pertaruhan

1458 Kata
4 "Sial, duit gue tinggal 50 ribu. Tapi gue lega sudah bayar uang kos." Umpat Ela, memperlihatkan isi dompetnya pada Santi. Santi tertawa terkekeh melihat isi dompet Ela mirip sarang laba laba yang sudah lama tidak ada isinya. "Ah sotoy lu, malah ngetawain." Rutuk Ela, menatap Santi yang masih tertawa terkekeh. "Terus mau lo apa? gue nangis jerit jerit gitu?" ucap Santi masih tertawa terkekeh. "Udahan lu ketawanya, cari solusi kek. Ni malam sepi banget, sampe jurik pun kagak ada yang lewat." Berkali kali Ela mengumpat harinya yang sepi pelanggan. "Gue ada ide." Kata Santi, lalu berpindah duduk di hadapan Ela. Lalu menunjuk ke arah kelab yang terlihat ramai pengunjung. "Kita ke sana." "Ngapain lo ke sana? bukannya dapet pelanggan, duit gue tinggal selembar bisa abis." Jawab Ela, menolak usulan Santi. "Tuk!" Santi menyentil hidung Ela. "Aww sakit tau!" Ela meringis memegang hidungnya yang mancung. "Makanya dengerin gue dulu, main sabotase aja lo." Rutuk Santi. "Malam ini, biasanya para bos main domino. Lo kalau bisa main, tu duit bisa berlipat." "Serius?" tanya Ela. "Lah gue serius La, tapi masalahnya lo bisa main kagak?" Santi balik bertanya. "Lo tenang aja." Ela menepuk bahu Santi, lalu berdiri. "Cabut yok!" Santi berdiri, lalu mereka berjalan bersama menuju kelab yang tak jauh dari tempat mangkal mereka. Sesampainya di dalam kelab. Mereka berdiri memperhatikan orang orang di dalam kelab tersebut. Suara hingar bingar musik mengentak-entak membuat telinga bising. Waktu sudah lewat tengah malam, tetapi Fable night nama sebuah kelab malam masih dipenuhi lautan manusia yang sedang menikmati duniawi. Aroma nikotin juga alkohol terasa menyengat dari berbagai sudut ruangan. Manusia terkurung dalam mimpi dan halusinasi menelan tanpa jeda hingga kelelahan dan membentengi diri dengan topeng kemunafikan hanya untuk bertahan hidup. Atau sekedar berpura pura bahagia karena rasa sakit yang dideranya. Berbagi wajah yang sama dengan pertemuan singkat. Tertawa riang berdansa mengikuti irama menyimpulkan luka masing masing. Ela tersenyum sinis, ia teringat masa dulu saat masih bergelimangan harta. Ia bisa menghabiskan waktu sepanjang malam di kelab malam di temani minuman beralkohol hanya untuk mengusir kebosanannya. "Ayo!" Santi menarik tangan Ela, menuju lorong kelab yang menghubungkan ke ruangan lain. Di mana para bos bermain domino. "Lu hapal tempat beginian, San?" tanya Ela, melirik ke arah Santi. "Lo gak usah tahu tentang gue. Yang perlu lu tahu, gue dan lo juga sama." Sahut Santi. "Oke, oke. Gue juga kagak tahu, lu itu cewek atau...?" ucap Ela. "Ah sialan lo!" rutuk Santi. Langkah mereka terhenti di depan pintu ruangan yang tertutup. Dua orang bodyguard menghadang mereka. Lalu bertanya apa keperluannya. Santi maju dan menjelaskan maksud kedatangannya ke ruangan itu. Tak lama, kedua bodyguard tersebut memeriksa Santi dan Ela. Setelah beberapa menit kemudian, kedua pria tersebut mengizinkan Santi dan Ela, masuk ke dalam ruangan tersebut. Santi dan Ela berdiri terpaku, menatap beberapa pria tambun, ada yang buncit perutnya mirip kaleng kerupuk. Ada juga pria bule, gagah dan berpakaian mahal. Di sisi lain, terlihat seorang pria duduk di samping pria bule memangku seorang wanita cantik. Rupanya pria tersebut sudah di pengaruhi alkohol. Dari wajahnya, pria tersebut bukan orang asing tapi lokal. Seorang wanita cantik menghampiri Ela dan Santi. Wanita itu mengatakan kalau permainan sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu. Mereka tidak bisa ikut, harus menunggu permainan yang kedua. Awalnya Ela memutuskan untuk kembali ke prapatan lampu merah. Namun Santi mencegahnya, dan membujuk Ela untuk menunggu. Akhirnya Ela menyetujui, mereka berdiri di antara pemain memperhatikan. Sesekali, si pria bule memperhatikan Ela, tersenyum nakal padanya dan mengerlingkan mata. Ela membalasnya dengan nakal. Detik berlalu, menit berganti. Ela melihat ada kecurangan di permainan tersebut, namun bagi Ela itu hal yang biasa. Perhatian Ela tertuju pada pria lokal yang hampir kalah. Dan pria tersebut mempertaruhkan harta kekayaannya di meja judi karena tergoda bujuk rayu pria bule. Namun pada akhirnya, si pria lokal tersebut kalah lagi. Terakhir, pria lokal tersebut mempertaruhkan istrinya di meja judi. Kalau Ela perhatikan, pria lokal dan pria bule tersebut saling kenal. "Kau kalah, Aldo!" seru si pria bule. "Alex, kau curang!" pekik pria lokal yang bernama Aldo, menunjuk ke arah pria bule yang bernama Alex. "Aldo, kau tahu permainan." Jawab Alex dengan santai. "Brakkk!!" Aldo berdiri seraya menggebrak meja, menghampiri Alex hendak memukulnya. Namun belum sampai tangannya meninju, Aldo jatuh tersungkur ke lantai tak sadarkan diri. "Antarkan dia ke rumahnya!" perintah Alex pada salah satu anak buahnya. Kemudian anak buah Alex, mengangkat tubuh Aldo. Membawanya pergi dari ruangan tersebut. Ela yang sedari tadi diam, tersenyum sinis. Lalu ia berjalan menghampiri Alex. Membungkukkan badan, tangannya menarik alat yang berada di bawah meja. Lalu memperlihatkannya pada Alex. "Hebat!" ucap Ela. Alex berdiri, matanya membulat menatap wajah cantik Ela. "Selain cantik, ternyata kau juga pintar. Bagaimana kalau kita kencan malam ini, sayang?" Tangan Alex mengibaskan rambut Ela yang panjang. "Berani bayar berapa lu?" tanya Ela. "Wow, baru kali ini ada wanita yang berani tawar menawar denganku." Alex melirik ke arah Santi sesaat. "Kau mau berapa cantik? berapapun kau minta, akan kuberikan." Ela mengambil uang lima lembar di atas meja, lalu mengibaskannya di depan Alex. "Next time, boy!" Ela balik badan, menarik tangan Santi. Lalu keduanya melangkah bersama meninggalkan ruangan tersebut. Alex tersenyum menatap kepergian Ela. "Kau akan jadi milikku." Gumam Alex. *** Santi duduk di tepi tempat tidur, melepas sepatunya lalu melemparkan tas sembarangan ke atas kursi yang tak jauh dari tempat ia duduk. Menarik napas dalam dalam, menyisir rambutnya menggunakan jari jemarinya. Ia tersenyum mengingat wajah Ela. "Gue beda dengan lo, La. Gue cewek, bukan cowok jadi jadian kaya lo." Gumam Santi. "Sori, kalau gue nyembunyiin identitas gue dari lo." Santi menarik napas dalam dalam, menoleh ke samping. Menyisir sprei menggunakan telapak tangannya, lalu tersenyum. "Tok tok!" Santi menoleh ke arah pintu. "Pasti Ela." Kemudian ia beranjak dari tempat tidur, menghampiri pintu dan membukanya lebar lebar. "Ngapain lagi, La?" Santi tertegun sesaat, ia pikir yang datang adalah Ela. "Ruri?" "San, sory gue ganggu lo." Sahut Ruri membawa sekotak makanan di