Kerusuhan

1501 Kata
"Ela, bangun!!" jerit Santi di telinga Ela, yang masih tertidur pulas padahal hari sudah menjelang sore. "Santi!!" pekik Ela, mengusap usap telinga kirinya. Lalu bangun dan duduk di atas tempat tidur, tengadahkan wajah menatap Santi yang tertawa terkekeh geli. "Apaan si lu?" rutuk Ela, lalu menurunkan kedua kakinya. Mengacak acak rambutnya sendiri. "Gue masih ngantuk tau!" "La, gue mau ngajak lo makan. Lo pasti belum makan dan pastinya lo bokek." Kata Santi. "San, gue tau lo perduli. Tapi lu kagak usah teriak di kuping gue!" umpat Ela kesal menatap jengah Santi. "Lo kesel? gue lebih kesel lagi sama lo!" Santi melangkahkan kakinya, lalu berdiri di ambang pintu menoleh ke arah Ela. "Lo kesel sama gue? why??" tanya Ela tidak mengerti, perasaan dia tidak melakukan kesalahan. "Sampai kapan lo kaya gitu? semakin hari, usia lo bertambah. Apa lo tidak memiliki satu harapan buat masa depan lo?" ucap Santi dengan nada serius. "Whatt??" Ela berdiri, menatap ke arah Santi yang masih dengan posisi yang sama. "Lupakan, ayo kita makan." Kata Santi, lalu keluar dari kamar Ela. "Gue tunggu di luar!" Ela menarik napas dalam dalam. "Harapan? masih adakah harapan di hati gue?" Ela tersenyum miring, lalu beranjak pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian Ela telah selesai dengan dirinya. Ia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwarna merah sepaha, pernak pernik hiasan di leher dan rambutnya. Terlalu berlebihan memang, tapi Ela semakin cantik. "Cabut!" seru Ela, menyentuh dagu Santi. Santi mendelik, lalu melangkahkan kakinya sejajar dengan Ela. Sepanjang jalan dari kos an menuju tepi jalan raya. Para pemuda yang nongkrong di warung kopi, bersiul memanggul nama Ela. "Hay cantik, godain kita dong!" seru salah satu pemuda, di akhiri tertawa terbahak bahak di ikuti kawan kawannya. Namun Ela tidak menggubrisnya, mereka terus berjalan melenggok bak model. Lekuk tubuh Ela, yang bagaikan gitar spanyol. Menarik perhatian kaum lelaki hidung belang. *** Sementara di belahan kota lain. Seorang pengacara tengah meyakinkan seorang wanita paruh baya, duduk dengan anggun di sofa. "Nyonya Imelda, apakah anda yakin? hendak mencoret tuan muda Sean dalam daftar keluarga dan hak waris?" tanya pengacara yang bernama Shiput. Wanita yang bernama Imelda mengangguk pasti, namun gadis di sampingnya mencegah Imelda untuk melakukan itu. "Mom, aku mohon. Jangan lakukan itu." Kata gadis tersebut yang bernama Narnia, adik kandung Sean. "Diam kau, anak itu sudah melakukan banyak kesalahan. Dan perlu kau ingat, Sean bukan lagi putraku." Tegas Imelda. "Mom..." ucap Narnia kecewa, kemudian memilih diam. Ia hapal betul watak ibunya yang keras. Saat pengacara hendak meluluskan keinginan Imelda. Tiba tiba salah satu asisten rumah tangga menghampiri dan memberitahu mereka kalau di luar ada tamu. Kemudian Imelda memerintahkan asisten rumah tangganya untuk membawa tamu tersebut masuk ke dalam rumahnya. Asisten rumah tangga tersebut beranjak pergi, tak lama ia kembali bersama seorang pria paruh baya, namun masih terlihat sangat gagah. "Selamat siang Imelda." Sapa seorang pria yang bernama Dusan. "Dusan, ada angin apa yang membawamu ke sini." Balas Imelda, berdiri di ikuti Narnia dan pengacara Shiput. "Terlalu banyak basa basi," sindir Dusan tersenyum sinis. "Kau tahu, aku baru saja pulang dari