngilu pada asetnya seraya menatap kepergian Jenie.
Beberapa saat setelahnya, Jenie tiba di rumahnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan kaki menggantung di tepi ranjang. Kakinya terasa pegal setelah berlari dari tempat kejadian perkara menuju jalan besar untuk mencegat taksi.
Jenie menatap langit kamarnya dan terus menghela nafas. Ia harap ia tak akan pernah bertemu lagi dengan Rama dan ingin segera bertemu dengan ibunda Deri. Ia masih sangat yakin keputusan Deri berpisah atas bujukan ibunya.
Tatapan Jenie perlahan tampak kosong. Yang ada di kepalanya, bagaimana cara membalas ibunda Deri jika terbukti wanita itu yang membuat Deri memutuskan hubungan dengannya. Sekiranya balasan itu membuat ibunda Deri menyesal dan memilih merestui hubungan mereka. Karena bagaimanapun, ia masih mencintai Deri.
Tanpa dirasa Jenie mulai memejamkan mata saat kantuk mendera kala otaknya lelah memikirkan masalah yang ia alami hari ini. Ia harap setelah meraih alam mimpi dan bangun nanti, pikirannya terbuka dan mendapat cara menyelesaikan masalahnya.
***
Dahi Jenie berkerut mendengar suara berisik yang mengganggu istirahatnya. Alhasil, ia terbangun dari tidur cantiknya dan menggerutu memaki sesiapa yang membuat suara berisik itu.
“Iya-iya!” seru Jenie mendengar suara berisik itu bersalah dari ketukan pintu. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, ia bangun dari tempat tidur dan menuju pintu depan untuk membuka pintu.
“Hoam … siapa yang bertamu sore-sore begini?” gumamnya dengan tangan menutupi mulut yang menguap. Ia sempat melihat jam yang menunjukkan angka 4 sore.
Saat Jenie hampir sampai depan pintu, pintu itu kembali diketuk bahkan lebih keras membuatnya kesal.
“Ish!” geram Jenie kemudian segera membuka pintu. “Apa yang kau inginkan?! Kau benar-benar–”
Suara Jenie terhenti saat melihat siapa yang berdiri di hadapan kala ia membuka pintu. Matanya membulat sempurna karena begitu terkejut. “Di– dia … bagaimana bisa?” Adalah satu kalimat yang melayang dalam otaknya. Karena, seseorang yang berdiri di hadapan saat ini adalah, Rama.
Tak ada ekspresi berarti yang Rama tunjukkan bahkan, auranya terkesan amat dingin. Bagaimana tidak? Jenie bisa saja membuatnya mandul dengan apa yang dilakukannya. Sontak saja tak akan ada ampun bagi Jenie.
“Ka– kau ….” Suara Jenie tercekat terlebih saat Rama melangkah maju dan reflek membuatnya melangkah mundur. Jenie benar-benar tampak shock melihat Rama di rumahnya. Padahal ia berharap tak akan pernah bertemu lagi dengan Rama tapi, pria itu justru mendatangi rumahnya.
Rama menatap Jenie dalam diam dan merasa menang melihat reaksi yang Jenie tunjukkan. Wajahnya pucat, matanya melotot karena terkejut dan ia dapat melihat setetes keringat jatuh dari pelipis.
“Kau harus jadi istriku. Jika menolak, kau akan tahu sendiri akibatnya.”
Nyali Jenie seketika menghilang. Dirinya seperti seekor semut gula, semut yang begitu kecil berwarna hitam kecoklatan sementara Rama adalah singa yang siap meleburnya ke dalam tanah.
Beberapa saat kemudian, Jenie membawa teh hangat dari dapur untuk disajikan pada Rama. Dengan tangan gemetar, diletakkannya secangkir teh panas itu ke atas meja di hadapan Rama.
“Silakan,” ucap Jenie di mana suaranya terdengar bergetar.
Rama menatap secangkir teh yang dihidangkan untuknya dalam diam kemudian menatap Jenie yang duduk dengan hati-hati ke kursi. Sekarang, posisi mereka saling duduk berhadapan dibatasi meja ruang tamu
Dalam hati Jenie tak berhenti merutuki apa yang terjadi, bagaimana pria di depannya ini memintanya jadi istri tanpa mau diganggu gugat.
“Kau berhutang budi padaku dan aku menagihnya sekarang. Kau harus jadi istriku, melakukan apapun yang aku katakan dan perintahkan. Kau tak kuizinkan berbuat sesuka hatimu. Selama jadi istriku kau harus patuh,” ucap Rama dengan begitu jelas.
Jenie semakin dibuat terkejut dan tak mengerti. Ia yang sebelumnya tampak ketakutan, pada akhirnya mulai memberontak.
“Kenapa aku harus melakukan itu? Maksudku, aku hanya berhutang padamu satu tapi kau menuntutku membayarnya dengan sangat mahal!”
“Itu semua resiko yang kau dapat karena berurusan denganku. Jika kau berani berbuat yang tidak-tidak bahkan macam-macam.” Rama menjeda ucapannya dengan sengaja menekan kata-kata terakhirnya seakan bermaksud memberi sindiran sekaligus peringatan. “Aku akan menemui kekasihmu dan mengatakan bahwa kau hanya penipu.”
Tangan Jenie terkepal kuat dengan gigi bergemeletuk. “Kau kira aku peduli? Itu lebih baik daripada harus jadi istrimu, jadi budakmu! Aku tak sudi!”
Jenie berucap lantang hingga berdiri dari duduknya. Ia menatap Rama dengan d**a naik turun berusaha mengatur nafas. Sementara Rama tetap pada posisi dan ekspresinya. Namun, hanya sesaat karena setelahnya ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang.
“Dia hanya menggertak, dia hanya menggertak!” jerit Jenie dalam hati berusaha berpikir positif tak mungkin Rama benar-benar menghubungi Deri.
Namun, seketika matanya kembali melebar saat panggilan itu mendapat jawaban di mana suara itu adalah suara Deri. Tentu saja Jenie mengetahuinya, mengingat suara Deri dengan jelas bahkan sudah hafal di luar kepala.
“Halo. Aku hanya ingin mengatakan bahwa–”