Andre kebakaran jenggot. Ia panik setengah mati. Memikirkan dampaknya bila ia dan Nina bertemu di sini.
“Hai Lusi, tumben ke mari?” sapa seorang kawan Luna pada Lusi di pintu depan yang telah terbuka. Suaranya terdengar hingga ke ruangan tempat Andre duduk. Bila Nina memang tidak dikenali di seputar pertemanan Luna. Tapi beda dengan Lusi, teman-teman Luna pasti mengenali Lusi karena memang mereka kembar.
Andre menengok ke kiri dan ke kanan. Melihat ke sekeliling. Memikirkan ke mana dia harus kabur. Belum juga ketemu di mana dia harus bersembunyi, suara Lusi yang berbincang sudah terdengar jelas sembari berjalan. Andre sangat yakin Lusi sedang mengobrol bersama Nina sembari melangkahkan kakinya mendekat ke dalam ruang pemotretan ini. Sungguh situasi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Karena memang Nina tidak pernah mengunjungi Luna ketika bekerja.
Andre berlari ke arah ruang ganti, tapi ruang ganti ini dipergunakan untuk para model. Dan semuanya adalah wanita. Dia segan dan sungkan untuk bersembunyi di sana. Lalu ia berlari menuju ke kamar mandi. Tapi kamar mandinya sedang digunakan.
“Astaga ... Bagaimana ini!” serunya panik sembari menepuk dahinya. Sedangkan suara Lusi terdengar semakin dekat.
Netra Andre tanpa sengaja melihat jendela yang ada di bagian sisi. Jendela itu tampak lebar dan muat jika dilewatinya. Tanpa pikir panjang, Andre segera melompat ke luar jendela itu. Namun sayangnya, lubang jendela tidak sebesar yang dilihatnya. Ternyata tubuhnya tersangkut. Andre terjebak di lubang jendela. Kaki kiri dan kaki kanannya berada di antara bagian luar jendela dan yang satu lagi masih di dalam. Tubuh Andre yang tinggi dan tegap itu tidak muat dilewati.
Andre memaksakan diri untuk keluar dari jendela, karena takut bertemu dengan Nina. Sungguh ia tidak ingin berpisah dari Nina. Ia jatuh cinta pada keduanya, Nina dan Luna. Tidak bisa memilih dari salah satunya. Bila bisa memiliki dua wanita dalam waktu bersamaan, kenapa tidak?, pikir Andre. Soal bagaimana akhirnya kelak, itu bagaimana nanti. Yang penting untuk saat ini semuanya masih bisa dilalui dengan damai.
“Luna di mana?” tanya Lusi pada salah satu rekan Luna.
“Dia sedang ada di ruang ganti. Nanti juga Luna kembali lagi. Duduklah di sofa.”
“Terima kasih.”
Suara Lusi itu terdengar sangat jelas. Dan Andre sangat yakin jika Lusi pasti bersama Nina. Nina memang lebih pendiam. Pasti dia hanya tersenyum di bagian sisi, ketika Lusi berbincang dengan rekan-rekan Luna.
“Siaaal!” gerutu Andre lirih. Sangat kesal pada lubang jendela yang tidak muat untuk dilewatinya. Ia memaksa keluar dari lubang jendela tersebut walau tidak muat bagi tubuhnya. Karena Andre terus memaksa, celana panjang bahan katun hitam yang dikenakannya robek di bagian b****g. “Kreeek!” Suara yang tidak begitu nyaring, tapi Andre sadar celana yang dipakainya sobek besar.
“Hari ini, hari penuh kesialan,” gerutunya kesal.
“Andre? Sedang apa kamu di sini?” Suara Lusi terdengar jelas. “Dan ngapain juga kamu ada kesangkut di jendela kaya begitu?”
Wajah Andre pucat pasi. Ia tidak ingin menoleh ke belakang karena takut jika ada Nina di samping Lusi. Tapi mau bagaimana lagi. Semua ini sudah terjadi. Dia sudah tertangkap basah. Andre menarik kakinya yang setengahnya sudah tergantung di luar jendela.
Kini kedua kaki kekar Andre kesemuanya berada di dalam rumah. Ia masih berdiri membelakangi Lusi. Memejamkan mata dan menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri dan kepalanya berusaha secepat kilat mencari alasan yang bagus untuk pertanyaan yang nanti akan tertuju padanya, ‘Sedang apa kamu di sini Andre? Kenapa kamu tersangkut di jendela begitu?’
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti keluar dari mulut Nina.
Andre menarik nafas panjang untuk kedua kalinya dan menghela nafas panjang dan dalam.
