Rangga menatap Nina dengan penuh arti. Ada sesuatu hal yang ingin dikatakannya namun ia sungkan.
“Ada apa?” tanya Nina sembari membalas tatapan Rangga. Dan tanpa sadar saat ia membalas tatapan itu, Nina mengamati mata dan hidung Rangga yang bagus dan menunjang ketampanannya.
“Harusnya kamu tidak usah kembali ke masa lalu, hanya untuk mengubah takdir,” jawab Rangga sembari tersenyum kecut.
Kedua alis Nina saling bertaut. “Memang kenapa? Padahal kamu yang memberitahuku soal batu petuah yang ada di museum itu. Kamu juga yang mengantarkan aku ke museum tersebut,” ujarnya mengingatkan. Walau seberusaha apa pun Nina, Rangga tidak akan mengingat semuanya.
“Aku yang mengajakmu ke museum tersebut?” tanya Rangga heran.
Nina menganggukkan kepalanya. “Iya ... Malam itu kita bertiga sedang jalan-jalan ... Lalu kamu memberitahuku soal Batu Petuah di Museum yang ada di Kota tempat tinggalmu, di Kota Papan Larang.”
“Kita bertiga?” Rangga bertanya memastikan.
“Iya, kita bertiga. Aku, kamu dan Lusi adikku.”
Kembali terjadi keheningan. Mereka berdua saling terdiam satu sama lain hingga tawa renyah Rangga yang lirih terdengar. “Entahlah kenapa aku bisa memberitahumu tentang batu legenda di Kota tempatku tinggal itu ya ....”
Nina membalas kalimat Rangga dengan senyuman kecutnya. “Entahlah ... Menurutmu?”
“Aku tidak tahu ...,” jawab Rangga singkat.
Lalu sekali lagi mereka terjebak keheningan perasaan kikuk satu sama lain, hingga gonggongan Dominic memenuhi ruangan.
Kedua mata Nina dan Rangga langsung terarah pada Dominic. Mereka menatap Dominic dengan aneh. Anjing pudel tersebut menggonggi sesuatu di balik punggung Nina.
Mendadak bulu kuduk Nina langsung meremang. Ia melirik ke belakang, terlihat bayangan hitam yang berdiri besar di belakangnya. Perlahan tapi pasti ia menoleh untuk memastikan.
Dan saat ia benar-benar membalikan badan, bayangan hitam dan tinggi itu ternyata tidak ada. Jantung di dadaa Nina sudah terlanjur berdegup dengan kencang. Ia langsung menarik nafas lega karena ternyata tidak melihat apa pun.
Rangga mengusap-ngusap kepala dominic dan menenangkannya. Hingga lolongan anjing tersebut mereda dan kembali bersikap manis.
Nina kembali membetulkan posisi duduknya. Kembali lagi menghadap ke arah Rangga yang sedang memangku Dominic. “Minic, apa kamu melihat sesuatu tadi?” tanyanya sedikit ragu.
Tentu saja Dominic tidak menjawab karena tidak bisa berbahasa manusia. Ia hanya menggongong. Tapi gonggongannya ini tidak seagresif tadi.
“Kamu merasa ada yang janggal?” tanya Rangga pada Nina yang kini sedikit berwajah pucat pasi.
Nina tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong.
“Aku hanya ingin memberitahukanmu ... Harusnya kamu mengiklaskan semuanya. Bukannya malah ingin mengubah takdir. Karena bagaimana pahitnya takdir yang telah kamu lewati, itu lah yang terbaik bagimu ....” Nasehat Rangga terdengar berbobot dan mengandung banyak arti. “Oke terima kasih karena mau memvaksin Dominic, aku pergi dulu.” Rangga memundurkan kursi yang didudukinya. Lalu beranjak dan berjalan menuju pintu.
“Tunggu!” sergah Nina menghentikan langkah Rangga.
Rangga menoleh. “Ada apa?”
Nina tidak langsung menjawab. Lalu setelah beberapa detik kemudian ia malah tersenyum pahit. “Tidak apa-apa. Abaikan saja ....”
Sepasang alis Rangga dinaikan ke atas. “Ya sudah kalau begitu ... Aku pamit.”
“Blam!” Pintu tertutup rapat.
Ruangan Nina kembali hening.
“Kenapa tadi aku tidak meminta nomer ponselnya?” tanya Nina pada dirinya sendiri dan mengusap tengkuknya yang terasa dingin. "Pasti ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada Nenek Rangga."
Sambil bergumam dan memikirkan tentang bayangan hitam di belakangnya tadi, Nina merapikan barang-barang di meja dan ruangannya, ia memutuskan untuk pulang saja karena memang sudah tidak ada pasien lagi. Lagi pula jadwal prakteknya sudah selesai. Ia pun pergi menuju parkiran mobil yang ada di halaman luar.
“Rahma, aku pulang dulu ya!” sapa Nina berpamitan sembari melambaikan tangan ketika melewati meja pendaftaran yang bercampur dengan adiministrasi itu.
“Iya Dok!” sahut Rahma yang ikut melambaikan tinggi tangannya.
Nina membuka pintu masuk sekaligus keluar. Pintu dengan kaca tebal tersebut didorongnya kuat-kuat. Saat pintu terbuka lebar, seketika angin dingin menyapa. Nina mengadahkan mukanya, melihat langit yang telah gelap dan kemudian ia melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya, menunjukan pukul tujuh malam. “Aku harus ke butik untuk fitting baju pengantinku!” serunya pada diri sendiri dan berlari tergesa sembari mengambil kunci pintu.
Namun karena amat tergesa-gesanya, kunci yang akan diambil dari saku blezer berwarna cokelat yang dikenakannya itu jatuh dan tertendang oleh kaki Nina sendiri hingga ke arah semak-semak yang ada di bagian sisi kanan klinik.
Tanah lapang klinik yang kosong dengan semak-semak tak terurus memang sangat menyeramkan saat malam hari. Kunci mobil Nina berhenti tepat di sisi semak tersebut, sedikit tertutup oleh rimbunan daun-daun hijau liar.
Nina berjongkok dan mengulurkan tangannya, mencari-cari kebagian bawah. Sekitar satu menit, Nina mencari kunci mobilnya akhirnya ia menemukannya. Tapi tiba-tiba sebuah sentuhan telapak tangan yang lebar dan besar menyentuh punggung tangannya.
Sontak Nina langsung menarik tangannya sendiri dan mendekapnya dengan tangan satunya. Jantungnya langsung berdebar hebat. Takut.
Ia melihat ke sekeliling. Ke kiri dan ke kanan. Sunyi.
Hanya suara angin kencang yang bertiup.
Nina berdiri dari jongkoknya. Ia merapatkan blazernya dan berlari menuju mobil silver miliknya dan langsung membuka pintu di bagian pengemudi.
Nafas Nina berderu tidak beraturan. Ia terengah-engah. Keringat dingin mulai bercucuran. Kaki kanannya mulai menginjak pedal gas saat kunci mobil telah berputar pada tempatnya.
Nina menuju butik yang telah membuatkan gaun pengantin untuknya. Ia tahu Andre tidak akan datang saat ini untuk fitting setelan jas kemejanya, karena sedang menangani pasien yang sedang di operasi. Itu lah alasan yang saat itu diberikannya.
Tapi saat Nina masuk ke dalam butik, ia terkesiap melihat Andre, Luna dan Lusi duduk di sofa panjang yang sama. “Kalian sedang apa di sini?” tanyanya heran. Karena seingatnya, saat tanggal 5 Juli tahun 2019 ini, ketika fitting gaun pengantinnya ia hanya seorang diri.
Saat itu Andre tidak ikut ke butik karena sedang mengoperasi seseorang di rumah sakit. Luna sedang sibuk dengan pemotretan dan Lusi sedang tugas malam di rumah sakit Medika Raya tempatnya berkerja sebagai perawat.
Semua mata menatap Nina yang baru datang. Lusi tersenyum simpul melihat Nina yang baru tiba. Begitu pula dengan Luna dan Andre.
“Kalian ada di sini? Ramai-ramai begini ada apa?” tanya Nina heran, karena semua ini tidak seperti apa yang pernah dilaluinya.
“Iya, kami menunggumu,” jawab Andre sembari menghela nafas berat.
“Kalian ada waktu bersama-sama ke mari untuk fitting?” tanya Nina masih kerheranan.
“Tentu saja aku punya waktu jika itu berkaitan dengan pernikahan kita,” jawab Andre penuh bicara manis.
Luna yang mendengarnya langsung membuang muka dan menyembunyikan raut muka kesalnya.
“Pasienmu tidak ada yang dioperasi?” tanya Nina sekali lagi.
“Tidak ada. Memang aku pernah mengatakan begitu ya?”
Nina mengatupkan bibirnya dan tatapan matanya beralih ke arah Luna dan Lusi. “Dan kalian juga ikut ke mari?”
“Aku mau mencoba gaunku. Aku kan gadis pengantar pengantinnya,” jawab Luna sembari tersenyum.
Lusi melipat kedua tangannya di depan dadaa. Menarik nafas dalam. Terjebak di antara dusta saudari kembar dan tunangan kakaknya. Situasi yang amat dibenci olehnya. “Iya kak kami ke mari untuk kita sama-sama mencoba gaun acara pernikahanmu. Ingat ... tujuh hari lagi hari bahagiamu akan diraih ....”
Bibir Nina sedikit ternganga. Ia masih merasa aneh dengan situasi yang dialaminya saat ini. Kejadian malam ini sudah berubah tanpa ia harus melakukan apa pun. Harusnya ia hanya sendirian saat fitting gaun pengantin di butik. Lalu gaun pengantinnya tertinggal dan Andre bersama Luna mengambil gaun pengantin tersebut. Dan setelah itu ... terjadilah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Andre dan Luna.
“Nina?” panggil Andre menegur. “Kenapa kamu melamun?” tanyanya sembari menatap bola mata Nina yang berwarna amber.
Nina sedikit tergelagap. “Ah ... Tidak apa-apa ... Aku hanya kelelahan. Ayo kita fitting,” jawabnya sembari menebarkan senyum.
Bersambung