Fitting pakaian sudah selesai dilakukan. Setelah semuanya rampung menjajal pakaian yang akan digunakan pada waktu pernikahan, Nina memastikan agar tidak ceroboh meninggalkan guan pengantinnya.
Ia terus memegangi gaun pengantin yang ada di tangannya. Tangannya gemetar dan jantungnya berdetak dengan cepat. Karena inilah detik-detik krusial yang akan terjadi jika ia sampai teledor. Gaun pengantin tertinggal. Andre kembali lagi ke butik untuk mengambilnya, diikuti Luna yang juga ingin ikut mengambil karena mendadak ingin membeli kue kusukaannya.
“Hei Nina ... Kenapa melamun begitu?” tegur Andre sembari tersenyum dengan kedua alis beradu.
“Hei ... tidak aku tidak apa-apa.”
“Sudah siap pulang?”
Nina menganggukkan kepalanya dan mereka berempat berpamitan pada spg butik. “Kita berempat, tapi mobilnya ada tiga. Apa kita akan naik mobil masing-masing?”
“Sepertinya begitu. Kita naik mobil masing-masing saja.”
“Oke,” sahut Lusi yang langsung akan menuju mobil yang dibawanya. “Luna kamu ikut aku,” ujarnya pada Luna.
Namun Luna tampak enggan. Ia ingin pulang bersama Andre saja.
Luna berdiri di tengah base mant sembari melihat ke arah Andre dan Nina yang sedang bercengkrama berdua. Rasanya hatinya sangat sakit. Selalu saja menjadi yang kedua dan tersembunyi.
“Luna, ayo masuk ke mobilku,” kata Lusi menegur.
Tapi teguran Lusi tersebut tidak didengar oleh Luna. Ia hanya diam dan menatap kosong, Nina dan Andre yang masih berdiri di sisi mobil masing-masing.
Lusi mulai kesal. Ia mengatupkan bibirnya dengan gemeretak gigi ringan dan melangkah cepat tergesa ke arah Luna. “Luna! Ayo kita pulang!” serunya lirih berbisik.
Sontak Luna menoleh. Ia menatap kesal. “Ada apa sih?” tanyanya menggerutu.
“Jangan bilang kamu berharap ingin pulang berama Andre ya.”
“Aku memang berharap begitu,” jawabnya dengan suara rendah.
“Astaga Luna. Singkirkan perasaan cinta dan ingin memilikimu itu, Andre adalah calon suami Kak Nina. Mereka sudah akan menikah tujuh hari lagi. Dan aku harap kamu tidak menjadi pengacau!” serunya lirih sembari menarik tangan Luna. Memaksanya untuk segera masuk ke dalam mobil.
Nina yang sedang berbincang ringan dengan Andre sebelum masuk ke dalam mobil mereka masing-masing, ujung matanya melihat Luna dan Lusi tampak bertengkar. Lusi menarik Luna masuk ke dalam kursi mobil bagian depan. Ia mengerutkan dahi, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan mereka berdua hingga sampai bertengkar begitu.
“Nina ... Apa kamu mendengarkan aku?” Suara Andre membuyarkan perhatian Nina ke arah mobil Lusi.
“Ah iya ... iya. Sorry tadi aku tidak mendengar. Kurang fokus karena melihat Lusi dan Luna. Tumben sekali mereka seperti ribut begitu ...,” jawabnya sembari tertawa lirih.
“Jadi sampai ketemu di rumah ya. Kita dinner bersama malam ini di rumahmu,” ujar Andre sembari mencolek dagu Nina yang bagus berbelah dua.
“Oke. Aku akan masak spaghetti instan saja biar cepat,” sahut Nina tertawa.
“Tidak usah. Nanti aku pesan makana di restoran biar di antar ke rumah.”
Di sela-sela perbincangannya dan Andre tiba-tiba angin kencang menerpa. Tidak masuk logika karena mereka semua berada di base msnt. Nina langsung terbelalak terkejut. Andre pun demikian. Punduknya terasa dingin dan bulu kuduknya meremang.
Firasat Nina sudah tidak nyaman. “Kita pulang yuk,” ujarnya pada Andre dan sembari membalikan badan. Tangan kanannya menarik pintu depan mobil dan segera masuk ke kursi pengemudi. Dari balik kaca jendela mobil, ia pun melihat Andre masuk ke dalam sedan hitamnya.
Nina melihat di samping kursi Andre duduk, tampak bayangan hitam. Wajah bayangan tersebut samar tidak terlalu kelihatan. Yang pasti hanya terlihat hitam pekat.
Kedua mata Nina sampai membulat dan nyaris keluar dari kelopak matanya. Di dalam mobilnya, Andre tampak tidak bisa menyalakan mesin mobil walau sudah beberapa kali dicoba.
“Kenapa mobil ini?!” gerutu Andre kesal.
Di mobil Lusi pun sama. Ia tidak bisa menyalakan mobilnya. Sudah beberapa kali memutar dan mematikan kunci mobil dan menginjak perlahan pedal gas, tapi suara deru mesin tidak kunjung terdengar. Mati total. “Astaga ...! Kenapa mobil gue! Padahal udah diservis kemarin,” keluhnya.
“Kenapa Lus? Mobilnya mogok?” tanya Luna sembari mendengus kesal. “Yaudahlah aku pulang sama Andre ya. Dan kamu sama Kak Nina,” ujarnya sembari tersenyum senang. Malah bersyukur dengan mogoknya mobil Lusi yang tidak bisa menyala.
Luna membuka pintu mobil dan langsung keluar begitu saja.
“Eh ... Lun! Luna! Kamu jangan pergi berdua saja sama Andre!” seru Lusi melarang. Ia tahu selama tujuh hari ini, Luna pasti akan mencari cara agar pernikahan Andre dan Nina batal. Sebetulnya tidak masalah jika pernikahan mereka dibatalkan. Karena Lusi juga mengharapkan demikian. Ia tidak menyukai sifat dan sikap Andre yang pengkhianat. Tapi Lusi juga tidak mau jika Nina mengetahui wanita selingkuhan Andre adalah Luna.
Pasti sangat sakit hati jika Nina tahu semua itu, pikir Lusi tidak bisa membayangkan hati Nina akan hancur berkeping.
Luna berjalan mendekat ke arah mobil Andre. Namun belum juga ia mengatakan untuk menumpang pulang karena mobil Lusi mogok mendadak, Andre sudah keluar dari mobilnya. “Kenapa engga jadi pulang?”
“Mobilku mogok,” sahut Andre singkat.
“Mogok?”
Andre menaikan kedua alisnya ke atas. “Iya, mogok. Aku akan menumpang di mobil Nina saja. Biar besok seseorang dari bengkel membawa mobilku. Aku sudah lelah harus melihat ke kap mobil bagian mana yang konslet sampai tidak mau menyala.”
Nina menurunkan kaca jendela mobilnya ke bawah. “Ada apa? Mobilmu mogok Andre?”
“Mobil Lusi juga,” jawab Luna.
Lusi berlarian kecil menghampiri. “Mobilku mogok tiba-tiba. Aneh ya ... Kak aku bareng sama kakak yuk!”
Nina mengangguk.
Lusi, Andre dan Luna masuk ke dalam mobil Nina. Andre duduk di kursi penumpang bagian depan.
“Blam!” Semua pintu secara bersamaan tertutup.
“Kenapa bisa mobilku dan mobil Andre mendadak mogok begini ya?” tanya Lusi pada dirinya sendiri. Namun suara tanyanya tersebut terdengar di semua telinga.
“Hanya kebetulan,” sahut Andre.
“Tidak. Ini sudah takdir,” sahut Luna yang duduk di bangku bagian belakang, bersama Lusi.
Nina menatap Luna dari kaca spion atas yang tergantung. Memperhatikan Luna yang sedang berbicara ‘takdir’.
Tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar memegangi kemudi. Kata-kata ‘takdir’ di setiap pendengarannya membuat Nina menjadi semakin sensitif.
“Engga usah bawa-bawa takdir Luna. Ini semua hanya kebetulan. Paling juga mesinnya kedinginan. Jomblo,” timpal Lusi.
“Takdir lah Lus ...! Jika mobil kamu dan Andre tidak mogok tiba-tiba, mana mungkin kita bisa satu mobil dengan Nina? Iya kan?”
Nina masih diam. Lalu tiba-tiba indra penciumannya mengedus aroma melati dan juga aroma hangus listrik terbakar. Pangkal hidung Nina mengerenyit.
Melihat mimik muka Nina demikian Andre bertanya, “Ada apa?”
“Apa kamu mencium aroma hangus bercampur melati?”
Andre menggeleng dengan wajah bingungnya. “Tidak. Aku tidak mencium apa pun.”
Hening.
Nina terdiam dan tenggorokannya kering.
“Kak!” panggil Luna setengah berteriak. “Ayo cepat jalan! Aku sudah kepanasan nih! Nyalakan mobilnya biar AC nya nyala!”
Nina terkesiap dan buru-buru memutar kunci mobil dan kemudian suara deru mesin menyala. Mobil sedan silver tersebut pun melaju pelan meninggalkan pelataran parkiran basement.
“Kenapa sejak habis magrib tadi perasaanku tidak nyaman ya ...,” guman Nina di dalam hatinya.
Bersambung