tangannya. "Ayo masuk!" Ruri mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar Santi, duduk di kursi dan kotak makan di tangannya di letakkan di atas meja. "Tumben lo datang ke sini?" tanya Santi. "Ini, gue bawakan makanan. Tadinya buat Ela, tapi kayaknya dia sudah tidur. Jadi buat lo aja." Jawab Ruri. "Makasih ya." Kata Santi. "San..." "Hmm.." sahut Santi melirik sesaat ke arah Ruri, lalu membuka kotak makanan di atas meja. "Lo sudah lama kerja beginian bareng si Ela. Apa lo ga ada niat buat nyari kerjaan lain?" tanya Ruri. "Lo risih?" tanya Santi. "Bukan begitu maksud gue, San. Tapi gue mau liat sahabat gue bahagia, punya harga diri." Ujar Ruri. "Harga diri?" Santi melirik Ruri, lalu tertawa terbahak bahak. "Hahahahahaha!!" "Napa lu ketawa? ada yang salah dengan ucapan gue?" tanya Ruri, alisnya bertaut menatap wajah manis Santi. Santi menurunkan volume suara tertawanya, menatap tajam Ruri. "Cinta tidak mengenal harga diri, karena cinta tidak ada harga diri meski lo jadi manusia bucin sealam gaib sekalipun. Berbeda dengan pekerjaan, bukan masalah harga diri. Tapi...?" Santi mengusap perutnya sendiri. "Gue tau, tapi lo manis, cantik, lo bisa cari pekerjaan lain." Kata Ruri lagi. "Gue bukan nyari duit, gua menjaga sesuatu yang gak perlu lo tau." Imbuh Santi, matanya membulat menatap Ruri. "Sory, kalau gue terkesan memaksa." Ruri menundukkan kepalanya. "Gue hanya?" "Apa?" Ruri menggelengkan kepala. "Lupakan, lo makan saja. Gue balik dulu." Ruri berdiri, lalu melangkahkan kakinya keluar dan menutup pintu. Santi menggelengkan kepalanya, "ada ada saja." Di lain tempat. Aldo terkapar di depan rumahnya dalam keadaan mabuk. Anak buah Alex sengaja meletakkan Aldo di teras rumahnya lalu mengetuk pintu, setelah itu mereka pergi meninggalkan Aldo. Tak lama pintu terbuka lebar, Anyelir menggelengkan kepala melihat tubuh suaminya terkapar dalam keadaan mabuk. "Mas, ayo bangun." Kata Anyelir berusaha mengangkat tubuh Aldo, lalu memanggil asisten rumah tangga untuk membantunya. "Bapak, mabuk lagi bu?" tanya Minah. "Kamu tau sendiri, akhir akhir ini mas Aldo sering mabuk sejak perusahaannya mulai bangkrut." Jawab Anyelir, lalu keduanya memapah tubuh Aldo memasuki kamar pribadinya. Sesampainya di kamar, Anyelir dan Minah, membaringkan tubuh Aldo di atas tempat tidur, lalu Minah keluar dari kamar. Anyelir melepaskan sepatu Aldo, lalu duduk di kursi. Menatap wajah suaminya dalam dalam. Sejak Ibu mertua meminta Aldo untuk menceraikan Anyelir atas tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah ia perbuat. Sejak itulah perusahaan Aldo mengalami penurunan drastis. Aldo maupun Anyelir sama sama depresi, mereka di paksa bercerai saat keduanya sama sama masih saling mencintai. Namun, ada hal yang Anyelir tidak ketahui. Aldo sudah kehilangan kontrol, ia mempertaruhkan Anyelir di meja judi. Berbeda dengan Ela, malam ini ia tertidur lelap tanpa memikirkan ini dan itu lagi. Ia benar benar menikmati kehidupannya yang sekarang, ia merasa hidupnya lebih hidup di banding yang dulu. Kebosanan seringkali tidak bisa Ela atasi, hidupnya ia habiskan dengan percuma. Meski di awal, ia sangat menyukai ketenaran, kemudahan, dan gelimang harta. Namun tidurnya tidak pernah lelap, ia tidak bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN