Nina buru-buru turun dari mobilnya ketika sudah sampai di halaman parkiran mobil. Ia berlari cepat menuju klinik yang tidak jauh dari sana.
"Kenapa aku sampai lupa masih ada jadwal praktek hari ini ...," gerutunya pada diri sendiri dan kemudian bergegas masuk ke dalam pintu utama klinik.
Sesampainya di klinik tersebut Nina menunju ke meja Rahma, asistennya yang selalu dengan rapi menjadwalkan seluruh kegiatannya. "Aku masih ada janji jam ini?"
Rahma mengangguk. "Iya, masih Dok ... Sekarang jadwal vaksin untuk Dominic, anjingnya Tuan Rangga."
"Rangga?" tanya Nina dengan wajah terbelalak heran. Ternyata ia pernah memiliki janji bertemu dengan Rangga sebelum mereka menjadi tetangga. Tapi apa Rangga yang akan menvaksin anjingnya ini adalah Rangga yang sama?, tanya Nina di dalam hati.
"Apa pemilik anjingnya sudah menunggu?"
"Sudah Dok. Dia menunggu sejak lima menit yang lalu," jawab Rahma cepat. "Menunggu di kursi tunggu depan ruang praktek."
Nina tidak banyak tanya lagi. Ia langsung menuju ke arah ruang prakteknya meninggalkan meja administrasi Rahma. Sebetulnya ada tiga dokter hewan di klinik ini. Rolling jam praktek. Tapi kenapa Rangga, pemilik anjing bernama Dominic ini bersikeras harus divaksin olehku?
Bisa saja kan jadwal vaksin ini digantikan oleh dokter lain. Apa lagi ini adalah jadwal vaksin anjingnya yang pertama.
Nina berjalan menuju koridor yang berada di sisi bagian kiri. Di sana ia melihat seorang pria duduk di kursi tunggu bersama anjing pudelnya yang berwana cokelat.
Rangga terlihat berbicara dengan anjing miliknya. Lalu karena merasa diamati, ia menoleh ke arah Nina.
Manik mata mereka bertemu pandang. Sejenak hening dan rasa kikuk mulai merasuk, sampai Rangga menganggukan kepalanya dan tersenyum ke arah Nina. "Sore dok ... Aku sudah menunggu sejak lima menit yang lalu. Harusnya sebagai dokter anda tidak menelantarkan pasien yang sudah mendaftar. Apa lagi ini hanya vaksin rutin." Rangga komplain.
Nina mengatupkan bibirnya. Melihat sikap Rangga sepertinya dia juga tampak tidak mengenali dirinya. Rangga tidak ikut kembali ke masa lalu seperti Lusi. Maka dari itu dia tidak kenal dengannya.
"Maaf, tadi aku ada urusan penting," jawab Nina sembari tersenyum. Memberikan alasan yang sebetulnya hanya dusta. "Silahkan masuk. Harusnya kamu minta ganti dokter saja. Ada dokter Hans yang sedang praktek di jam ini."
"Tapi aku sudah membuat jadwal untuk vaksin anjingku tiga hari denganmu dokter Nina."
"Harus denganku?"
"Iya."
Nina terdiam sembari sebelah tangan kanannya memutar knop agar pintu terbuka. Mereka bertatapan sejenak kembali. "Oia Rangga, apa sebelum ini kita pernah bertemu?"
Rangga menggelengkan kepalanya. "Tidak.""
"Lalu kenapa untuk vaksin anjingmu harus denganku?" tanya Nina sekali lagi.
"Karena nenekku berpesan demikian. Untuk perawatan Dominic aku harus menemui dokter Nina di Kota Kenanga."
Nina langsung diam. Ia sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena sebelum kejadian di museum tersebut ia belum pernah bertemu dengan Nenek Rangga. Tapi kenapa ternyata Nenek Rangga sudah mengenalnya? Bahkan meminta Rangga untuk bertemu denganku hanya untuk menvaksin anjingnya?
"Dok ... Maaf, apa kita bisa lanjutkan?" tegur Rangga, membuyarkan lamunan Nina.
Nina tersentak. "Oh iya iya ... Maaf. Aku hanya terkejut dengan kata-katamu dari mana Nenekmu tahu tentang aku, padahal aku juga bukan dokter yang terkenal kan?" Ia membuka pintu ruangan dengan lebar sembari bertanya. Lalu diikuti oleh Rangga yang masuk ke dalam.
Nina meminta Rangga untuk memegangi anjing pudelnya yang lucu itu di atas ranjang. Lalu ia mulai menyuntikan bagian lengan atas si anjing dengan serum vaksin.
Setelah selesai vaksin. Rangga berterima kasih dan pamit undur diri. Tapi langkah kakinya itu terhenti karena suara Nina yang memanggilnya. "Rangga, tunggu!"
Rangga menoleh. Menatap Nina yang masih duduk di belakang meja kerjanya. Tangan kanannya yang akan memutar knop pintu itu terhenti. Binar matanya yang jernih seakan bertanya, ada apa?
"Apa kamu masih sering mengunjungi museum?" tanya Nina memecah keheningan.
Kini Rangga yang terkesiap. "Dari mana dokter tau aku sering ke museum?"
"Aku hanya menebak," jawab Nina berdalih.
Rangga yang hendak pulang kembali mengurungkan niat. Ia melangkah memutar dan kembali duduk di kursi yang ada di depan meja Nina. "Aku belum mengenal dokter. Tapi aku merasa pernah bertemu dengan dokter. Entah di mana ... Dan kenapa dokter mempertanyakan soal museum?" tanyanya penuh selidik.
Tiba-tiba kerongkongan Nina terasa kering. Ia menelan ludahnya dan terdiam sesaat. "A-aku hanya bertanya. Bukankah di Kota tempatmu tinggal, terdapat museum batu langka itu tersohor?"
Kedua alis Rangga bertaut. "Aku belum memberitahukan kamu di Kota mana aku tinggal kan ...."
"Aku membaca dari formulir pendaftaranmu."
Hening.
Mereka kembali bertatapan dalam kesunyian. Rangga merasa sikap Nina padanya ada yang tidak beres. "Apa ... Kamu berhubungan dengan batu petuah itu? Apa kita pernah bertemu, saling mengenal di masa depan? Kamu seseorang yang kembali dari masa depan berkat batu petuah di museum itu kan?"
Rangga sangat cerdas. Hanya beberapa petunjuk absrut saja ia sudah bisa menebak dengan benar.
Nina tidak langsung menjawab pertanyaan Rangga ini.
"Katakan saja dokter Nina. Aku pasti percaya dengan apa yang kamu ceritakan."
Nina menjilat bibir bawahnya sesaat dan kemudian mengatupkan bibirnya rapat sebelum berbicara kembali. "Iya, aku telah datang dari masa depan ke masa lalu berkat batu petuah yang ada di museum tersebut. Dan itu semua berkat kamu. Kamu yang telah memberitahukan aku mengenai kesaktian batu petuah itu," jawabnya sembari tersenyum lebar dan memegangi tangan Rangga dengan binar wajah senang.
"Astaga ... Pantas nenekku meminta aku menemui Dokter Nina di Kota Kenanga. Ternyata nenekku tahu semuanya ...."
"Nenekmu? Aku belum pernah bertemu dengannya."
"Oh iya? Masa?"
Nina mengangguk. "Iya. Karena Lusi yang sering bertemu dengan Nenekmu."
"Siapa Lusi?" tanya Rangga yang saat ini sama sekali belum kenal.
"Adikku. Dia yang sering ke rumahmu di masa depan itu ...," jawab Nina tersenyum. "Aku bersyukur bisa bertemu denganmu dan akhirnya mengetahui kesaktian batu petuah di museum tersebut. Tapi aku sama sekali belum pernah bertemu dengan Nenekmu."
"Nenekku seorang peramal. Dia mampu meramalkan hal yang tidak kita ketahui ... Bahkan aku ke mari menemuimu, itu semua karena nenekku yang menyuruhnya, 'Dominic harus hanya di vaksin oleh dokter Danina'," jawab Rangga menirukan ucapan neneknya.
"Tolong katakan salam terima kasihku pada Nenekmu, karena telah membantuku ke masa lalu ...."
"Bukan nenekku yang membantumu, dokter Nina. Tapi batu petuah tersebut yang telah membawamu kembali ke masa lalu. Ke masa ini untuk mengubah sesuatu ...."
"Iya, aku harus mengubah takdir Luna dan Andre. Menyelamatkan mereka dari kecelakaan maut."
Bersambung