Amerika. Tetapi, putriku satu satunya telah menghilang." Jelas Dusan menatap tajam Imelda. "Apa hubungannya denganku?" tanya Imelda berpura pura tidak tahu tentang Kalila Khanza, putri semata wayang Dusan. Dusan kembali tertawa kecil menanggapi pernyataan Imelda. "Kalila meninggalkan rumah sejak Sean kau usir dari rumahmu. Bukankah kau tahu? putriku sangat tergila gila pada Sean?" Imelda berdehem sejenak. "Aku tahu, tapi itu bukan urusanku." "Mom?!" sela Narnia, ia tidak suka dengan cara Imelda yang tetap bersikeras dengan pendiriannya. Ia tahu, bagaimana Kalila rela melakukan apa saja demi kakaknya. "Diam." Tegas Imelda, melirik sesaat ke arah Narnia. "Aku peringatkan padamu, jika Sean tidak mengembalikan putriku secepatnya. Atau terjadi apa apa dengan putri semata wayangku, hubungan di antara kita bukan partner lagi. Tapu musuh!" ancam Dusan. Setelah bicara seperti itu, Dusan berlalu dari hadapan Imelda. "Bagaimana nyonya?" tanya Pengacar Shiput. "Apakah masih mau melanjutkan? atau di tunda?" "Tunda!" perintah Imelda, lalu beranjak pergi begitu saja. Meninggalkan pengacara Shiput dan Narnia. *** Langkahnya di seret di antara gang sempit dan gelap. Dulu, semua teman bisa menemukannya di antara kekayaan dan kekuasaan. Kini, siapapun tidak dapat menemukannya di sana. Langkahnya yang diseret menandakan kalau dia di dalam fase lelah dan bosan. Lagi lagi kenyataan menamparnya. Apa yang ia cari selama ini tidak ia temukan kebahagiaan di antara kekayaan dan kemiskinan. Saat ini, ia telah kehilangan arah, pegangan, dan berada di persimpangan yang membuatnya harus berhenti melangkah. Diam, merenung, apa yang salah dalam diri dan hidupnya? Sesekali beberapa pemuda mabuk bersiul dan menggodanya. Namun Ela hanya membalas dengan kepulan asap di bibirnya. Ia terus melangkah di antara gang sempit, hingga langkahnya terhenti tepat di tepi jalan raya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, seorang gadis duduk termenung, mendekap tas ranselnya dengan erat. Ia terlihat kebingungan, kalau di lihat dari cara berpakaian gadis itu, bukan dari kalangan berada. "Woi!" Ela berjengkit kaget menoleh ke belakang, nampak Santi tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang putih, menepuk pundak Ela. "Sialan, bikin kaget gue saja!" rutuk Ela, lalu kembali mengalihkan pandangannya tertuju pada gadis yang masih duduk di halte. "Lo liat apa sih?" tanya Santi, matanya menelusuri arah pandang Ela. "Noh lihat!" tunjuk Ela menggunakan dagunya. "Kenapa dia?" tanya Santi acuh. "Samperin yuk!" usul Ela, melangkahkan kakinya. Namun Santi mencegah, menarik tangan Ela, mundur ke belakang. "La, ini Jakarta. Lo jangan tertipu penampilan. Pemandangan seperti itu biasa." Tolak Santi. Ela menatap jengah Santi. "Gue tau San, tapi setidaknya kita masih punya sedikit empati walau cuma basa basi. Hidup gue sudah tidak berguna lagi, tapi setidaknya gue tidak mati sia sia." Santi tersenyum sinis. "Lo inget, suatu hari nanti. Apa yang lo ucapkan, bakal lo tarik kembali. Lo masih mengukur hidup, dengan sesuatu." "Ah sudahlah, simpan ceramahmu. Ayo ikut gue!" Ela membuang puntung rokok ke jalan, lalu menarik tangan Santi. Menghampiri gadis yang duduk termenung di halte. "Lu ngapain malam malam duduk di sini?" tegur Ela. Gadis itu tengadahkan wajah, menatap dua wanita cantik di hadapannya. Lalu ia kembali menunduk, menggeleng gelengkan