Trak!
Ponsel Rama jatuh ke lantai dan tentu saja itu karena ulah Jenie. Jenie merampas ponsel Rama dan membuangnya begitu saja saking takutnya Rama bicara pada Deri kebenarannya.
“Baiklah, ya! Apa kau puas? Tapi jangan katakan padanya apa yang sebenarnya terjadi!” pekik Jenie dengan nafas tak terkendali. Ia tak tahu bagaimana Rama bisa tahu alamat rumahnya bahkan bisa tahu nomor ponsel Deri. Sepertinya, ia benar-benar telah berhadapan dengan pria yang salah.
Rama melirik ponselnya yang kini teronggok di lantai kemudian menatap Jenie tanpa menghapus raut wajah datarnya.
“Kemasi barangmu,” perintah Rama.
Jenie nyaris menganga. “Apa? Apa katamu? Kau menyuruhku mengemasi barangku? Memangnya aku harus ke mana? Apa kau ingin menghancurkan gubuk reyot ini agar aku menurutimu? Apa ucapanku tadi kurang jelas? Aku setuju, terserah apa maumu apa yang harus kulakukan tapi, jangan beritahu Deri bahwa aku hanya memanfaatkanmu!”
Rama mengambil ponselnya kemudian mencoba menghidupkannya kembali. Dan untung saja ponsel seharga motor itu masih berfungsi setelah dua kali menjadi korban tangan Jenie.
“Lima menit untuk kemasi barangmu,” kata Rama seraya menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan stopwatch.
“Apa? Jelaskan dulu padaku untuk apa aku harus mengemasi barang-barangku!”
“Satu menit. Tinggal empat menit lagi.”
Tangan Jenie terkepal kuat. Rasa hati ingin menjambak rambut Rama bahkan menginjak-injak kepalanya tapi, untuk saat ini tak ada pilihan lain selain menuruti perintahnya. Semua ini demi keselamatan harga dirinya. Ia tidak ingin Deri semakin menginjak-injak harga dirinya jika tahu ia hanya berbohong soal Rama.
“Aaagh!” Jenie berteriak dengan menjambak rambutnya kemudian berbalik pergi ke kamarnya dan segera mengemasi barangnya.
“Dasar gila, sinting, memangnya apa yang mau dia lakukan? Apa di mau mengusirku?” Jenie terus menggerutu memaki Rama seraya memasukkan bajunya ke dalam tas besar.
Sementara itu, Rama masih berdiri di tempat dan memperhatikan layar ponselnya juga pintu kamar Jenie yang tertutup. Ingatan saat Jenie menendang asetnya membuat darahnya kembali mendidih. Ia pun sengaja menghentikan waktu yang diberikan pada Jenie untuk berkemas meski masih tersisa 2 menit lagi.
Rama memasukkan ponselnya dan berjalan menyusul Jenie di kamarnya. Namun, ia hanya berdiri di ambang pintu dan bersedekap d**a.
“Waktumu habis.”
Tubuh Jenie merinding dan seketika kaku. Ia menoleh ke belakang pada Rama dengan mata mendelik. “Jangan bercanda, mana mungkin secepat itu?!”
Rama hanya diam kemudian melangkah menghampiri Jenie. Dan … tap! Diraihnya pergelangan tangan Jenie dan menariknya.
“Sudah kukatakan, hanya lima menit.”
“Ta– tapi aku belum selesai!” Jenie berusaha meraih tasnya yang teronggok di lantai. Namun, karena Rama langsung menyeretnya membuatnya tak sempat membawa tasnya.
“Le– lepaskan! Memangnya kau mau membawaku ke mana?!”
Jenie berusaha melepaskan diri, melepaskan cengkraman Rama yang begitu kuat. Tapi, ia tak bisa. Apa ia tendang lagi saja aset Rama agar bisa melepaskan diri? Namun, sebelum itu terjadi dengan cepat Rama telah memasukkannya ke dalam mobil seperti memasukkan seonggok barang tak penting.
Bunyi pintu mobil tertutup terdengar diikuti Rama yang telah duduk di depan kemudi.
“Sebenarnya kau mau membawaku ke mana?” Jenie bertanya dengan nafas menderu tak terkendali.
“Ke rumahku. Kau akan tinggal di rumahku sampai hari pernikahan,” jawab Rama kemudian mulai melajukan mobilnya pergi meninggalkan kediaman Jenie.
Mulut Jenie terbuka, matanya melebar sempurna. Apa pria yang duduk di sebelahnya ini tengah bercanda?
“Jangan bercanda,” ucap Jenie. Ia menepuk jidat berharap ini semua hanya mimpi atau lelucon.
Rama melirik Jenie lewat ekor mata kemudian mengatakan, “Tapi sebelum itu ada yang harus kita urus.”
Rasanya Jenie ingin pingsan. Tahu begini, ia tak akan sembarang menarik tangan Rama dan menjadikannya alat untuk membungkam mulut Deri.
Tak lama kemudian, Rama telah berada di kamar hotel dan tentu saja bersama Jenie.
Jenie duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk dan bersedekap d**a. Ia tidak tahu tujuan Rama membawanya ke sana tapi jika Rama berniat melakukan sesuatu yang tidak-tidak, ia tak akan tinggal diam.
“Ini. Tanda tangan.”
Rama meletakkan selembar kertas di samping Jenie beserta pulpen sebagai alat tanda tangan. Alis Jenie berkerut tajam menatap kertas itu kemudian melihat apa yang tertulis di atasnya. Seketika dahinya kian berkerut kemudian menatap Rama yang berdiri di depannya dengan kedua tangan masuk saku celana.
“Apa ini?”
“Kau buta huruf?”
Jenie berdiri menunjuk kertas di tangannya dengan pulpen. “Maksudku, kenapa aku harus tanda tangan surat perjanjian tidak masuk akal ini?!”
“Agar kau tidak kabur atau lepas dari tanggung jawab. Kau harus jadi istriku paling lambat selama enam bulan. Selama itu saat kau jadi istriku aku akan bertanggung jawab sepenuhnya sebagai suamimu. Kau mendapatkan nafkah, tinggal di rumahku dan harus mengerjakan tugas seorang istri. Kau harus menuruti apa yang aku katakan tanpa terkecuali. Dan satu lagi, tidak ada yang boleh tahu rahasia ini. Jika sampai ada yang tahu walau satu orang sekalipun, aku akan mengatakan pada mantan kekasihmu bahwa kau hanya penipu ulung. Akan kukatakan kau mengemis padaku agar aku mau bersandiwara denganmu,” ujar Rama panjang lebar. Ia mengatakannya dengan jelas dan tegas.
Jenie tak mampu bersuara, tangannya terkepal kuat meremas kertas di tangan. “Bagaimana jika aku menolak?”
“Saat ini juga aku akan katakan padanya kebenarannya. Bukan hanya padanya, tapi pada ibunya. Kurasa dengan begitu ibunya akan semakin menganggapmu sampah. Harusnya kau tidak meragukan ucapanku jika kau tidak lupa, menemukan rumahmu saja sangat mudah bagiku.”
Sebulir keringat menetes dari pelipis Jenie. Ia tengah berpikir keras, apa yang harus ia lakukan. Apa ia harus menerimanya? Sama artinya dirinya menyewakan kehidupannya selama 6 bulan. Selain itu, yang mengganggu pikirannya adalah, apakah ia juga harus melakukan tugas seorang istri yakni 'itu'? Tapi, mereka tidak saling cinta, bahkan tidak saling mengenal.
Namun, tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam benak Jenie. Ia memperhatikan Rama dari ujung kepala hingga sepatu yang dipakainya dan meyakini Rama pastilah orang kaya. Jika ia menikah dengan pria yang lebih kaya dari Deri, ia bisa membungkam mulut Deri dan ibunya.
Jenie menatap kertas di tangan kemudian melirik Rama sekilas lalu merobek kertas itu. Sontak apa yang dilakukannya membuat Rama terkejut dan melebarkan mata.