“Andre, kamu di sini, ngapain? Nemenin Luna?” Suara Lusi lantang bertanya.
Andre pikir semua kebohongannya sudah berakhir saat ini. Nina pasti murka. Marah besar hingga dia pasti akan berniat membatalkan pertunangan. ‘Aku harus memberikan alasan yang jelas untuk semua ini,’ batinnya dan langsung membalikan badan.
Bibirnya sudah bergerak dan senyum palsu sudah siap dihias di wajahnya untuk Nina. Seolah tidak sedang terjadi apa-apa di sini.
Dan saat Andre membalikan badannya itu, ia tidak melihat Nina. Andre hanya melihat Lusi yang berdiri menghadapnya sembari bersedekap. “Lusi? Kamu sendirian di sini?” tanyanya sembari melihat ke sekeliling, mencoba mencari di mana Nina berada. Tapi Nina tidak berada di mana-mana.
“Memang kamu berharap ada siapa yang bersamaku? Kak Nina?” tanya Lusi sembari mengerenyitkan dahinya.
“Aku serius Lusi, kamu bersama Nina tidak? Tadi saat aku mengirimkan pesan chat, Nina membalas jika dia akan menuju ke tempat Luna.” Andre terlihat sangat panik.
“Makanya kalau masih mencintai Kak Nina dengan sangat dalam, jangan sekali-sekali bermain api. Aduh Ndre ... Kamu tuh bener-bener cowok paling enggak tahu diri. Bisa-bisanya kamu tunangan sama kakakku trus selingkuh sama Luna! Jika bukan karena Luna adalah saudariku, aku pasti sudah melaporkan kalian pada kak Nina!”
“Di mana Nina, Lusi? Aku tanya dan kamu belum menjawabnya. Di mana Nina? Apa dia bersama kamu di sini?” tanya Andre sekali lagi dan memaksa.
Lusi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kak Nina tadi kembali lagi ke rumah sakit. Padahal sudah sampai di halaman depan, tapi asisten perawat meneleponnya dan mengingatkan jika Kak Nina masih ada jadwal untuk memberikan vaksin untuk kucing milik seseorang. Sepertinya kak Nina melupakan hal itu makanya saat makan siang tadi, dia mengajakku ke mari.”
“Jadi Nina tidak jadi ke mari?” tanya Andre menuntut kepastian.
Lusi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kamu boleh bersyukur. Tuhan masih baik denganmu. Kecurangan dan pengkhianatan kalian masih belum akan terungkap saat ini,” jawabnya ketus.
Andre merasa tidak nyaman saat Lusi berbicara seperti itu. Ia berjalan mendekati Lusi dan berusaha merangkulnya. Andre tipe pria buaya, tampan dan pintar berbicara manis. Berpenampilan flamboyan. Memliki karier cemerlang, seorang dokter bedah yang mapan. Wanita mana yang tidak akan terpesona padanya?
Lusi menaikan bahu sebelah kirinya saat Andre akan merangkulnya. “Aku bukan Luna. Jadi jangan sentuh-sentuh aku,” ujarnya ketus.
“Jutek banget sih Lusi ...,” gerutu Andre. “Aku hanya ingin menangkan kamu. Jangan berkata demikian. Cinta itu sulit dimengerti. Kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaanku ini pada Nina dan Luna.”
Lusi menatap tajam Andre. “Aku tidak mengerti? Apa yang tidak aku mengerti tentang pengkhianatan yang kalian lakukan pada Kak Nina?”
Andre tidak langsung menjawab. Ia menatap dalam manik mata Lusi yang jernih dan hitam. Bola mata gadis ini seraya akan menerkamnya. “Iya, kamu tidak akan mengerti tentang cinta karena kamu tidak pernah merasakan cinta,” sindir Andre sembari tersenyum sinis. “Sulit memang membicarakan hal begini dengan seseorang yang tidak pernah jatuh cinta.”
“Aku? sulit? Astaga ....” Lusi tertawa sinis sembari melipat kedua tangannya di depan dadaa. “Jangan sok tahu Andre.”
“Lusi kamu di sini?” tegur Luna yang baru tiba dan sudah berganti pakaian.
Lusi dan Andre spontan menoleh ke arah Luna yang berdiri tak jauh dari mereka. “Iya, aku di sini. Untung saja Kak Nina tidak jadi ke mari. Bayangkan jika Kak Nina melihat calon suaminya ada di sini menungguimu pemotretan. Apa yang akan dia pikirkan? Perselingkuhan kalian pasti akan terbongkar!”
Bukannya takut atau merasa bersalah. Luna malah menghiasi wajahnya dengan seulas senyuman. “Justru itu yang aku harapkan.”
Bersambung