kepalanya. "Hey! lu bisu apa ya!" umpat Ela kesal. Santi menarik napas dalam dalam lalu bertanya. "Namamu siapa? dan mau kemana? mungkin kita bisa bantu?" Gadis itu tetap diam tak menjawab pertanyaan Santi. Santi melirik ke arah Ela dan menggelengkan kepalanya. Ela yang kesal, mendorong kepala gadis itu hingga oleng ke samping. "Dasar bisu!" rutuk Ela. Gadis itu melotot ke arah Ela dan Santi lalu berdiri tegap di hadapan mereka. "Way woy, namaku Sekar! kalian juga ngapain ngurusin Aku?!" Ela dan Santi matanya melebar, tertawa terkekeh. "Gue pikir lu bisu." Umpat Ela masih tertawa terkekeh. "Broken home, atau?" "Kepo!" bentak gadis yang bernama Sekar. "Gue Santi, dia temen gue. Ela." Santi memperkenalkan diri. Baru saja Sekar hendak mengulurkan tangan, dari kejauhan terdengar suara sirine mobil patroli. Ela langsung menarik tangan Sekar dan Santi. "Satpol PP, ayo lari!!" Santi dan Sekar yang tak tahu apa apa langsung ikut berlari mengikuti langkah Ela, menjauh dari halte. Sekar berkali kali tersandung kakinya hingga mau jatuh. Ela menghentikan langkahnya tepat di depan kelab, matanya tertuju pada seorang wanita yang di seret paksa masuk ke dalam kelab. "Anyelir?" ucap Ela pelan, namun jelas terdengar oleh Santi dan Sekar. "La, la, jangan bilang kalau lo mau nolongin cewek itu?" kata Santi mulai kesal. Namun Ela tidak menggubrisnya, ia melangkahkan kakinya menghampiri dua pria yang menyeret tubuh Anyelir. Ela melepas tasnya lalu melayangkannya ke wajah dua pria tersebut. "Buk buk!!" Kedua pria tersebut mekepaskan Anyelir, menatap marah ke arah Ela. Anyelur sendiri berlari ke arah Ela dan bersembunyi di belakangnya. Ela melepaskan sepatu, lalu mengangkat gaunnya yang sudah pendek. Tas di lemparkan ke arah Santi. Santi pun menangkap tad milik Ela. Ela mengepalkan kedua tangannya bersiap untuk menghajar kedua pria tersebut. Namun dari arah pintu kelab, dua pria lain membantu kawannya. "Ada apa ini?" tanya salah satu pria yang berambut gondrong. "Cecunguk cari mati!" seru si botak marah. "Hajar cewek jadi jadian itu!" perintah si gondrong. Si botak mengangguk, di ikuti si kumis dari belakang mengeroyok Ela. Sekar yang sedari tadi diam, memberikan tas ranselnya ke Santi. Lalu ia maju mendekati Ela. Ia berpikir kalau Ela tidak akan bisa menghadapi empat pria sekaligus. "Emang lu bisa berkelahi?" tanya Ela. Namun Sekar hanya mendelik ke arah Ela. "Ayo maju!" seru si kumis. Sekar maju lebih dulu, memutar tubuhnya lalu menerjang wajah si kumis dan si botak bersamaan, hingga terjungkal. Ela membelalakkan mata, ia tidak menduga kalau Sekar bisa sehebat itu menjatuhkan dua lawan sekaligus. Ujung ujungnya Ela hanya diam memperhatikan Sekar melawan si gondrong, tak lama Ela maju menghadapi si plontos. Sementara Santi menarik tangan Anyelir supaya menjauh. "Ini Jakarta, lo jadi cewek jangan lemah!" rutuk Santi menatap jengah Anyelir. Perkelahian antara Sekar, Ela, melawan empat pria di saksikan Alex dan Aldo, suami Anyelir. Tak lama terdengar suara sirine mobil patroli yang lewat. Santi menarik tangan Anyelir, berlari menjauh dari kelab. Ela yang menyadari ada mobil patroli, berlari mengikuti Santi dan Anyelir. Ke empat pria itu hendak berlari mengejar mereka. Namun Alex mencegahnya, ia tertarik dengan Ela, dan memiliki ide yang licik untuk menjebak mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN