Ganti profesi

1033 Kata
3 "Teloleettt!!!" "Eh, mas itu suara klakson apa suara kentutmu," goda Ela manja, mencubit dagu pria tambun di dalam mobil, menyeringai menatap Ela dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Cantik mau kemana? main yuk?" tawar si pria tambun di dalam mobil. "Aih, mobil butut begini ngajak main." Jawab Ela, seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Ayolah honey, jangan belagu." Kata pria tambun itu, menatap sinis Ela. "Emangnya situ berani bayar berapa?" tanya Ela, melipat kedua tangannya di d**a. Si pria tambun mengacungkan tiga jarinya ke arah Ela, kedua alisnya naik turun. "Sory ya, situ bukan levelku. Sana pergi!" Ela menendang mobil si pria tambun. "Halah sombong lu, kaya primadona saja. Lu bukan primadona, tapi adonan basi!" rutuk si pria tambun. "Eh sialan lu ya!" Ela melepas sepatunya hendak ia lemparkan ke arah pria tambun itu, namun si pria tersebut bergegas tancap gas melajukan mobil bututnya. "Asem lu, laki laki bodong. Jangan jangan anu lu juga bodong!" umpat Ela. Santi yang berada di belakang tertawa cengengesan. "Eh lo gak nyadar? dia apa elu yang bodong? hahahahaha!" Ela mengulum senyumnya, lalu merangkul bahu Santi. "Lu jangan buka rahasia di sini." "Habisnya lu, ada pelanggan malah di marahin." Timpal Santi. "Ela!" "Ela!" Ela dan Santi menoleh ke belakang, terlihat mami Meri berjalan tergesa gesa menghampiri. "Mam, ada apa?" tanya Ela. "Alah, lu di cariin dari tadi susah amat!" rutuk Mami Meri. "Lah mami, kan udah tahu. Gue mangkal di mana." Jawab Ela. "Ada apa sih?" "Ada yang nyariin lu, La." Kata mami Meri. "Nyariin gue?" tanya Ela, alisnya bertaut. "Pelanggan?" "Bukan La, lu samperin dulu gih. Sebelum orangnya ngamuk ngamuk sama mami!" perintah mami Meri. "Oke, mam. Di mana?" tanya Ela. "Noh, di sono!" tunjuk mami Meri ke arah jembatan tak jauh dari prapatan lampu merah. Tanpa banyak bicara lagi, Ela bergegas menemui orang yang mencarinya di jembatan. "Ngapain lo pada nyariin gue?!" tanya Ela menatap tajam dua pria yang menggunakan setelan jas. Namun kedua pria tersebut tetap diam menundukkan kepala. "Gue tanya, ngapain lu nyariin gue!!" teriak Ela, mengguncang lengan salah satu pria tersebut. Pria itu mengangkat wajahnya, menatap segan Ela. "Tuan Arya, memerintahkan kami untuk membawa pulang, tuan muda." Jawab pria itu takut. "Kenapa? dia malu? punya anak kaya gue, kerja seperti ini?!" ucap Ela, melipat kedua tangannya di d**a. "Kami tidak tahu, Tuan. Kami hanya di perintahkan untuk menjemput tuan muda." Kata pria itu lagi. "Pergi sana lu, gue gak bakalan pulang!" bentak Ela. "Tapi Tuan!" "Diam lu!" Mata Ela melotot ke arah dua pria tersebut, lalu mendorong kepala salah satu pria itu dengan tangannya. Setelah itu, ia beranjak pergi dari hadapan mereka berdua. "Tuan!" panggil pria itu, tapi Ela tidak menggubrisnya. Ela berjalan tergesa gesa, namun langkahnya terhenti tepat di depan Ruri. "Lo kenapa?" tanya Ruri. "Ah sudahlah!" Ela mengibaskan tangannya, lalu melangkahkan kakinya lagi. "La!" panggil Ruri, berlari menyusul Ela, dan mensejajarkan langkahnya. "Lu ngapain ke sini?" tanya Ela. "Gue inget perut lo, pasti lo belum makan." Kata Ruri. Ela menoleh ke arah Ruri. "Lo tau ajah, gue belum makan." "Ayo, kita makan!" Ela mengangguk, lalu mereka berjalan bersama menuju rumah makan tak jauh dari prapatan lampu merah. **** Seorang wanita berjalan dengan langkah gontai, kepalanya tertunduk. Menyembunyikan air mata yang mengalir deras di pipinya. Sesekali ia tengadahkan wajah, menarik napas dalam dalam, meyeka air matanya dengan telapak tangan. Wanita itu menangis bukan karena mendapatkan perlakuan buruk ayah atau kekasihnya, bukan pula menangis karena selepas di cerai. Air mata yang mengalir deras, cara ia bernapas, cara ia berjalan. Saat ini, wanita tersebut sedang mengalami goncangan jiwa. Perasaannya hancur berkeping keping. Wanita tersebut terus berjalan menuju jembatan penyebrangan. Langkahnya terhenti tepat di tengah tengah jembatan. Kedua tangannya mencengkram besi jembatan, kepalanya tertunduk menatap ke bawah. "Aku menyukaimu karena tekad dan kegigihanmu, aku bertahan karena kau sangat mencintaiku. Bahkan teman temanku iri denganku, karena memiliki suami yang penyayang sepertimu. Tapi...?" gumam nya dalam hati. Tanpa wanita itu sadari, Ela yang sedari tadi memperhatikan. Perlahan mendekatinya, Ela khawatir kalau wanita itu akan terjun bebas ke bawah jembatan. "Lu gak sungguh sungguh mau bunuh diri bukan?" sapa Ela, berdiri di samping wanita tersebut. Namun wanita itu tetap diam, enggan menjawab pertanyaan Ela. Ela tersenyum sinis, mengikuti cara wanita tersebut. Memegang besi jembatan, menatap ke bawah. "Gue gak tau masalah lu apa, tapi asal lu tahu. Sempat gue terpikirkan untuk mengakhiri hidup kaya lu." Ujar Ela, menatap lurus ke bawah. Wanita itu tertawa samar, menoleh ke arah Ela. Lalu mengulurkan tangannya. "Anyelir, kau siapa?" Perlahan Ela menoleh, tersenyum lalu berdiri tegak, membalas uluran tangan wanita yang bernama Anyelir. "Ela." Anyelir menarik tangannya kembali, menatap lurus ke depan. "Kau pikir, aku serapuh itu imanku?" Ela mengedikkan bahunya. "Siapa tahu, aku cuma menebak." "Kamu ngapain? malam malan masih berkeliaran?" tanya Anyelir melirik sesaat ke arah Ela. Ela tertawa kecil. Masih dengan posisi yang sama. "Gue kerja malam, biasa spiderman." Anyelir tertawa, memperhatikan lekuk tubuh Ela dari belakang. "Cantik, sempurna. Idaman para lelaki." Celetuk Anyelir. Ela menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lalu melangkahkan kakinya seraya mengeluarkan sekotak rokok lalu menyalakan satu batang rokok. Anyelir mengikuti langkah Ela, dan mensejajarkan langkahnya. "Rokok?" tawar Ela. Anyelir menggelengkan kepalanya. "Aku tidak merokok." "Ups sory, kebanyakan cewek tidak merokok." Kata Ela, berjalan beriringan dengan Anyelir. "Ada juga, wanita yang merokok." Jawab Anyelir. Ela mengangguk anggukkan kepala, menoleh ke arah Anyelir sesaat, lalu menghisap rokoknya dalam dalam. "Lu ngapain malam malam keluyuran? mewek pula." Ela mengusap pergelangan tangannya karena ada nyamuk yang hinggap di kulitnya yang putih. "Cari angin segar." Jawab Anyelir singkat. "Cari angin segar kok mewek." Ela penasaran kenapa wanita di sampingnya menangis. "Oya, aku harus pulang. Terima kasih ya." Anyelir tersenyum, menatap wajah Ela. Ela membalas tatapan mata Anyelir, jelas terlihat kalau Anyelir menangis lebih dari tiga puluh menit, matanya bengkak. "Sama sama, apa perlu gue antar?" tawar Ela. "Tidak perlu, terima kasih. Rumahku tidak jauh dari sini." Kata Anyelir. "Oke, hati hati." Ela melambaikan tangannya. Anyelir menganggukkan kepalanya, lalu balik badan. Melangkahkan kakinya menjauh dari Ela. Anyelir menoleh ke arah Ela lalu melambaikan tangannya. Ela tersenyum samar, menggeleng gelengkan kepalanya. Lalu membuang rokok sembarangan ke jalan, lalu melanjutkan lagi langkahnya menuju kos-an. Sementara Anyelir tidak benar benar pulang seperti yang ia katakan kepada Ela. Ia duduk melamun di dalam mobil, memikirkan nasibnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN