2. Ternyata Duda

1086 Kata
Rasanya Jenie ingin berlari meninggalkan ketiga orang yang tak berhenti menatapnya. Saat ini ia duduk di samping pria yang memperkenalkannya pada ketiga orang itu bahwa dirinya adalah calon istrinya. Jenie hanya mampu tertunduk merasakan kuatnya remasan tangan pria tampan di sampingnya. “Sudah berapa lama kalian saling mengenal?” Bariton pria yang rambutnya telah memutih itu terdengar membuat Jenie kian merasa tegang. “Itu tidak penting. Yang terpenting adalah, aku memilihnya menjadi istriku,” kata pria yang kian meremas tangan Jenie hingga membuatnya meringis. “Apa? Jangan bercanda, Ram. Ini pernikahan keduamu dan kau ingin main-main?” sahut wanita paruh baya yang duduk bersebrangan dengan pria itu. Seketika Jenie menoleh menatap pria itu sekilas kemudian pada wanita yang baru saja membuka suara. Yang menjadi perhatiannya adalah, ucapan wanita itu yang menyebut pernikahan kedua. Apakah itu artinya, pria di sampingnya ini adalah seorang duda? Pria itu menoleh, menatap Jenie dengan pandangan tak terbaca kemudian kembali menatap wanita yang berstatus sebagai bibinya. “Jika aku main-main, aku tak akan mengajaknya ke sini dan bertemu kalian,” ucapnya. Namanya adalah Rama Narendra, cucu dari Adam Narendra, pria yang saat ini duduk di hadapannya dan terus memperhatikan dirinya dan Jenie bergantian. “Tapi, Ram, kau yakin dengan pilihanmu? Maksudku, dia tidak terlihat dari keluarga terpandang.” Wanita yang sedari tadi diam tak mengalihkan pandangan dari Jenie, akhirnya membuka suara. Wanita itu bernama Cecyl, wanita yang hendak dijodohkan dengan Rama. Seketika pandangan Rama menjadi begitu dingin. “Setidaknya, attitude-nya lebih tinggi darimu," balas Rama sinis. Cecyl terdiam, terkejut dengan kalimat yang Rama lontarkan. “Rama, jaga bicaramu!” bentak Shanti, yakni ibunda Cecyl sendiri. “Sudah cukup,” sela Adam. Dirinya sudah cukup menjadi pendengar dan kini telah memutuskan. “Jika itu keputusanmu, kakek menyerahkan semua padamu. Tapi, ada satu syarat.” “Apa? Apa maksud ayah? Ayah tahu kan kalau Cecyl mencintai Rama?!” sungut Shanti tak terima pada keputusan ayahnya itu. Otak Jenie seperti korslet mendengar perdebatan orang-orang yang baru pertama ia temui. Ia bingung mendengar yang mereka bicarakan. Pria tua di depannya menyebut dirinya kakek, itu artinya Rama pasti cucunya, kan? Tapi, wanita berparas garang di depannya memanggil pria tua itu dengan sebutan ayah dan mengatakan anaknya mencintai Rama. Bukankah artinya mereka masih satu keluarga? Adam melirik Shanti lewat ekor mata dan mengatakan, “Bukankah sudah jelas? Rama tidak memiliki perasaan sebaliknya pada Cecyl.” “Tapi, apa ayah mau Rama menikah dengan wanita yang salah? Bisa-bisa wanita yang menjadi istri Rama akan menjadi penghancur bagi keluarga kita,” sanggah Shanti yang berusaha membela diri. Derit kursi terdengar saat Rama tiba-tiba berdiri tanpa melepas tautan tangannya dengan tangan Jenie. “Kurasa pembicaraan kali ini sudah selesai. Selamat siang,” ucap Rama dengan setengah membungkuk sebagai tanda sopan santun pada kakeknya sebelum pergi dengan menarik tangan Jenie. *** “Aw, lepaskan! Kita sudah di luar, lepaskan tanganku!” sentak Jenie setelah ia dan Rama berada di luar restoran. Rama melepas tangannya membuat Jenie mendesis samar. “Awh." Jenie meringis melihat pergelangan tangannya yang memerah akibat remasan kuat tangan Rama. “Siapa namamu.” Rama bertanya tanpa ekspresi wajah yang berarti. Jenie masih meratapi tangannya kemudian menatap Rama dan mengatakan, “Daripada itu, kenapa kau mengatakan aku adalah calon istrimu? Kita tidak saling kenal!” “Lalu apa yang kau lakukan sebelumnya?” sindir Rama bernada sarkas. Jenie terkejut merasa ditampar fakta. Ia tertunduk dengan wajah lesu. Selama beberapa saat dirinya lupa akan masalahnya dengan Deri tapi, sekarang ia kembali mengingat pria b******k itu. “Aku terpaksa. Dia memutuskan hubungan kami tiba-tiba. Aku tahu aku salah tapi–” “Itu bukan urusanku. Aku tidak peduli masalahmu tapi mulai sekarang, kau adalah calon istriku," potong Rama membuat Jenie mendongak menatapnya. Bukankah ucapan Rama terdengar begitu tak adil? “Apa? Atas dasar apa aku harus menuruti ucapanmu? Baiklah, mungkin aku sudah lancang karena memanfaatkanmu. Aku minta maaf dan kuharap masalah kita selesai,” tegas Jenie kemudian hendak berbalik untuk pergi. Ia merasa masalahnya dengan Rama akan berbelit jika diladeni. Namun, sebelum itu terjadi Rama meraih tangannya dan menariknya. Tarikan tangan Rama yang cepat dan memaksa pada akhirnya membuat Jenie jatuh dalam dekapannya. Mata Jenie melebar melihat wajah Rama begitu dekat. Wajahnya begitu bersih tanpa sedikitpun jejak noda hitam atau bekas jerawat. Alisnya tebal dengan bulu mata hitam pekat. Hidungnya mancung dengan rahang yang tampak tegas. Dan bibirnya, bibir yang sedikit kering itu mengingatkannya pada tokoh drama negeri ginseng kesukaannya. “Kau yang memulainya tapi aku yang memutuskan apakah ini harus berakhir atau tidak. Aku tidak menerima penolakan. Jika kau menolak kesepakatan ini, aku akan menemui kekasihmu dan mengatakan kau hanya wanita menyedihkan yang hanya memanfaatkanku. Jika begitu, kurasa kekasihmu akan semakin menginjak-injak harga dirimu.” Jenie tak bisa mengalihkan pandangan sedikitpun. Dirinya bahkan tak begitu mencerna apa yang Rama katakan kecuali bagian Rama yang akan memberitahu Deri bahwa dirinya telah berbohong. Rama kian menipiskan jarak dan berbisik di telinga Jenie. “Sekarang, tugas pertamamu jangan banyak bicara dan cepat masuk mobilku.” Setelah mengatakan itu Rama menarik diri ke belakang memberi jarak. Ia sengaja melakukan itu saat tahu Cecyl memperhatikannya dari dalam restoran. Ditariknya tangan Jenie agar Cecyl tak curiga kemudian segera memasukkannya ke dalam mobilnya. Gemeretak gigi Cecyl terdengar. Ia meremas tali tasnya dengan satu kaki menghentak seakan menginjak sesuatu hingga lumat. “Sialan, siapa wanita itu sebenarnya? Awas saja, tak akan kubiarkan dia merebut posisiku. Akan kusingkirkan jalang itu seperti menyingkirkan istri Rama yang dulu.” Kembali pada Jenie, mobil yang ditumpanginya mulai melaju sedang melewati jalanan kota yang lengang. Ia tidak bisa berbuat banyak saat Rama memasukkannya dalam mobil seperti sebuah barang. “Kau mau membawaku ke mana? Turunkan aku sekarang!” tuntut Jenie. Ia mulai cemas, berpikir yang tidak-tidak Rama memiliki niat yang buruk padanya. “Di mana alamatmu rumahmu," tanya Rama tanpa peduli Jenie meminta mobil berhenti. “Itu bukan urusanmu. Sebaiknya, segera turunkan aku!” Rama melirik Jenie sekilas dan kembali fokus pada jalanan. “Kau ingin aku menghubungi kekasihmu?” ucapnya mengancam. Jenie menatap Rama dengan dahi berkerut kemudian tersenyum mengejek. “Hubungi saja dan katakan. Aku tidak peduli," ucapnya congkak. Ia begitu yakin Rama hanya menggertak. Rama mengambil ponsel dari saku jas kemudian terlihat menghubungi seseorang di mana tak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan. Jenie sesekali melirik Rama merasa penasaran. Ia yakin Rama hanya menggertak. Tak mungkin Rama punya nomor Deri, bukan? Tapi, melihat sikap Rama sekarang, dirinya mulai gusar, mulai takut dan cemas. Sampai tiba-tiba jantung Jenie mencelos dengan tangan gemetar saat dirinya mendengar panggilan Rama mendapat jawaban. “Halo.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN